Citizen6, Jakarta Xi’an identik dengan kampung muslimnya. Di sini ada banyak penduduk muslim, makanan halal, mesjid, dan sejarah panjang perjalanan Islam masuk ke daratan yang dulu terkenal dengan jalur suteranya ini.
Liburan musim dingin kali ini saya benar-benar memanfaatkannya untuk mengunjungi kota Tiongkok yang memiliki mayoritas muslim, seperti Xi’an atau Xinjiang pikir saya. Hanya saja beberapa kali saya melihat televisi kota Xinjiang sedang mengalami salju hebat ketika itu.
Melihat masjid-masjid agung lagi indah pasti mustahil, karena tertimbun tumpukan salju tebal. Begitupun di tianqi yubao (prakiraan cuaca) juga mendapati kabar yang sama. Apalagi situasi di Xinjiang bedasarkan cerita teman yang berwisata ke sana sangat ketat dengan penjagaan keamanannya.
Advertisement
Sayapun memutuskan untuk menunda dulu perjalanan ke Xinjiang. Akhirnya diantara kota yang dicanangkan Xi’an yang lebih lumayan cuaca dan kondisinya. Apalagi, Kota tua yang kaya akan sejarah lagi eksotis ini, memendam banyak sejarah perjalanan dan perjuangan Islam di masanya. Ini juga merupakan salah satu kota yang direkomendasikan bagi para wisatawan.
Setelah berusaha mengevaluasi tempat-tempat wisatanya, saya membulatkan tekad untuk segera ke sana. Setidaknnya di Xi’an ada banyak tempat yang pantas dikunjungi, seperti Chengqiang, Zhonglou, Gulou, Huimin Jie, Qingzhendasi, Huaqing Chi, Dayan Ta, Shanxi Lishi Bowuguan, Qin Shi Huang Bing Ma Yong Bowuguan, Da Tang Xi Shi Guoji Zhanlan Guan, Seoul Xi'an Lake Park, Da Tang Furong Yuan, Qijiang Chi Yizhi Gongyuan, dan lainnya.
Dan yang paling penting jika kita berkesempatan datang kemari jangan lewatkan untuk mengunjungi Xi’an Qingzhendasi (nama lain: Great Mosque), salah satu masjid tertua di negeri para kaisar ini. Bagi wisatawan muslim, jika berkunjung ke Xi’an rasanya tak sempurna bila tidak berkunjung ke masjid ini. Lantaran ini menjadi salah satu saksi sejarah tertua dalam perkembangan Islam di negeri Tirai Bambu. Hingga pemerintahnya pada tahun 1988 menetapkan Xi’an Qingzhendasi sebagai salah satu bangunan bersejarah terpenting.
Xi’an Qingzhendasi merupakan perpaduan ornamen Tiongkok kuno dan seni arsitektur Islam. Bentuknya persis seperti kuil agama Buddha yang dilengkapi paviliun. Hanya saja nuansa Islamnya baru akan kentera ketika kita mulai menjejaki bangunan ini setapak demi setapak ke dalam.
Dan di sanalah kita baru melihat khas Islamnya, seperti ukiran lafadz Allah, kaligrafi arab, dan ukiran hiasan bunga. Makanya jangan heran bila ke sini mendapati kondisi masjid dari luar sama sekali tidak menyerupai mesjid yang kita ketahui umumnya.
Oleh karenanya, masjid ini digolongkan sebagai masjid dengan arsitektur terunik di dunia. Puas berkeliling di perkarangan, saya mendapati satu tulisan yang sangat bermakna di pintu gerbang utamanya yang berbunyi, “Tuhan itu satu, dan kita di bawah satu naungan”.
Sampai sekarang, Xi’an Qingzendasi masih difungsikan sebagai tempat ibadah oleh kaum muslim dari suku Hui di wilayah ini. Masjid yang dibangun pada abad ke 8 Masehi dan mengalami rekonstruksi terakhir pada 18 masehi berada di Lianhu, Xi’an.
Di perkarangan awal masuknya ada peta terpampang yang akan memandu dan memberi kita sedikit informasi tentang ruang apa saja yang terdapat di dalamya, seperti ruangan shalat, ruangan wudhu, perpustakaan, dan lainnya.
Untuk turis muslim memasuki masjid ini tidak dikenakan tiket masuk, kita cukup mengucapkan salam saja sembari berbagi senyum. Sehabis puas mengitari mesjid ini bila berniat ingin membeli souvenir, di luar gerbang mesjid sangat banyak toko penjual pernak-pernik seperti aneka busana, barang antik, lukisan, dan lainnya.
