Sukses

KOLOM BAHASA: Bahasa Media dan Perspektif Kesetaraan Gender

Tak jarang pemberitaan disajikan dengan begitu gamblang oleh media massa hingga makin memojokkan posisi perempuan.

Liputan6.com, Jakarta - Akhir-akhir ini kasus pelecehan seksual, kekerasan seksual, bahkan bahkan pemerkosaan disertai pembunuhan menjadi topik utama pemberitaan media massa. Perempuan dalam kasus-kasus tersebut seakan menjadi pihak yang tereksploitasi, lemah, terlecehkan, bahkan teraniaya. Tak jarang pula pemberitaan disajikan dengan begitu gamblang oleh media massa hingga makin memojokkan posisi perempuan.

Contoh-contoh berikut banyak kita jumpai di media massa (khususnya media daring): Janda cantik mencuri susu saat hari Kartini; pria yang berhasil menghamili istri lurah; dan niat berobat cepat punya anak, ibu muda malah digagahi terapis. Dalam penggalan-penggalan kalimat tersebut, tampak perempuan sebagai pihak yang inferior, tak berkuasa, termarjinalkan.

Sungguh miris, media massa yang seharusnya menjadi reflektor bagi ketidakadilan sekarang justru “menghalalkan” praktik ketidakadilan gender dalam berita, iklan, film, dan produk media lainnya.

Dalam Women’s Studies Encyclopedia, gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Penegasan gender yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kultural juga ditegaskan Hilary M Lips dalam Sex And Gender: An Introduction. Pakar psikologi sekaligus seorang feminis ini mengartikan gender sebagai harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for woman and men).

Berbeda dengan sex (jenis kelamin) yang dapat dilihat sebagai kodrat (tidak dapat diubah, diganti, ditukar), gender adalah hasil dari dari konstruksi budaya masyarakat. Sayangnya, dikotomi selalu menciptakan adanya dominasi. Dalam hal ini, kondisi budaya dan sosial masyarakat Indonesia yang menjunjung sistem patriarki menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki.

Janda cantik terasa lebih menarik dan “menjual” dibanding jika ditulis janda atau perempuan tanpa suami saja. Eksploitasi semakin menjadi ketika menyetubuhi bahkan menghamili perempuan dianggap sebagai sebuah prestasi dan pencapaian (berhasil menghamili). Berhasil dalam KBBI bermakna ‘mendatangkan hasil; ada hasilnya; beroleh (mendapat) hasil; berbuah; tercapai maksudnya’.

Pada pengertian tersebut, berhasil adalah mendapat sesuatu atau tercapai maksud yang diinginkan. Secara sadar atau tidak, kasus pencurian biasa tampak menarik dan “seksi” ketika dilakukan oleh para janda. Celakanya, sadar atau tidak masyarakat tertarik dan menyukai berita-berita semacam itu.

Sudut termarjinalkan dapat kita lihat dalam penggunaan kata digagahi. Posisi perempuan tampak sebagai pihak yang lemah, karena gagah dilekatkan untuk laki-laki. Makna gagah dekat dengan ‘kuat; bertenaga, besar, tampak mulia dan megah’ (KBBI). Sementara dalam Tesamoko, menggagahi bermakna ‘memerkosa, mencabuli, menyodok, menyorong’. Saya berpendapat, ketika satu pihak (laki-laki) disebut gagah, pihak lainnya akan dikonotasikan sebagai pihak yang lemah, merana, dan tak berdaya, ringkih.

Dikotomi semacam ini mungkin sekali sudah terjadi pada masa Orde Baru. Penguasa zaman itu tidak mau menggunakan istilah perempuan untuk wanita. Bagi rezim itu, perempuan seakan menjadi simbol pemberontakan, garang dan lekat dengan stigma buruk pergerakan aktivis Gerwani. Penguasa Orde baru lebih senang menggunakan istilah wanita yang asal katanya adalah wani ditoto ('berani diatur').

Wanita menurut pengertian tersebut sarat dengan nuansa pendudukan, penjajahan, dan penguasaan. Tak heran pula, wanita pada masa itu diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang “wanita banget”, semisal menjahit, memasak, merangkai bunga, pembantu rumah tangga.

Sayangnya, konotasi semacam itu ada bahkan dipelihara oleh media dewasa ini. Demi mengejar oplah atau page view yang tinggi, bahasa dibuat bombastis tanpa menyadari bahwa telah menjadikan perempuan sebagai komoditas, sekaligus merendahkan nilainya sebagai makhluk sosial.

Media dalam hal ini mempunyai peran besar sebagai medan wacana. Tak hanya sebatas memberikan informasi bagi masyarakat, media seyogianya dapat berperan sebagai wadah untuk memproduksi dan merekonstruksi nilai-nilai kesetaraan gender.