Sukses

Refleksi Rayuan Pulau Palsu di Kampung Nelayan

Proyek reklamasi tak hanya ada di Jakarta, di daerah lain juga. Ini bukan persoalan nelayan Muara Angke saja, tapi persoalan semua rakyat.

Liputan6.com, Jakarta Ratusan orang berdiri diam dan fokus menatap kain putih yang jadi alas tembakan gambar dari proyektor. Sesekali mereka bersorak saat wajah pejabat pemerintah ditampilkan dalam sebuah film di samping Masjid Taufikil Mubarok, Muara Angke.

Pemutaran film berjudul Rayuan Pulau Palsu ini serupa layar tancap yang dilaunching di tempat pembuatannya sendiri, di kampung para nelayan Muara Angke, Jakarta Utara pada Sabtu (30/4/2016) malam.

Para nelayan itu bahu membahu bergotong royong, kala layar kain mereka roboh diterpa angin. Begitu jua saat proyektor rusak karena terlalu panas.

Dua kipas angin milik masyarakat disulap jadi pendinginnya. Meski begitu, proyektor tetap tak mampu memutar film yang dilakoni oleh warga setempat. Akhirnya satu proyektor milik karang taruna jadi pemutar film yang membahas soal reklamasi teluk Jakarta itu.

Film berdurasi 1 jam tersebut dimulai dengan iklan berbahasa mandarin yang menunjukkan promosi pulau reklamasi di Jakarta. Dalam iklan tersebut, sudah dipromosikan bentuk hunian dan pulau mana saja yang akan dijual. Ada kontak pengembang yang bisa dihubungi dalam iklan yang bersumber dari youtube itu.

Padahal, pemerintah selalu bercerita pulau itu sebagai penyangga bagi hidup masyarakat kecil. Sangat bertolak belakang dengan iklan yang berbahasa mandarin itu. Apalagi dengan pemberitaan media massa.

Nonton Bareng Film Dokumenter Rayuan Pulau Palsu di Kampung Nelayan Muara Angke

Sutradara Rayuan Pulau Palsu, Randi Hernando bercerita, film dokumenter ini, dibuat apa adanya. Ia mengakui bahwa ada gambar-gambar yang goyang, dadakan, dan bahkan gambar spontan dari para pemeran film.

"Kita tak pernah sekalipun mengarahkan gaya atau dialog mereka, itu natural dari mereka sendiri," kata Randi pada Liputan6.com usai pemutaran film.

Wajar jika ada dialog nelayan yang marah dan kecewa lantaran dituduh sebagai nelayan gadungan.

Dari film itu juga terungkap, adanya praktik pembohongan publik oleh pengembang. Mereka yang pro reklamasi diberi uang hingga ratusan juta rupiah, untuk menggelar aksi mendukung reklamasi. Mereka mengatasnamakan organisasi nelayan tradisional. Padahal, itu adalah aksi pasukan nasi bungkus.

"Ya, biasalah, korlap (Koordinator aksi lapangan) kan dikasih Rp 300 ribu, pengembang juga kasih Masjid 100 juta," ujar seorang saksi yang sengaja disamarkan wajah dan suaranya dalam film itu.

Belum lagi pengakuan salah satu pengurus Masjid yang mengakui bahwa ada jamaahnya yang dikasih fasilitas mewah untuk berumroh ke tanah suci oleh para pengembang.

"Ya dikasih paket umroh, udah banyak yang berangkat," kata salah satu pengurus Masjid yang ditayangkan. Sontak langsung diteriaki dan dimaki para penonton.

"Huuuuuu," teriak penonton dari pojok kiri.

Salah satu warga dalam film itu juga mengaku ditipu. Ia yang menolak reklamasi dibohongi dan diajak untuk berdemo menolak reklamasi. Padahal nyatanya, ia dikibuli.

"Waktu saya ngembangin spanduk, eh malah setuju reklamasi tulisannya, aduh.. Ditipu," kata pria tak berbaju itu.

Pemutaran film yang dihadiri ratusan masyarakat setempat itu diawasi dengan ketat oleh pihak keamanan. Beberapa polisi dan tentara berjaga di belakang kerumunan penonton, dengan rutin mereka berkomunikasi lewat handytalky. Sementara puluhan anak-anak yang menonton di depan layar tancap, sangat tertib, tak ribut, atau mondar-mandir. Keadaannya lebih aman dari kata kondusif.

Usai menonton, beberapa tokoh dalam film berorasi. Mereka menyuarakan protesnya pada pemerintah yang tetap melanjutkan reklamasi, dengan berbagai dalih. Padahal, dalam film tersebut dengan gamblang dan sangat jelas menayangkan dampak dari reklamasi.

