Sukses

4 Fakta Pemberedelan Majalah Lentera Edisi Salatiga Kota Merah

Pemberedelan ternyata masih ada, kali ini menyerang UKM Pers Mahasiswa Lentera milik UKSW di Salatiga karena mengangkat tema Tragedi 1965

Citizen6, Jakarta Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Be-re-del (memberedel) berarti menghentikan penerbitan dan peredaran (surat kabar, majalah, dan sebagainya) secara paksa;memberangus. Hal tersebut lazim dilakukan di masa Orde Baru, ketika sang jenderal penuh senyum memimpin negeri ini selama 32 tahun. Pemberitaan yang tidak sesuai dengan pemerintah misalnya karena mengkritisi kebijakan, mengulas soal korupsi, atau PKI maka akan diberedel, dicabut SIUP-nya.

Kali ini pemberedelan karya jurnalistik kembali terjadi, menimpa sebuah lembaga pers mahasiswa milik Universitas Kristen Satya Kencana di Salatiga. Berikut ini beberapa hal yang perlu kamu tahu mengenai pemberedelan tersebut :

1. Majalah Lentera

Cover Majalah Lentera edisi

Majalah Lentera merupakan karya LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Kencana. Edisi berjudul "Salatiga Kota Merah" merupakan edisi ketiga tahun 2015 yang terbit pada 9 Oktober 2015. Edisi ini dicetak sebanyak 500 eksemplar dan dijual di kafe-kafe dengan harga Rp 15.000. Tujuan dari Lentera sendiri menerbitkan edisi bertema Tragedi 1965 adalah bentuk dokumentasi sejarah atas peristiwa berdarah yang terjadi pada 1965. Kamu bisa mendapatkan unduhan Majalah Lentera disini.

2 dari 3 halaman

Konten Majalah Lentera

2. Konten Majalah Lentera Edisi "Salatiga Kota Merah"

Daftar Isi Majalah Lentera

Konten Majalan Lentera mencoba mengedepankan jurnalisme presisi dengan data dari hasil investigasi dan penelitian. Berisi mengenai sejarah Waikota Salatiga periode 1961-1966 yakni Bakri Wahab yang diduga anggota PKI, penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga dan investigasi pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Salatiga yang terletak di Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan.

3. Kronologi Pemberedelan

Salah satu konten Majalah Lentera

Pada 9 Oktober 2015, Majalah Lentera Edisi "Salatiga Kota Merah" diterbitkan dan diedarkan dengan cara dititip di beberapa lokasi seperti kafe-kafe dan pemasang iklan. Sekitar seminggu setelahnya, pada Jumat 16 Oktober 2015 pimpinan Lentera diminta untuk menghadap Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom pukul 21.00 WIB bertempat di Gedung Administrasi Pusat UKSW. Dalam pertemuan ini, Lentera diminta untuk menarik kembali semua majalahnya demi kenyamanan dan keamanan masyarakat Kota Salatiga.

Pada Sabtu, 17 Oktober 2015 ketika dua orang anggota redaksi Lentera hendak mengambil majalahnya ternyata mereka kalah cepat dengan polisi yang sudah terlebih dulu majalah tersebut. Esok harinya, para pemimpin Lentera yakni Arista Ayu Nanda (Pemimpin Umum LPM Lentera), Bima Satria Putra (Pemimpin Redaksi LPM Lentera), bersama Septi Dwi Astuti (bendahara LPM Lentera) menghadap ke Polres Salatiga untuk diinterogasi.

Beberapa hal yang dipermasalahkan adalah judul sampul yang seolah menyebut Salatiga sebagai 'Kota PKI', simbol palu-arit yang dilarang muncul, dan persoalan narasumber yang diragukan kevalidannya. Akhirnya Majalah Lentera tersebut ditarik dari peredaran, dikumpulkan sebanyak-banyaknya untuk kemudian dibakar.

3 dari 3 halaman

Aturan Hukum Terkait

4. Aturan Hukum

Pasca reformasi 1998, pers mendapatkan perlindungan hukum atas kebebasan jurnalistiknya dalam UU Nomor 40 Tahun 1999. Undang-undang tersebut mengatur mengenai kebebasan pers termasuk pelarangan bentuk pemberedelan, penyensoran ataupun pelarangan penayangan. Namun hal tersebut diberlakukan bagi pers nasional, bagaimana dengan aturan untuk pers mahasiswa?

Gambar Opini pada Majalah Lentera

Hingga saat ini Lentera mendapat dukungan dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di banyak kampus di Indonesia, aktivis HAM dan jurnalis lainnya di Indonesia. Setelah 50 tahun berlalu, nampaknya PKI masih menjadi semacam 'hantu' yang ditakuti oleh sebagian kalangan masyarakat. Sehingga segala simbol ataupun pembicaraan mengenainya adalah hal yang tabu jika tidak menakutkan. Apakah kita bisa menyembuhkan luka sejarah jika kita pura-pura lupa dan tidak pernah membuka kebenaran dibalik simpang siurnya sejarah tersebut? (rn)

 

Â