Lama berburu souvernir waktu Zuhurpun tiba, saya mencari masjid lainnya. Dikarenakan sekeliling tempat ini ada beberapa masjid yang dapat kita temui. Mesjid yang saya dapati adalah Dapiyuan yang juga berkontruksi hampir sama dengan Xi’an Qingzhensi. Di mesjid ini saya berjumpa Abdullah Musa, saudara se-iman yang pintar berbahasa inggris dan arab. Tak hanya itu, beliau juga tahu banyak hal termasuk angka jama’ah haji asal Indonesia di setiap tahunnya. Beliau sungguh takjub mengetahui banyaknya muslim Indonesia yang ingin menunaikan rukun Islam kelima ini. Bahkan mengantri untuk turut bisa berangkat. Ini tentu berbeda dengan angka jama’ah haji asal Tiongkok sebagai minoritas ungkapnya. Beliau sangat senang ketika mengetahui saya berasal dari Indonesia. Ia langsung menyambut kehadiran saya dengan salam dan senyum yang ramah.
Abdullah Musa merupakan penduduk asli Xi’an, seorang pedagang makanan yang juga telah sempat menginjak tanah suci, Mekkah. Dari beliaulah setidaknya saya banyak memperoleh informasi tentang Islam di Xi’an. Beruntungnya pria yang sudah berusia 35 tahun ini bersedia meluangkan waktunya menemani saya mengenali mesjid-mesjid yang ada di sana dan bercerita banyak hal tentang sejarah mesjid dan orang-orang di zaman awal mula Islam masuk ke Xi’an. Dia juga sempat bercerita tentang Laksamana Cheng Ho yang sudah melintasi berbagai daratan, termasuk Indonesia.
Sambil bercerita ia mengajak untuk mengunjungi masjid lainnya, bernama Qingzhenxinsi. Berbeda dengan mesjid yang sebelumnya saya kunjungi, Qingzhenxinsi benar seperti namanya yaitu mesjid baru. Masjid ini tidak ada khas Tiongkok sama sekali yang tampak pada bangunan maupun ornamennya.
Bentuk bangunannya sama seperti mesjid-mesjid di daerah kita yang beratapkan kubah dan berlantaikan keramik. Mesjid ini terdiri dari tiga lantai dimana setiap lantainya memiliki fungsi yang berbeda. Lantai satunya terdiri dari tempat shalat dan wudhu lelaki, di sisi belakangnya juga terdapat ruangan untuk menyimpan peralatan masak yang mereka gunakan ketika memasak untuk bekal orang berbuka dibulan puasa juga menjadi tempat untuk orang-orang menikah yang ingin mengadakan pesta berupa undangan makan.
Dikarenakan rata-rata di sini masyarakatnya tidak memiliki area rumah yang luas bila hendak mengadakan acara atau pesta semacam itu. Sedang lantai duanya diperuntukkan untuk jama’ah perempuan, dan lantai tiga saat ini difungsikan ibu-ibu untuk mengadakan pengajian agama. Saya merasa terharu ketika bapak dari dua orang anak ini berkata bahwa di tempat ini azan selalu terdengar di lima waktu shalat yang ada. Ini tentu berbeda dengan mesjid-mesjid di kota tempat saya belajar (Wuhan) yang hanya berfungsi ketika shalat jum’at saja. Di depan dari setiap mesjidnya pun tampak jadwal shalat yang terbuat dari papan tulis menggunakan kapur yang terus dijaga ke-update-an waktunya. Juga ada mesjidnya yang menggunakan jadwal shalat digital.
Setelah puas mengenali mesjid ini, sayapun diajak untuk melihat mesjid Da Xuexi Xiang yang juga terlihat tua usianya dan sama sekali belum ada perubahan apapun pada bangunannya berdasarkan keterangan beliau. Pada bangunan mesjid ini yang hanya akan kita dapati juga ornamen kaligrafi dan ukiran hiasan bunga. Bentuknya hampir sama dengan mesjid Qingzhendasi yang menyerupai bentuk kuil. Setidaknya ada dua puluh lebih mesjid di Xi’an sekarang bedasarkan website muslim Tiongkok yang saya baca.
Di akhir pertemuan, beliau mengajak makan bersama di rumahnya sebelum saya kembali ke kota Wuhan. Tetapi karena waktu yang sudah kepepet akhirnya dengan sangat disayangkan undangan beliau harus saya tolak. Beliaupun memaklumi dan menghantarkan saya sampai ke stasiun bus untuk menuju hotel dan kembali ke Wuhan. Di akhir perjumpaan, kami hanya bisa saling bertukar nomor handphone saja dan berharap semoga suatu hari disaat yang baik kami dipertemukan kembali dalam keadaan sehat.
Penulis:
AL-Zuhri , Alumnus Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin (BKPBM) Aceh, penerima China Scholarship Council pada Studi Master Communication Studies di Huazhong University of Science and Technology melaporkan dari kota Xi'an, Shanxi, Tiongkok
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6