"Hidup Nelayan," ujar seorang pemeran. "Tolak reklamasi," sahut gemuruh suara massa.

Dalam orasinya, mereka juga menantang pihak yang meragukan keaslian ke-nelayan-an mereka. Sebab, mereka kesal dengan pemberitaan yang mengutip tudingan bahwa nelayan yang dianggap mengada-ada tanpa konfirmasi ke nelayan yang sudah puluhan tahun melaut di sana.

Di film tersebut, seolah mereka menang saat menyegel pulau G apalagi kemudian terungkapnya kasus suap anggota dewan yang ingin reklamasi terus berlanjut. Dalam film itu, dijelaskan tentang alasan apa saja yang membuat para nelayan menolak reklamasi. Mulai dari kerusakan alam yang nyata, keruhnya lautan teluk Jakarta. Lalu pendapatan nelayan yang menurun, penyingkiran orang-orang yang sudah digusur berkali-kali, sampai nelayan yang diancam melewati beberapa kawasan perairan milik kaum elit.

"Belum jadi itu reklamasi, udah diusir kalau mendekat, apalagi kalau sudah direklamasi," ujar seorang nelayan.

Di film tersebut juga memperlihatkan dengan jelas provokasi dan adu domba oleh beberapa pihak yang ingin memecah belah masyakarat setempat, serta tayangan soal nasib pedagang di pasar ikan yang tak tahu harus bagaimana lagi, jika reklamasi dilanjutkan.

Menurut Randi, ia dan kawan-kawannya ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa ada ketidakberesan dalam proyek reklamasi, yang mendapat restu dari pemerintah itu.

Ia juga menyesalkan pemberitaan media massa yang tak berimbang. Hanya mengutip ucapan penguasa saja, tanpa pernah datang langsung dan melihat realita yang ada di masyarakat.

"Ada yang tak beres dalam kebijakan pemerintah, ada ketidakberesan dalam proyek reklamasi ini. Kita tergerak untuk melakukan hal ini bahwa ketidakberesan itu tidak boleh dibiarkan," kata Rudi.

Dalam proses pembuatan selama 2 bulan lebih itu, Rudi dan semua kru yang bertugas menginap di rumah-rumah nelayan.

Mereka makan, tidur, dan melaut bersama nelayan. Hasilnya, Rudi dapat mengumpulkan fakta. Semua nelayan mengeluhkan pencemaran lingkungan, akibat proyek reklamasi. Hal itu menyebabkan nelayan kesulitan mencari ikan. Padahal, melaut adalah sumber penghidupan dan mata pencaharian utama masyarakat Muara Angke.

Rudi menampik, jika Wacthdoc didanai oleh pihak kontra reklamasi atau lembaga tertentu. Ia bahkan, baru bertemu istrinya saat pemutaran film usai. "Bini gue aja sering gue tinggalin buat film ini, gak ada, ini biaya pribadi, makan aja sering ama mereka (nelayan)," terang Rudi.

Film itu jua mengisahkan perjuangan nelayan menggugat proyek reklamasi dari awal hingga penyegelan pulau G.

Untuk risetnya saja, ada 4 orang yang bertugas setiap harinya, 2 di depan komputer, 2 lagi di lapangan. Sedangkan untuk pengambilan gambarnya dimulai sejak salah satu pulau reklamasi digugat oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.

Rudi mengatakan, tak ada harapan atau tujuan terselubung dari film swadaya itu. Ia hanya ingin mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan secara sistematik dan terencana dengan baik oleh oligarki kaum elit.

"Masyarakat Indonesia  harus tahu, proyek reklamasi ini tak hanya ada di Jakarta, di daerah lain juga ada. Ini bukan persoalan nelayan Muara Angke saja, tapi persoalan semua rakyat. Kalau semua direklamasi, sedangkan pulau kita masih banyak yang tak berpenghuni, jadi sebenarnya, reklamasi itu untuk siapa?" terang Rudi.

Sedangkan pimpinan Wacthdoc, Dhandy Dwi Laksono mengatakan, film Rayuan Pulau Palsu ini beda dengan film-film dokumenter Wacthdoc lainnya, film ini belum akan diupload ke Youtube sampai batas waktu yang belum jelas. Namun bakal diputar di kampus-kampus atau di tengah-tengah masyarakat.

"Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang tertib, atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak," terang Dandhy.

Pria gempal yang mengelilingi Indonesia selama 1 tahun penuh ini, mendokumentasikan beberapa proyek reklamasi lainnya yang tak jelas untuk siapa. Bahkan, proyek reklamasi yang tak masuk akal dilakukan pemerintah di daerah-daerah yang tak ada masalah dengan kepadatan penduduk, ataupun kebutuhan yang tak penting untuk mereklamasi.