Liputan6.com, Jakarta - Akses air bersih masih menjadi permasalahan di beberapa tempat di Indonesia. Hal ini membuat warga di Desa Kembang Kerang Daya terbiasa untuk buang air besar sembarangan (BABS), baik di sungai, kebun, atau ladang. Padahal, perilaku BABS dapat menjadi pintu bagi penyakit menular.
Baca Juga
Advertisement
Wabah diare yang pernah terjadi di desa ini membuat Yayasan Masyarakat Peduli Nusa Tenggara Barat (YMP NTB) tergerak. Setelah mengusahakan agar air bisa masuk ke desa tersebut, tidak berarti kemudian tugas mereka selesai.
Direktur YMP NTB, Ellena Rachmawati, menuturkan kalau ketersediaan kakus menjadi masalah berikutnya di tempat tersebut. Warga tidak mengerti cara membuat kakus. Selain itu, harga kakus tidaklah murah untuk ukuran warga Desa Kembang Kerang Daya.
Untungnya, pada awal 2013 Kedutaan Besar Belanda mau memfasilitasi pelatihan pembuatan kakus untuk desa tersebut. Sebanyak 47 orang pria dilatih selama enam hari oleh satu kelompok masyarakat dari Grobogan, Jawa Tengah, yang sudah sukses dengan program pembuatan kakus itu sebelumnya.
"Karena kami tidak memberikan modal dan uang transpor, ke depannya hanya 10 orang yang bertahan. Merekalah kini yang melatih para pemuda, bahkan mantan narapidana di desa kami untuk membuat kloset," tutur Ellena panjang lebar.
Salah satu tukang pembuat kakus menuturkan pengalamannya pada Liputan6.com saat dipilih oleh perangkat desa. Menurut Bapak Sabirin, meski bekerja di pemerintahan desa, ia tak malu saat harus menjadi tukang pembuat kakus.
"Saya kerja di pemerintahan desa. Ketika tidak bekerja, baru saya membuat kakus," kata dia.
Sabirin menceritakan saat-saat awal mereka dilatih menjadi tukang pembuat kakus, tidaklah mudah. Banyak yang menyerah dan mundur. Terlebih, mereka sama sekali tidak diberikan uang transpor. Karena itu, hanya yang benar-benar peduli terhadap masalah kesehatan lingkungan di desa yang akhirnya bertahan.
"Awalnya, kami paling cuma bisa buat dua kloset. Satu kali buat, hancur karena belum fasih. Lama kelamaan, eh biasa juga."
Para tukang itu kemudian bergabung dalam Paguyuban Tukang Sanitasi. Mereka membuat kloset sesuai kelengkapannya. Dari yang harganya 700, sampai satu juta lima ratus. Namun, karena penduduk desa Kembang Kerang Daya bukanlah orang-orang berada, para tukang ini ikhlas dibayar dengan cara mencicil.
"Masalah uang kami tidak terlalu memikirkan. Yang penting, masyarakat desa bisa punya kakus masing-masing. Mereka bayarnya dengan mencicil, bahkan ada yang sampai 100 bulan belum selesai. Tapi kami ya maklum," terang Sabirin.
Kerja Keras yang Berbuah Hasil
Kerja Keras yang Berbuah Hasil
Kerja keras mereka tidak sia-sia. Kini, hanya tinggal sekitar delapan persen warga yang belum memiliki kakus. Malahan, kakus yang dibuat oleh paguyuban tukang, sudah ada yang masuk ke toko-toko bahkan dipasarkan sampai Lombok Tengah. Meski tetap, warga desalah yang diprioritaskan.
Ellena menambahkan kalau beberapa tukang itu adalah mantan narapidana yang awalnya sulit diterima di masyarakat. Akan tetapi, karena diberi kepercayaan untuk menjadi tukang pembuat kakus, kini mereka tidak lagi sulit membaur di tengah masyarakat.
Kini, para mantan napi itu telah menjadi pengusaha kloset yang sukses. Informasi ini didengar oleh Kedutaan Besar Belanda. Para tukang itu kemudian diminta mengajar ke Papua, Sumba, NTT, dan daerah lainnya.
"Dari yang awalnya mereka tidak punya pendapatan tetap sampai sekarang mereka mengajar dan diberi honor. Ini tentu menambah pendapatan mereka," tutup Ellena.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6
Advertisement