Liputan6.com, Yogyakarta Seperti kebohongan, kegilaan adalah salah satu sifat yang paling cepat menular. Terlebih di zaman sekarang, kegilaan seperti sengaja diproduksi dan disebarkan untuk menghasut pikiran orang-orang. Hal itulah yang coba disampaikan lewat lakon Hakim Sarmin oleh Teater Gandrik.
Para hakim kota berbondong-bondong memilih masuk rumah sakit jiwa. Tidak hanya hakim biasa tapi hingga Hakim Sarmin yang notabene hakim paling disegani di kota tersebut. Hal ini membuat Dokter Menawi Diparani yang memimpin pusat rehabilitasi tersebut kewalahan.
Baca Juga
Di sisi lain, beredar desas-desus tidak mengenakan perihal keganjilan tersebut. Para hakim yang masih 'waras', dikabarkan mati terbunuh. Mayat mereka ditemukan di lubang buaya.
Advertisement
Mangkane Laliyan selaku penguasa di kota tersebut tak bisa tenang. Selain karena penyakitnya yang tidak kunjung sembuh, wabah kegilaan disebut-sebut sebagai proyek pemberontakan yang tengah dirancang para hakim di rumah sakit jiwa untuk menggoyang kekuasaannya.
Dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 29-30 April 2017, Hakim Sarmin menjadi salah satu pementasan oleh Teater Gandrik yang paling menarik untuk ditonton. Tak hanya kelucuan, penonton seolah dipaksa menertawakan 'kegilaan' yang dapat mereka temui di tengah masyarakat.
Beberapa kali, dialog yang dilontarkan oleh para pemain begitu menyentil sisi humanis penonton. Permasalahan dan konflik yang disajikan di atas panggung terasa begitu dekat karena memang diangkat dari carut-marut masyarakat sekarang ini.
"Kesenian menjadi salah satu cara untuk merefleksikan kewarasan. Ya, semoga apa yg dilakukan oleh Gandrik dan pementasannya dapat menjadi pergulatan sosial politik masyarakat," ujar Agus Noor selaku penulis naskah saat ditemui usai pementasan di Yogyakarta, Rabu (29/03/2017).
Dengan mengupayakan menjaga kewarasan masyarakat lewat jalan kesenian, diharapkan bangsa ini tidak terseret dalam kecamuk kerusuhan berkepanjangan sebagaimana terjadi di banyak negara gagal. Nantinya, rakyat yang waras akan terus melakukan upaya apapun untuk menjaga kesadaran tersebut.
Ternyata, ada yang menarik dari proses kreatif pementasan Hakim Sarmin di Yogyakarta ini. Meski naskahnya sudah sangat bagus, sering terjadi tambal-sulam dalam pengaplikasian di atas pentas. Hal ini ternyata memang menjadi ciri khas Teater Gandrik yang menjadikan panggung sebagai medan permainan para pemain secara luwes dan cair.
"Ini nanti disesuaikan lagi dengan penontonnya. Buat pementasan di Jakarta, guyonan yang sifatnya Yogyakarta banget akan diimprovisasi," jelas sutradara lakon Hakim Sarmin, Djaduk Ferianto.
Harapannya, persoalan yang muncul dalam cerita ini bisa menjadi persoalan bersama. Sebab, peristiwa teater tidak hanya berdiri di atas panggung, tapi penonton juga seharusnya terlibat untuk memperistiwakan apa yang mereka tonton.
Pementasan Hakim Sarmin ini didukung Bakti Budaya Djarum Foundation dan melibatkan para seniman Indonesia, antara lain Purwanto (Penata music), Ong Hari Wahyu (Penata artistic), Rully Isfihana dan Jami Atut Tarwiyah (Penatan Kostum), Dwi Novianto (penata cahaya), Antonius Gendel (penata suara), dan tim lain yang turut berkontribusi untuk pementasan ini.
Lakon Hakim Sarmin dapat disaksikan pada 29-30 Maret 2017 di Taman Budaya Yogyakarta dan 5-6 April 2017 di Jakarta
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6