Sukses

Festival Kelola: Banalnya (Kota) Kita

UKM teater UIN Syarif Hidayatullah adalah salah satu kelompok teater kampus teraktif di Jakarta.

Citizen6, Jakarta Saat penari-penari perempuan membuka baju mereka dan hanya meninggalkan pakaian dalam berwarna hitam, beberapa penonton sontak menyebut istighfar dan meninggalkan ruang pertunjukan.

Membawa I Think… Tonk ke universitas Islam bukannya tanpa pertimbangan. Sejak awal saat mengajukan karya Yola Yulfianti yang meraih Hibah Cipta Perempuan pada tahun 2014, Kelola sudah menekankan jika karya ini cukup berisiko karena ada beberapa adegan yang cukup erotis dan memperlihatkan anggota badan yang sensitif. Namun sejak awal pula, pihak Teater Syahid melalui ketuanya, Henny, menyatakan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah cukup moderat dan berpikiran terbuka. “Meski saat berkuliah mahasiswa UIN diharuskan memakai jilbab, namun di luar kuliah, sebenarnya banyak juga yang tidak memakai hijab. Terutama saat berteater.”

UKM teater UIN Syarif Hidayatullah adalah salah satu kelompok teater kampus teraktif di Jakarta. UIN biasa menggelar berbagai pertunjukan, mulai dari teater, musik, hingga tari di Hall Student Center mereka yang sebenarnya merupakan lapangan basket in-door. Hall basket yang terbuka ini biasa disulap menjadi gedung seni pertunjukan.

Teater Syahid sendiri merupakan UKM teater yang sangat produktif. Setidaknya tiap tahun mereka memproduksi karya baru yang dipentaskan cukup besar di lingkungan kampus. Tahun ini, dalam rangka Panorama, mereka mementaskan karya terbarunya, Pin Pulang. Festival Kelola 2015 bekerjasama dan bergabung dengan Panorama dengan menggelar I Think…Tonk pada hari ke-2 Panorama, yaitu tanggal 22 Oktober 2015 pada pukul 20.00.

Seharafiah Mungkin, Seliteral Mungkin

I Think… Tonk merupakan karya yang terinspirasi dari riset Yola Yulfianti, koreografernya, tentang kawasan padat penduduk yang rawan tawuran dan konflik horisontal. Sejak dua tahun lalu, Yola terlibat dalam Jakarta Art Movement yang menuntunnya untuk mengajar seni gerak di Kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat. Di situ ia melihat permasalahan kota, khususnya kawasan kumuh yang padat begitu pelik dan kompleks.

Selama proses riset dan pembuatan karya, Yola membuat video yang menangkap kehidupan sehari-hari di sebuah gang dengan segala dinamikanya, lalu video ini diproyeksikan ke tubuh para penarinya dan latar panggung. Jika dilihat secara visual, seperti yang tampak pada foto, elemen ini membuat pertunjukan I Think… Tonk terlihat begitu ‘ramai’.

Sepertinya begitu banyak yang ingin dinaikkan ke atas panggung. Namun prasangka tersebut hilang saat kita menontonnya secara langsung. ‘Keramaian’ dan hiruk-pikuk tersebut menjadi masuk akal karena Yola memang berniat mempresentasikan suasana Johar Baru yang padat penduduk sedekat mungkin dengan aslinya. Ia tak berusaha mencari satu idiom yang lebih sederhana untuk mewakili semua gagasannya tersebut.

Sesungguhnya ini memperlihatkan jika Yola justru sangat berhati-hati dalam mengintepretasikan objek risetnya. Bisa jadi karena Yola masih sangat terlibat dengan masyarakat kawasan tersebut,baik secara fisik maupun emosional. Atau mungkin, risetnya memang belum kelar, sehingga ia masih merasa perlu mempresentasikan sepenuhnya.

Padatnya penduduk dimetaforakan dengan pintu-pintu yang berjajar rapat. Konflik dan kekerasan ditampilkan oleh masing-masing penari yang membenturkan badannya dan memukuli pintu-pintu tersebut, dan juga secara harafiah dipresentasikan dalam gerak penari-penari yang saling memukul. Begitu pula dengan permasalahan kekerasan seksual dan KDRT yang ditampilkan secara terang-terangan oleh penari-penarinya di atas panggung.

Dari segi kostum, baju penari yang seksi dan serba ketat juga tersingkap, tidak diputuskan untuk ‘mempercantik’ pertunjukan, namun representasi dari apa yang Yola biasa saksikan di kawasan tempat risetnya itu. Kita tidak bisa memungkiri jika penampilan tersebut adalah hal yang biasa kita jumpai di kota Jakarta, terlebih di kawasan-kawasan tertentu.

