Sukses

Dunia Pantau 3 Kota di Indonesia karena Konsumsi Daging Anjing

New York Times melaporkan, tingginya permintaan itu dilatarbelakangi rendahnya tingkat ekonomi di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini, New York Times menerbitkan artikel tentang tingginya permintaan daging anjing di berbagai daerah di Indonesia. Permintaan itu semakin tahun semakin bertambah di saat banyak negara di Asia mulai meninggalkan kebiasaan memakan daging anjing.

New York Times melaporkan, tingginya permintaan itu dilatarbelakangi rendahnya tingkat ekonomi di Indonesia. Banyak warga yang dianggap berada di bawah garis kemiskinan sehingga tidak mampu untuk membeli daging sapi.

"Maka daging anjing bahkan kucing masuk dalam anggaran mereka," ujar peneliti perlindungan hewan asal Kanada, Brad Anthony kepada New York Times.

Padahal Indonesia termasuk negara yang mayoritas warganya adalah muslim. Agama Islam dengan tegas melarang umatnya untuk mengonsumsi daging anjing. Bahkan anjing menjadi salah satu binatang yang dikategorikan bernajis berat.

Namun demikian, sejumlah wilayah di Indonesia terindikasi masih mengonsumi daging anjing. Tiga wilayah di antaranya adalah, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.

Pendiri Asosiasi Pelindungan Hewan di Bali, Janice Girardi mengatakan sekitar 70 ribu ekor anjing dibunuh dan dimakan pada tiap tahunnya. Mereka percaya memakan daging anjing dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti asma.

"Dalam invetigasi kami, 60 persen pelanggan adalah perempuan Bali. Mereka menganggap, daging anjing merupakan sumber protein yang tinggi," ujarnya sebagaimana dilansir dari World Of Buzz.

Sementara di Yogyakarta, sekitar 215 ekor anjing dikonsumi dalam setiap harinya. Jika dirata-rata dalam satu tahun, jumlah itu sedikit lebih tinggi ketimbang di Bali.

"Sebagai ibu kota, Jakarta mengantongi data lebih banyak. Jakarta mendapat pasokan dari Jawa. Di sana Anda akan sering melihat anjing-anjing liar dibunuh dan dimakan," tandasnya.

Janice menambahkan, jual beli daging anjing merupakan bisnis yang abu-abu. Oleh karena itu, tidak ada data statistik yang pasti. Kendati demikian, Janice yakin, pemilik restoran, tukang jagal, peneliti, dan aktivis yang fokus mengadovokasi hak-hak hewan bersepakat, permintaan daging anjing terus meningkat.

"Ini berarti pembantaian, distribusi, penjualan, dan konsumsi anjing tidak terkontrol. Anjing dianggap bukan sebagai ternak," ujarnya.

Tak ketinggalan, New York Times juga membuat penutup tulisan tentang bagaiamana restoran-restoran daging anjing membantai anjing sebelum dikonsumsi. Di Bali dan Yogyakarta, anjing dibunuh dengan kejam. Mereka dicekik, disembelih, diletakkan dalam karung dan dipukuli sampai mati.

"Itu akan membuat daging anjing menjadi empuk," tulis artikel itu.

(war)

 

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

 

Video Terkini