Sukses

KOLOM BAHASA: Benarkah Jakarta Tergenang Banjir?

Masyarakat masih sering salah menggunakan frasa 'tergenang banjir'. Kalimat Jakarta tergenang banjir pun dianggap tidak bermasalah.

Liputan6.com, Jakarta Bencana banjir memang tengah menghebohkan DKI Jakarta dan membuat suasana di tengah hiruk-pikuk pilkada semakin panas. Namun tenang, tulisan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Pilkada DKI Jakarta.

Di musim hujan seperti sekarang, sudah lumrah ketika berita tentang banjir melanda Jakarta tersiar di berbagai media massa. Klausa “Jakarta tergenang banjir hingga 2 meter” pun tak jarang kita baca.

Tunggu dulu, adakah yang aneh? Mungkin kebanyakan orang akan berbarengan menjawab tidak ada. Namun, cermati lagi. Jakarta tergenang banjir? Mungkinkah?

Entri “tergenang” berasal dari kata dasar “genang” yang juga memiliki sejumlah kata turunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV tertulis, genang, tergenang v 1 terhenti mengalir (tt air); 2 berlinang-linang di mata (tt air mata): ~ air matanya mendengar cerita sedih itu; 3 tertutup atau terendam air (yg tidak mengalir): tanaman padi menjadi busuk krn ~ berhari-hari; menggenang v mengumpul krn tidak mengalir (tt air): air yg ~ dapat menjadi sarang nyamuk; menggenangi v menjadikan tergenang (tt air dsb): dia ~ sawahnya; penggenangan n proses, cara, perbuatan menggenangi; kegenangan v terendam air; keempohan; kebanjiran.

Pemaknaan 1 dan 3 tampaknya yang agak pas ditempatkan dalam konteks “Jakarta tergenang banjir”. Tergenang dalam KBBI adalah sebuah verba (kata kerja) yang menyatakan terhenti mengalir; tertutup atau terendam air yang tidak mengalir. Dalam pengertian itu, tergenang selalu dikaitkan dengan air. Artinya dalam makna sebenarnya (bukan konotasi) tergenang selalu disebabkan oleh air.

Lalu bagaimana dengan “banjir”? Dalam KBBI, banjir v 1 berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tt kali dsb); 2 ki datang (ada) banyak sekali; 3 air yg banyak dan mengalir deras; air bah; -- rob banjir yg disebabkan oleh meluapnya air pasang; -- bandang banjir yg besar dan mengalir deras; air bah. Banjir termasuk dalam kelas kata verba, yang menyatakan air banyak, deras, dan (kadang) meluap. Berbeda dengan “tergenang” yang bermakna air berhenti mengalir, banjir menyatakan kegiatan air yang meluap (‘melimpah’, ‘meruap’), mengalir deras.

Sampai sini, klausa “Jakarta tergenang banjir” tampaknya mempunyai penalaran yang sudah agak “terganggu”.

Pertama, “tergenang” menyatakan kondisi (air) yang diam, terhenti, tidak mengalir. Sementara itu, “banjir” menyatakan (air) bergerak, mengalir deras, bahkan kadang meluap. Kedua, “banjir” yang notabenenya kata kerja tidaklah mungkin menggenangi sesuatu, dalam hal ini Jakarta.

Untuk menggantikan "tergenang banjir" lebih baik menggunakan "tergenang air", meski ini juga bukan berarti bebas masalah. Mengapa? “Tergenang”—seperti pengertian di atas—sudah mengandung makna air. Oleh karena itu, penyebutan “tergenang air” (khususnya dalam laras jurnalistik) menjadi tidak efektif dan menentang kaidah ekonomi kata.

Tak hanya tidak efektif, tergenang air rupanya juga bisa menimbulkan makna ganda. Misalnya, apakah air (air ledeng, air tanah, air laut) yang ada di Jakarta yang menggenangi atau hanya air banjir yang menggenangi Jakarta. Namun begitu, konteks berita atau tulisan tampaknya bisa menyelamatkan bentukan "tergenang air". Pembaca pun bisa memahami melalui keseluruhan tulisan bahwa yang dimaksud adalah "Jakarta sedang kebanjiran".

Untuk menghindari ketidakcermatan tersebut, beragam diksi lain masih tersedia untuk dipilih. Misalnya, "banjir melanda Jakarta", "Jakarta kebanjiran", atau "air menggenangi Jakarta". 

Selama ini, penggunaan “tergenang banjir” sepintas merupakan hal biasa dan nyaris tak ada persoalan. Namun, di dalamnya ternyata ada kesalahan ganda, baik dari sisi kebahasaan dan cara berpikir atau penalaran.

JS Badudu berpendapat gejala berbahasa seperti ini muncul akibat kerancuan atau kekacauan berpikir. Dalam kasus ini, hal tersebut bisa jadi akibat dari pencampuradukan dua pikiran atau bentuk secara tak terjaga.

Akan tetapi, karena bentukan semacam ini sudah banyak digunakan—khususnya di media—pengaruhnya di masyarakat sudah telanjur meluas dan mendalam sehingga terlihat sebagai sebuah “kebenaran”. Namun, sebagai seorang yang kerap bersinggungan dengan dunia tulis-menulis, saya cenderung menolak untuk diajak berbahasa dengan cara tak bernalar.