Bagian yang paling menarik perhatian sekaligus membuat penonton adalah adanya satu penari yang sedang hamil dan menari sensual dengan membawa load speaker. Pada bagian itu, penari tersebut, Yuni, berpakaian super ketat dengan perutnya yang membuncit. Jika pada saat penari-penari lain membuka baju para penonton mendemostrasikan penolakannya dengan cara meninggalkan gedung pertunjukan, saat penari hamil ini menari penonton hanya bisa diam. Beberapa menunduk malu-malu, dan sisanya merekamnya dengan ponsel mereka. Pada bagian tersebut penonton terlihat sangat ‘terganggu’.

Di bagian menjelang akhir, penari ini bahkan berganti kostum dengan menggunakan baju yang benar-benar memperlihatkan perut hamilnya sambil menari dan berdendang lirih. Dari merangsang, penari ini kemudian mengubah konotasi yang melekat sebelumnya (sensual atau erotis) menjadi perasaan satir, sedih, dan iba. Perempuan hamil menjadi representasi dari permasalahan Jakarta yang riil: keras, banal, sarkas, dan menyedihkan.

Penari hamil ini adalah bentuk pengembangan yang sebelumnya tidak ada pada pertunjukan tahun 2014. Keputusan ini adalah keputusan Yola yang berani dan brilian. Kebetulan, penari tersebut, Yuni, pun menjiwai dengan baik perannya.

Pada I Think… Tonk, Yola seakan ingin menyibak tabir yang selama ini ditutup-tutupi tentang apa yang terjadi di sekitar kita, juga di antara kita. Hal ini juga dilakukan Yola melalui property panggungnya. Karena Hall Student Center UIN Syarif Hidayatullah adalah lapangan basket, maka Teater Syahid khusus membangun panggung karena I Think… Tonk didesain untuk panggung proscenium. Seluruh gedung ditutup dengan bermeter-meter kain hitam.

Namun Yola justru memiliki ide lain. Ia meminta agar kain hitam yang menutup bagian belakang panggung dibuka, sehingga ruang di lantai dua Hall Student Center pun terlihat dari arah penonton. Begitu pula dengan kain-kain hitam yang menutupi bagian kanan dan kiri panggung. Semua disibak sehingga memperlihatkan steger-steger besi yang ‘keras’ dan industrial.

Pada saat dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, tentu saja hal ini tidak dilakukan oleh Yola. Fasilitas seadanya dan peruntukan gedung yang berbeda menuntut seorang koreografer untuk kreatif. “Jadi seniman di Indonesia memang harus begini. Harus banyak tenggang rasanya.” Terlihat benar malam itu Yola begitu santai mengatasi segala permasalahan teknis. Termasuk mengoperasikan proyektor, dan mengeraskan dan mengecilkan volume suara dari laptop-nya.

Permasalahan teknis bukannya luput dari perhatian Kelola. Kelola menyadari mementaskan karya seni pertunjukan di luar gedung pertunjukan selalu berisiko, dan ini terjadi pada proses pementasan I Think,.. Tonk. Namun tujuan utama Festival Kelola yang diselenggarakan dalam rangka 15 tahun Kelola adalah untuk mendekatkan seniman-seniman dan karya-karya terbaiknya ke kalangan mahasiswa. Dengan demikian teknis yang lebih rumit pun dilakoni.

Sementara pemilihan I Think… Tonk untuk UIN Syarif Hidayatullah didasari oleh kharakter karya Yola yang lebih mengarah ke teatrikal. Harapannya, dengan demikian ada kedekatan dengan mahasiswa-mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Bahwa I Think…Tonk adalah karya yang cukup ‘berani’, bukan maksud Kelola untuk mengomfrontasinya dengan UIN yang merupakan insitusi pendidikan berbasis Islam.

Di dunia pendidikan khususnya, sangat baik jika pelaku-pelakunya paham apa beda pornografi, masalah aurat, dan kesenian. Jika menonton dengan penuh, kita akan tahu I Think… Tonk sama sekali bukan karya pornografi. Bambang Prihadi, dosen UIN Syarif Hidayatullah yang juga Pembina Teater Syahid mendukung Festival Kelola yang membawakan karya-karya kontemporer seperti I Think… Tonk. Meski memberikan sedikit kritik atas beberapa bagian, Bambang menganggap karya Yola berpotensi untuk menjadi karya yang sangat cantik. “Yang seperti ini bagus dibawa ke UIN supaya anak-anak tidak munafik,” pungkas Bambang.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini


**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6