Sukses

Metode Penyiksaan Kamar Putih, Kejinya Tak Terperikan

Metode penyiksaan ini dapat membuat tahanannya gila dan kehilangan identitas dirinya sendiri

Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah Anda berpikir bahwa warna dapat digunakan sebagai alat penyiksaan? Nyatanya, memang demikian. Metode penyiksaan dengan menggunakan warna putih biasa disebut sebagai Kamar Putih.

Kamar Putih dianggap sebagai metode paling berbahaya dari penyiksaan mental. Meski metode ini telah digunakan selama beberapa dekade, Kamar Putih kembali populer karena penggunaannya baru-baru ini di Iran.

Metode penyiksaan Kamar Putih mengharuskan tahanan tinggal di sel atau kotak yang memiliki dinding benar-benar putih. Dinding, pakaian tahanan, pintu, lampu, dan segala sesuatu yang ada di dalam sel tersebut harus berwarna putih.

Tak hanya itu, makanan yang disajikan pada tahanan pun berupa nasi putih di atas piring putih. Selanjutnya, kurangnya sensorik juga ditimbulkan dari lingkungan yang benar-benar bisu.

- 

Oleh karena itu, terdapat lapisan kedap suara di dalam sel. Tahanan diisolasi dan tak dapat berbicara dengan siapapun.

Bahkan, untuk menggunakan toilet, tahanan harus menyelipkan selembar kertas putih dari bawah pintu ke penjaga. Penjaga yang mengantar tahanan tidak diperbolehkan bersuara dan harus menggunakan sandal empuk yang meredam bunyi.

2 dari 2 halaman

Dampaknya pada Tahanan

Ruang penyiksaan ini tidak ada hubungannya dengan pemukulan atau rasa sakit. Namun, dampaknya lebih buruk pada otak, bahkan tanpa menyentuh Anda.

Tujuan dari hukuman ini yakni untuk menanamkan rasa takut pada tahanan. Meski hasil sebenarnya lebih mengerikan dari sekadar rasa takut. Dalam prosesnya, tahanan akan kehilangan identitas. Ia tak akan ingat siapa dirinya, keluarganya. Bahkan, ia pun menjadi sangat sensitif terhadap warna putih.

Mengutip dari Unbelievablefacts, Kamis (09/02/2017), di zaman modern, Kamar Putih digunakan oleh Garda Revolusi Iran di sebuah pusat penahanan rahasia. Tahanannya biasanya wartawan yang mengkritik rezim Ira.

Salah satu wartawan yang pernah 'mencicipi' Kamar Putih adalah Amir Fakhravar. Ia menjelaskan pengalamannya di Kamar Putih sebagai perlakuan tidak manusiawi. Kasusnya didokumentasikan oleh Amnesty International pada tahun 2004.

"Aku ada di sana selama delapan bulan. Dan setelah berbulan-bulan, aku tak bisa ingat wajah ayah dan ibuku. Ketika dilepaskan, aku seperti bukan orang normal lagi," jelas Amir.

Efek dari penyiksaan Kamar Putih dapat bertahan hingga tahanan telah keluar dari penjara. Tahanannya tidak akan pernah kembali ke normal kecuali mendapat sesi pemulihan mental dari profesional.

Mengerikan, bukan?

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6