Sukses

3 Anak Paling Berpengaruh dalam Perjuangan HAM Dunia

Usia yang masih muda tidak menjadi halangan bagi mereka untuk tetap memperjuangkan dan menyerukan tentang HAM.

Citizen6, Jakarta Setiap tanggal 10 Desember, semua orang di dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia. Tanggal tersebut dinyatakan dan dipilih oleh International Humanist and Ethical Union untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia, yang berlangsung pada 10 Desember 1948. Peringatan ini dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakannya.

Hingga saat ini, sudah banyak sekali orang yang secara gencar memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela mengorbankan nyawanya. Namun, para pejuang HAM tersebut tidak selalu merupakan orang-orang yang tergolong sudah dewasa. Beberapa di antaranya justru masih tergolong berusia anak-anak. Usia yang masih muda tidak menjadi sebuah halangan bagi mereka untuk tetap memperjuangkan dan menyerukan tentang HAM.

Siapa sajakah mereka? Berikut adalah 3 pejuang HAM yang tergolong masih sangat muda, bahkan namanya pernah mengejutkan dunia. Hingga kini banyak orang di dunia masih bersimpati serta mengenang mereka atas segala keberanian yang mereka tunjukkan dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Bisa dikatakan bahwa mereka inilah anak-anak yang paling berpengaruh di dunia dalam perjuangan hak asasi manusia.

1. Hector Pieterson (1964–1976)

Hector Pieterson adalah salah seorang tokoh terkenal dari peristiwa pemberontakan Soweto. Namanya saat ini menjadi sebuah ikon dari peristiwa tersebut. Pemberontakan Soweto sendiri adalah salah satu aksi protes terbesar dari para pemuda Afrika. Aksi ini dilatarbelakangi para pemuda yang kala itu menentang sistem pemerintahan Apartheid pada tahun 1976. Para pemuda ini tidak rela bila hak asasi mereka dibeda-bedakan berdasarkan ras dan warna kulit mereka.

Pada sistem pemerintahan Apartheid, ras berkulit hitam dianggap lebih rendah dari ras kulit putih, sehingga ras kulit hitam sering mendapat perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Para pemuda yang merasa sudah muak dengan sistem pemerintah akhirnya melancarkan aksi protes. Salah satu tokoh dari aksi ini adalah Hector Pieterson. Sayangnya, Hector ditembak mati oleh pihak kepolisian ketika ia masih berusia 12 tahun.

Peristiwa pemberontakan Soweto itu telah memakan korban jiwa sebanyak 600 orang. Oleh karena itu, tanggal kematian Hector, 16 Juni, diperingati sebagai Hari Nasional Pemuda di Afrika. Dalam rangka menghormati para korban pemberontakan Soweto, pada 16 Juni 2002 Museum Memorial Hector Pieterson akhirnya diresmikan.

2. Iqbal Masih (1982–1995)

2 dari 3 halaman

Iqbal Masih

Mungkin nama Iqbal Masih terdengar asing di telinga, tapi orang-orang di Pakistan menganggapnya sebagai seorang pahlawan cilik. Tahukah kamu apa yang Iqbal Masih lakukan hingga namanya saat ini terus dikenang sebagai pahlawan di Pakistan? Iqbal Masih telah berjasa kepada lebih dari 3.000 anak di bawah umur kala itu karena ia telah berhasil membebaskan anak-anak tersebut dari perbudakan.

Semua perjuangan itu berawal dari pengalaman hidup Iqbal sendiri. Saat usianya masih 4 tahun, ia dijual oleh orang tuanya untuk menjadi budak dengan harga 12 dolar. Ia dijual kepada seorang juragan pembuat karpet yang justru menjadikannya seorang budak. Bagaimana tidak? Di usianya yang masih terbilang sangat muda ia dipaksa bekerja selama 12 jam dan hanya diberi makan seadanya hingga dalam pertumbuhannya ia mengalami kekurangan gizi.

Pada usianya yang menginjak 10 tahun, ia berhasil melarikan diri dari perbudakan. Ia berusaha mencari pertolongan dan pada akhirnya bergabung dengan sebuah front pembebasan buruh yang berada di Pakistan bernama BLLF (Bounded Labour Liberation Front of Pakistan). Bersama front inilah ia mulai melakukan aksi untuk membebaskan 3.000 anak-anak yang memiliki nasib sama dengan dirinya. Berkat jasanya, pada 1994 Iqbal dianugerahi penghargaan “Reebok Human Rights Award.”

Saat usia Iqbal Masih telah menginjak 12 tahun. Pada 16 April 1995, ia ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. Bagian kepala belakangnya ditembus peluru. Para saksi mata mengatakan Iqbal ditembak oleh pengendara sepeda motor. Diduga penembak tersebut merupakan salah satu dari sindikat “mafia karpet” yang memang tidak suka dengan apa yang telah dilakukan oleh Iqbal Masih. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa yang telah dilakukan Iqbal Masih, pada 2009 Kongres Amerika Serikat menyelenggarakan "Iqbal Masih Award", sebuah penghargaan tahunan bagi para pejuang anak.

3 dari 3 halaman

Malala Yousafzai

3. Malala Yousafzai

Gadis yang lahir pada 12 Juli 1997 ini adalah seorang siswa yang berasal dari Kota Mingora, Kabupaten Swat, Provinsi Khyber-Pakhtunkhwa, Pakistan. Ia merupakan seorang aktivis muda yang ingin memperjuangkan dan memajukan hak wanita dalam bidang pendidikan. Pada usianya yang masih 17 tahun ia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Hal itulah yang membuatnya menjadi penerima Hadiah Nobel Perdamaian termuda saat ini.

Dia mulai berkampanye untuk pendidikan bagi anak perempuan pada usia 11 tahun. Ada hal yang pertama kali membuat Yousafzai menarik perhatian dunia, yaitu saat pejuang Taliban menembaknya di kepala. Hal ini diduga karena Taliban memberlakukan peraturan yang tidak memperbolehkan perempuan untuk mengenyam pendidikan. Taliban seolah tak perduli dia hanya seorang anak perempuan remaja yang baru berusia 16 tahun. Saat itu Taliban di bawah pimpinan Maulana Fazlullah yang menguasai Lembah Swat memang melarang semua anak perempuan di sana untuk bersekolah.

Malala Yousafzai sendiri berhasil pulih dari tragedi penembakan oleh pejuang Taliban, meski hingga kini berdampak pada gerakan matanya yang sudah tak lagi sempurna. Bahkan sesekali ketika ia sedang berbicara, mata Malala Yousafzai tertutup.

Pada 25 Oktober 2011, Malala diberi nominasi dalam penghargaan International Children’s Peace Prize oleh Desmond Tutu, seorang aktivis asal Afrika Selatan. Dua bulan kemudian, pada 19 Desember 2011, gadis ini diberi penghargaan Pakistan’s National Youth Peace Prize oleh Perdana Menteri Yousaf Raza Gilani.

Tahun 2013, Malala Yousafzai menulis sebuah buku yang berjudul, I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban. Di dalam bukunya, Malala mengatakan dia lebih suka dikenang sebagai seorang anak perempuan yang memperjuangkan kesamaan hak pendidikan terhadap anak perempuan (di seluruh dunia) daripada dikenang sebagai seorang anak perempuan yang pernah ditembak Taliban.

Keberanian Yousafzai telah menjadi inspirasi untuk para perempuan muda yang ada di dunia. Ia juga telah membuka mata orang-orang di dunia perihal berharganya hak wanita.**

Penulis:

Soyid Prabowo

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6