Sukses

KOLOM BAHASA: Penerjemahan Kata Asing, Masihkah Perlu?

Bahasa hidup dan berkembang berdasarkan kreativitas pemakainya. Selama pemakai ini manusia, selama itu ada variasi dan perkembangan.

Liputan6.com, Jakarta Kenapa repot-repot memikirkan bahasa? Terus terang ini sangat menjengkelkan. Karena sebagai orang yang memahami bahasa, saya secara otomatis terus membenarkan bentuk-bentuk kata atau kalimat salah yang saya lihat di jalan, di televisi, dalam tulisan, atau bahkan dalam pembicaraan sehari-hari. Beberapa kali bentuk salah itu saya unggah sebagai status di Facebook untuk memberikan pengetahuan kepada khayalak.

Di grup Whattaps yang saya ikuti, beberapa kali teman bercanda lantas bertanya, “Eh, benar tidak ucapan gue. Tolong dong, menurut KBBI bagaimana?” Parahnya lagi di grup Whattaps yang lain, seorang teman mengaku sungkan memulai percakapan karena merasa segala sesuatunya harus menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia berpikir demikian karena ada saya sang editor bahasa di grup itu. Nah lo!

Sebagai pengguna bahasa, terasa betul bahwa bahasa Indonesia sekarang berkembang teramat pesat. Kosakata yang tidak ada ketika zaman bapak-ibu kita sekarang mulai muncul dan dipakai. Di lain pihak, ada kosakata yang tidak populer dan akhirnya hilang ditelan zaman.

Bahasa sesungguhnya adalah produk sejarah pertumbuhan manusia. Bahasa hidup dan berkembang berdasarkan kreativitas para pemakainya. Pada masa ini perkembangan bahasa juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan semakin menyempitnya dunia. Tak ada lagi batas-batas yang jelas. Semuanya samar, sehingga menyebabkan dunia ini terasa seperti desa kecil yang masyarakatnya saling berbaur.

Dengan demikian, masuklah kosakata dari luar ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing lalu diserap menjadi bahasa Indonesia. Ini sebenarnya bukan gejala aneh. Remy Sylado, sastrawan dan budayawan, pernah menulis buku 9 dari 10 Bahasa Indonesia Adalah Asing. Dalam buku itu ia mengungkap bahwa Indonesia merupakan hasil silang budaya. Dan itu terlihat dalam bahasanya.

 

Mengapa bahasa Indonesia menyerap bahasa dari luar? Salah satunya lantaran adanya konsep baru dalam bahasa itu yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Contohnya adalah syukur, selamat, nikah, jemaah, maut, salat, sohib, dan Jumat yang berasal dari khazanah bahasa Arab. Konsep bahasa ini berkembang seiring masuknya agama Islam di Indonesia.

Selain itu, pengaruh bahasa Sansekerta juga tak kalah banyak. Misalnya anda, dewa, puasa, graha, griya, pertiwi, purna, dan yudha. Tentu ini merupakan pengaruh keberadaan Kerajaan Hindu-Buddha sebelum masuknya Islam ke negeri ini. Yang menarik, Putu Setia, budayawan Bali, mencatat bahwa kata graha dalam KBBI berarti ‘buaya’. Penyerapan yang benar seharusnya gerha yang berarti ‘bangunan, kantor, tempat tinggal’. Jadi Bina Graha tempat presiden sehari-hari berkantor bisa diartikan sebagai ‘bina buaya’. Pantas saja negara tak beres-beres, begitu mungkin kelakar Putu Setia.

Pada masa kini perkembangan bahasa Indonesia semakin menarik, meski beberapa kalangan menganggapnya mengkhawatirkan. Kata-kata dari bahasa Inggris datang menginvasi, umpamanya selfie, gadget, bully, download, posting, stand-up comedy, makeup, fashion, dan video game.

Sebagian kalangan menganggap upaya menerjemahkan kata-kata ini ke dalam bahasa Indonesia adalah sebuah kesia-siaan. Soejono Dardjowidjono dalam “River Side Estate atau Perumahan Pinggir Kali” menulis bahwa memurnikan bahasa Indonesia dengan mencegah kata asing bukan hanya bertentangan dengan kodrat, tetapi juga menjauhkan kita dari masa depan. Namun ia setuju untuk tidak gegabah menerima kata asing begitu saja. Maka, tutur Soejono, tidak ada salahnya memakai padanan asalkan kata ini dipakai sebagai sinonim untuk memperkaya bahasa Indonesia.

Dengan demikian, bisakah kita menggantikan selfie dengan swafoto, gadget dengan gawai, bully dengan risak, download dengan unduh, posting dengan unggah, stand-up comedy dengan pelawak tunggal, makeup dengan riasan, fashion dengan mode, dan video game dengan gim?

Beberapa kalangan bahkan melangkah lebih jauh menggunakan bahasa daerah dalam mencari kesinoniman. Misalnya kata mangkus dan sangkil yang bersinonim dengan efektif dan efisien dari bahasa Inggris effective dan efficient.

Meskipun ada perasaan keren ketika menggunakan bahasa asing, saya menyarankan bentuk kesinoniman ini dapat diterima dan dipakai. Sebab jika tidak, jangan-jangan ada yang salah dalam pikiran kita. Jangan-jangan kitalah yang merasa inferior dan rendah diri dengan bahasa sendiri.

Namun tetap saja, padanan istilah asing ini kembali kepada penerimaan masyarakat. Jika masyarakat senang dan terbuka memakainya, kata-kata itu akan hidup. Jika tidak, kita kembali lagi bahwa bahasa hidup dan berkembang sesuai kreativitas manusia. Selama pemakai ini manusia, selama itu ada variasi dan perkembangan terus-menerus. Bentuk yang disukai akan bertahan, sementara yang tidak akan lenyap dan hilang.