Liputan6.com, Jakarta Beberapa hari lalu legenda tinju dunia Muhammad Ali meninggal dunia. Dejumlah tokoh dunia mengenangnya sebagai seseorang yang sangat vokal. Ali menyuarakan kesetaraan derajat antar-ras. Salah satu ucapannya yang paling fenomenal adalah saat menolak ikut wajib militer ke Vietnam.
Dia merasa tak ada seorang pun di Vietnam yang memusuhi dirinya dan tak seorang pun di Vietnam yang memanggilnya Negro.
Hal yang mengejutkan lainnya adalah saat dia menolak kepingan marmer bertuliskan namanya dipasang di Hollywood Walk of Fame karena dia tidak ingin nama Muhammad diinjak-injak sepatu manusia setiap hari. Akhirnya kepingan nama Muhammad Ali dipajang di dinding, berbeda dengan nama tokoh lain yang dipasang di lantai trotoar yang dilintasi warga Hollywood setiap hari.
Advertisement
Baca Juga
Nun jauh di Desa Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Indonesia, terdapat sesisip kenangan manis tentang Muhammad Ali. Bukan karena ucapannya, bukan karena kontroversialnya, tapi murni karena seni bertinjunya. Konon “Wong Tjepiring” di tahun 70-an sangat fanatik menonton semua pertandingan tinju yang ditayangkan oleh TVRI.
Tempat menontonnya pun tak kalah unik, yaitu di Aula Bale Buruh Pabrik Gula (PG) Tjepiring. Maklumlah zaman itu televisi adalah barang mewah dan PG adalah salah satu perusahaan pemerintah yang murah hati memasang satu pesawat televisi di aula itu.
Suasana menonton di Bale Buruh zaman itu dilukiskan oleh Alm Hj Siti Romlah, Pak Ahmadi Kamituwo Desa Cepiring dan Pak Baron mantan prajurit komando yang sudah pensiun yang kala itu masih seusia SMP benar-benar meriah dan hiruk-pikuk.
“Seperti pasar malam, warga berteriak histeris saat Ali dihajar lawannya (Mungkin saat melawan George Foreman) atau melonjak tak karuan saat Ali menang meng–KO lawannya. Gema suara seperti koor Ali..Ali..Aliii.. mewarnai gedung kecil itu. Jalanan sepi, nyaris tak ada orang atau kendaraan yang lewat. Semua menonton tinju,” ucap Baron yang sempat mengira Muhammad Ali adalah warga Semarang.
Keunikan lain adalah tak satu pun lawan Muhammad Ali yang diingat namanya dengan jelas. Paling mereka mengingat nama seperti Pormen (Foreman-pen) atau Holmes, itu saja. Nama lain seperti Sony Linston atau Joe Frazier dan sederet lawan lain niscaya tak ada yang hafal.
Bagi generasi sepuh Cepiring saat itu, tinju itu identik dengan Muhammad Ali, lengkap dengaan karismanya, gantengnya, dan gagahnya. Mereka tak mempermasalahkan apa pandangan politik Ali, atau kontroversi lainnya. Kenangan tentang si “The Greatest” ini sangat melekat di benak mereka.
Farewell Muhammad Ali, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Warga Tjepiring berterima kasih atas kenangan tentangmu yang menggelorakan semangat dan menyenangkan dalam menikmati olahraga tinju.
Penulis:
Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller, Backpacker, Photographer, dan Abdi Negara
Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini.
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.