Sukses

Festival Kelola, Saatnya Menggarap Penonton Lebih Serius

Membaca dan menjaring penonton baru di Indonesia memang sebuah pekerjaan tersendiri yang perlu kerja keras dan kesinambungan.

Citizen6, Jakarta Seberapa jauh upaya yang sudah dilakukan penyelenggara seni pertunjukan untuk menjaring penonton?

Sesaat setelah penonton meninggalkan Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ery Mefri, koreografer Nan Jombang, mengaku senang. Mementaskan Rantau Berbisik dalam rangka Festival Kelola 2015 adalah pertama kalinya Nan Jombang datang ke UI. Auditorium Gedung IX FIB UI yang berkapasitas 300 orang memang hanya separuh terisi pada 14 September 2015.

Namun menurut Ery Mefri, hal tersebut sudah di luar ekspektasinya. “Untuk karya tari semacam ini (kontemporer), bisa menghadirkan penonton sebanyak ini sudah luar biasa. Yang lebih berharga lagi, semua mahasiswa menonton dengan sopan.” Bagi Ery, penonton yang sopan mahal harganya, karena sering kali, saat disuguhkan karya yang serius, penonton awam cenderung berisik atau mengobrol. “Tadi penonton benar-benar menyimak pertunjukan,” tambahnya.

Hari berikutnya, 15 September 2015, di Universitas Negeri Jakarta, Nan Jombang membawakan Rantau Berbisik di Panggung Taman Fakultas Bahasa dan Seni. Di area terbuka ini, jarak antara pangung dengan penonton cukup dekat sehingga mahasiswa-mahasiswa bisa merasakan energi Nan Jombang yang kuat. Mereka juga lebih bebas ikut bersorak dan banyak bertanya. Karena itulah Ery menganggap Festival Kelola 2015 sudah tepat sasaran.

Membaca dan menjaring penonton baru di Indonesia memang sebuah pekerjaan tersendiri yang perlu kerja keras dan kesinambungan.

Membaca dan menjaring penonton baru di Indonesia memang sebuah pekerjaan tersendiri yang perlu kerja keras dan kesinambungan. “Kalau kami pentas, separuh lebih dari penonton kami sudah pasti orang kami juga (teman dan kerabat Nan Jombang). Orang yang benar-benar datang untuk menonton nyaris tidak ada.”

Ini mengapa kelompok tari berkualitas seperti Nan Jombang lebih sering dipanggungkan di luar negeri. “Di Indonesia, main di depan 15 penonton pun kami sering.” Berbeda sekali dengan di luar negeri di mana tempat duduk selalu habis terjual. Ery yakin hal tersebut bukan tercipta karena kualitas Nan Jombang semata, tapi berkat usaha penyelenggara dalam menjaring penonton. Permasalahan yang sama juga dirasakan oleh Ivan Nestorman, vokalis Komodo Band, pengisi acara pertama Festival Kelola 2015 yang terselenggara atas dukungan HIVOS di Balairung Universitas Indonesia 17 Agustus lalu.

Komodo yang membawakan musik kontemporer bernuansa Flores dan ritme nusantara merasa belum mendapatkan penonton. “Musik baru seperti yang kami bawakan ini masih sulit diterima industri. Karena itu harus terus-menerus didengarkan supaya orang mulai mengenal.” Mengenai Festival Kelola yang mendatangi kampus-kampus, Ivan merasa cara ini sejalan dengan usaha yang ingin Komodo lakukan. “Kami merasa mendatangi mahasiswa yang kritis terhadap masalah budaya dan masih terbuka terhadap hal baru adalah cara yang tepat untuk memperkenalkan musik kami. Kami sangat berharap Festival Kelola 2015 membuka peluang-peluang lain yang berkelanjutan bagi Komodo,” tambah Ivan.

Penonton memang sangat sulit dibaca. Sering kali kita berpikir karya yang bagus sudah pasti mendapat apresiasi yang tinggi. Namun kenyataannya tidak demikian. Terkadang penyelenggara merasa jika sudah menyebar publikasi, maka penonton sudah pasti datang, tapi ternyata tidak juga. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pelenggaraan sebuah pertunjukan, mulai dari kualitas karyanya sendiri, publikasi yang efektif dan tepat sasaran, pemilihan lokasi yang tepat mengingat lalu lintas di hampir semua kota di Indonesia semakin tersendat, pemilihan waktu pementasan, dan lain-lain.

Kelola mengakui selama 15 tahun berdiri baru kali ini serius menggarap pemangku kepentingan seni yang satu ini. “Selama ini kami masih sibuk menyiapkan seniman dan karyanya. Baru kali ini kami mencoba menggarap penonton dengan cara menyapa mereka langsung di lingkungan kampus,” ungkap Amna S. Kusumo, Direktur Yayasan Kelola.

Membaca dan menjaring penonton baru di Indonesia memang sebuah pekerjaan tersendiri yang perlu kerja keras dan kesinambungan.

Setelah 15 tahun, sudah cukup banyak karya seni pertunjukan yang bagus, namun belum banyak ditonton, antara lain Rantau Berbisik karya Nan Jombang, peraih Hibah Seni 2011, yang dipentaskan di UI dan UNJ, A Part of Passion karya Danang Pamungkas, peraih Hibah Seni 2015, yang dipentaskan di Universitas Negeri Surabaya, dan I Think… Thonk karya Yola Yulfianti, peraih Hibah Cipta Perempuan 2014 yang dipentaskan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Saat mempersiapkan festival ini, banyak mahasiswa dari berbagai kampus yang meminta agar Festival Kelola singgah di kampus mereka. Tentu saja semua permintaan tersebut sulit dilaksanakan karena Kelola memiliki keterbatasan. Enam acara yang terselenggara dalam Festival Kelola 2015 saja belum tergarap dengan optimal.

Sesaat sebelum konferensi pers 15 Tahun Kelola, Abduh Azis, ketua Koalisi Seni Indonesia yang juga banyak bersinggungan dengan program-program Kelola menyatakan, “Apa pun yang dilakukan Kelola pasti akan selalu terasa kurang, karena apa yang dilakukan Kelola sebenar adalah tugas pemerintah.” Apa pun itu, Kelola tidak berniat untuk mengambil alih peran pemerintah. Melihat dari tingginya animo penonton di kampus-kampus pada Festival Kelola 2015, setidaknya kita punya harapan bahwa sebenarnya masyarakat yang haus akan karya-karya seni yang baik dan syarat budaya Indonesia cukup banyak. Maka adalah tugas para pemangku kepentingan lainnya untuk mengerjakan pekerjaannya.

Pada saat memberikan Lokakarya tari di UNESA, Danang mengatakan saat bekerja di Taiwan, ia biasa memberikan Lokakarya kepada anak-anak sekolah bahkan pada anak SD pun. “Koreografer atau penari di Taiwan rutin bekerjasama dengan sekolah-sekolah memberikan lokakarya yang sederhana. Yang terpenting adalah memperkenalkan profesi penari dan koreografi, dan membuat anak sejak dini memahami apa itu seni pertunjukan.”

Bisa dilihat hasilnya, pentas-pentas seni pertunjukan di Taiwan memang selalu sold-out. Masyarakat di luar lingkungan seni begitu antusias menjadi penonton. Lalu pertanyaan kepada pemerintah khususnya Kemendikbud atau Kementrian Pariwisata, atau Pemerintah Daerah, juga kepada gedung-gedung pertunjukan, apa yang sudah dilakukan untuk membangun apresiasi terhadap kesenian?

 

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini


**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6