Liputan6.com, Jakarta Membandingkan antara Nick Carter dengan Enny Arrow, rasanya memang kurang adil sejak dalam pikiran. Keduanya sama-sama penulis novel stensilan yang tak diketahui rimbanya.
Artinya, baik Nick Carter maupun Enny Arrow keduanya sama-sama nama pena yang sosok aslinya jarang diketahui publik. Namun di tahun 1980-an dua nama itu menjadi penulis yang paling ditunggu karya terbarunya.
Nick Carter pertama kali terbit di Amerika pada tahun 1964. Dan masuk di Indonesia diperkirakan tahun 1980-an. Isinya bercerita tentang petualangan seorang detektif alias agen rahasia asal Amerika.
Selain kisah petualangan, novel tersebut senantiasa dibumbui kisah asmara dan adegan seks para tokohnya. Bahkan ketika masuk ke Indonesia, cerita petualangan sang detektif malah menjadi cerita figuran yang tidak terlalu penting. Hal utama yang ditonjolkan adalah penggambaran adegan seksnya.
Sementara yang tak kalah jayanya di Indonesia pada saat itu adalah novel-novel erotis karya Enny Arrow. Maka tak sedikit yang menyangka Enny Arrow juga orang Amerika. "Gampangnya, kalau Amerika punya Nick Carter, Indonesia punya Enny Arrow," ujar Hari Gib, penikmat dan pengoleksi novel Enny Arrow.
Karya-karya Enny Arrow tak kalah sensualnya dengan Nick Carter. Malah karya Enny Arrow tidak menghadirkan satu cerita yang jelas. Dan murni mengusung adegan seks belaka. Dengan penggambaran yang detail dan diksi yang membumi.
Berbeda dengan Nick Carter, sosok Enny Arrow belakangan telah diketahui. Ia mempunyai nama asli Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Desa Hambalang, Bogor tahun 1924.
Bagi remaja era 80-an Nick Carter dan Enny Arrow menjadi primadona pembaca stensilan. Namun seiring perkembangan zaman, nama keduanya lambat laun tergantikan oleh VCD serta situs-situs pornografi di internet.
Walau tak sejaya dulu, tapi jangan salah, toh kisah-kisah pornografi lewat karya stensilan itu tetap berada di lingkaran masyarakat. Hingga muncul nama Fredy Siswanto dan Abdullah Harahap yang mengemas cerita stensilan bertemakan horor.
Selain itu, bentuknya pun menyesuaikan perkembangan zaman. Hingga tak sulit menemukan karya-karya stensilan berbentuk PDF atau bahkan e-Book di internet. Bahkan kehadirannya semakin vulgar. Pada akhirnya, persoalan seks adalah persoalan paling purba dan manusia tidak akan pernah selesai untuk membahasnya.
(War)
Advertisement
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6
Â