Citizen6, Jakarta Istilah kawin gantung memang tidak sepopuler kawin siri. Bedanya, kawin gantung dilakukan seperti pernikahan pada umumnya yang sah secar hukum karena tercatat dan disaksikan oleh banyak orang. Namun setelah upacara pernikahan selesai, kedua mempelai tidak berkumpul dalam satu rumah sehingga tidak (bisa) melakukan hubungan layaknya suami istri. Hal ini disebabkan faktor usia yang masih muda.
Dan tahukah Anda, ternyata presiden pertama Indonesia Bung Karno pernah melakukan kawin gantung tersebut? Bagaimana sang flamboyant yang dikagumi banyak gadis Belanda ini melakukannya?
Saat itu Soekarno merasa masa hidupnya sebagai pecinta berakhir ketika ibu kost-nya Ibu Cokroaminoto meninggal dunia. Pak Cokroaminoto beserta keluarganya begitu tertekan dengan keadaan itu. Rumah menjadi sepi karena penghuni lain pergi. Rumah yang baru ditempatinya itu terasa asing.
Melihat keadaan itu, saudara Pak Cokro menemui Sukarno dan berkata, “Sukarno, kau lihat bagaimana sedihnya hati Cokroaminoto, Apakah kau tidak dapat berbuat sesuatu agar hatinya sedikit gembira?”
Advertisement
“Dengan segala senang hati aku mengerjakan sesuatu, supaya dia dapat tersenyum lagi. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku tidak bisa menjadi isteri Pak Cokro.”
Saudara Pak Cokro lalu memintanya untuk menikahi Utari, puteri Pak Cokro yang saat itu baru berusia 16 tahun. Dengan pernikahan ini diharapkan bisa membuat Pak Cokro untuk mengurangi tekanan perasaannya.
Sukarno pun lalu mengajukan lamaran. Pak Cokro sangat gembira dan segera memindahkan Suakrno yang akan menjadi menantunya ke kamar yang lebih besar dengan perabotan yang lebih lengkap.
Uniknya pada saat upacara dilakukan, penghulu menolak menikahkan keduanya. Alasannya, karena Sukarno saat itu memakai dasi.
“Anak muda, dasi adalah pakaian dari mereka yang beragama Kristen dan tidak sesuai dengan tradisi dalam agama Islam kita,” kata pak penghulu.
Sukarno memprotes. Perdebatan sengit terjadi.
“Maaf Bapak-bapak. Aku adalah pemberontak dan akan selalu memberontak. Aku tidak mau didekte di hari perkawinanku, “ kata Sukarno.
Setelah memiliki status sebagai pengantin baru, waktu malam hari dihabiskan Sukarno untuk “membuntuti”, menemani Pak Cokro yang sekarang menjadi mertuanya ke acara-acara pidatonya. Di tempat acara, Sukarno hanya duduk dan memperhatikan Pak Cokro berpidato.
Sampai meninggal Pak Cokro tidak tahu bahwa perkawinan ini dilakukan karena Sukarno sangat menghormati dan menaruh kasihan kepada Pak Cokro.
*Seperti diceritakan dalam biografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin Dapat Ponsel Gratis ikuti #LebaranNarsis di sini