Liputan6.com, Jakarta - Kebiasaan melukis di dinding bermula dari manusia primitif sebagai cara mengkomunikasikan perburuan. Pada saat itu, lukisan dinding lebih digunakan sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat berburu.Â
Baca Juga
Lebih jauh, mengulik perkembangan lukisan dinding yang kemudian disebut mural, tak terlepas dari pembahasan akan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Perbedaan kelas sosial membuat beberapa golongan masyarakat tidak puas dalam mengekspresikan ide mereka.
Advertisement
Dinding kemudian menjadi medium yang digunakan untuk memprotes kebijakan atau pun rasa tidak puas akan kondisi sosial yang mereka alami. Seiring dengan berkembangnya waktu, coretan di dinding yang kemudian disebut grafiti atau mural ini juga sering digunakan untuk menghias kota dan menyampaikan pesan.
Untuk menandakan pergeseran seni grafiti dan street art dari ruang publik ke ruang yang lebih privat, Institut Prancis di Indonesia (IFI) bekerja sama dengan Tauzia Hotel Management menggelar sepekan pertunjukan seni urban Off The Wall. Di sini, lima seniman Indonesia akan berkolaborasi dengan lima seniman Prancis 'mewarnai' Museum Nasional, D'Gallerie, Yello Hotel, Sekolah Internasional Prancis, dan IFI Thamrin.
Menurut kurator Prancis Claire Thibaud-Piton, tak ubahnya dengan Off The Wall di Singapura dua tahun lalu, Off The Wall Jakarta akan memberikan perspektif baru terhadap seni urban.
"Di acara yang digelar pada tanggal 2-7 November 2016 ini, kesepuluh seniman tersebut akan merayakan kebebasan berekspresi dan melukis secara spontan," ujar dia ditemui di IFI Thamrin, Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Kesepuluh seniman tersebut yaitu Darbotz, Farhan Siki, Soni lrawan, Stereoflow, dan Tutu dari Indonesia, serta Colorz, Fenx, Kongo, Mist dan Tilt dari Perancis. Nantinya, mereka akan melakukan 'grafiti jam' di beberapa tempat di Jakarta, yaitu di tembok IFI Thamrin, di Museum Nasional, serta di D'Gallerie.
Â
Esti Nujadin dari D'Gallerie mengaku, perkembangan seni grafiti telah beralih dari ruang publik ke galeri seni. Namun hal itu tak menghilangkan konsep awal seni grafiti yang merupakan media kritik para seniman jalanan.
"Toh, banyak seniman jalanan saat ini yang bekerja sama dengan brand maupun galeri. Tapi itu ga akan mengubah konsep awalnya. Ini hanya evolusi agar semua masyarakat bisa menikmatinya," papar Esti panjang lebar.
Salah seorang seniman yang turut berpartisipasi, Adi Dharma alias Stereoflow, mengaku antusias dapat berpartisipasi dalam acara kolaborasi ini. Pria yang telah berpameran di Amerika Serikat, Kanada, Hong Kong, Thailand, Australia, dan pameran bergengsi lain di Indonesia ini merasa aksi kolaborasi tersebut dapat menjadi salah satu cara bagi dia mengenal cara kerja seniman jalanan lainnya.
Selain berkolaborasi, 10 seniman tersebut juga akan menjadi juri dalam kompetisi street art bertajuk Off Da Wall di Yello Hotels. Dengan konsep "Bringing Art to Life", kompetisi yang akan berlangsung pada 5 November dan diikuti 35 peserta itu akan menjadi batu loncatan bagi seniman grafiti muda Indonesia dalam mempromosikan street art pada publik secara luas.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6