Liputan6.com, Jakarta Nama aslinya Arum Kurnia. Usianya 87 tahun. Warga desa di kaki Gunung Galunggung, Jawa Barat, lebih sering memanggilnya Abah Harun. Kata "Abah" yang melekat di depan nama Arum Kurnia, bukan sebatas penanda ia sudah tua. Melainkan, sosoknya sudah dianggap sebagai bapak untuk seluruh warga, khususnya warga kampung Malaganti, Desa Sukaharja, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Baca Juga
Meski seluruh rambutnya hampir memutih, Abah Harun masih cukup perkasa. Ia dengan tangkas membuat saluran air yang akhirnya bisa dinikmati warga desa yang kesulitan mendapat air.
Abah Harun adalah orang yang dianggap paling berjasa atas ketersediaan air di sana. Berkat kegigihan Abah Harun, kurang lebih 500 hektare sawah di dua desa teraliri air dengan sempurna.
"Ada dua saluran air yang sudah dipakai selama ini. Sekarang baru proses yang ketiga," ujarnya kepada Liputan6.com.
Selama 62 tahun, Abah Harun mendedikasikan hidupnya untuk warga desa di kaki Gunung Galunggung. Jika perkiraannya tak meleset, ia telah mulai mencangkul tanah keras dan melinggis bebatuan cadas sejak 1962.
Advertisement
"Saya hanya ingat, tak lama setelah itu ada peristiwa pemberontakan PKI," ujarnya mengira-ngira.
Abah Harun membuat saluran air secara sukarela, tanpa sepeser pun memungut biaya. Malah, warga sekitar sempat menganggap Abah Harun orang gila dan kurang kerjaan.
Sebab, untuk apa repot-repot membelah bukit berbatu dengan cangkul dan linggis demi membuat saluran air. Padahal Abah Harun tak punya lahan sawah yang harus dialiri meskipun cuma sejengkal.
Abah Harun juga pernah nyaris tewas tertimbun longsor. Kala itu, ia dan temannya sedang menggali terowongan untuk jalannya air. Di tengah penggalian, tiba-tiba tanah ambruk dan menimbun sahabatnya, Asik. “Asik meninggal. Saya kehilangan teman baik,” kenangnya.
Namun, Abah Harun tidak jera. Ia bertekad melanjutkan perjuangan sang karib. Pada 2004, ia dibantu sahabatnya yang lain, Atang. Ditambah enam warga lainnya, ia berkolaborasi membuat saluran air ketiga untuk mengairi Sungai Cinila.
Lama-kelamaan, kegigihan Abah Harun membangkitkan semangat puluhan warga lainnya untuk ambil bagian. Mereka kemudian tergabung dalam Paguyuban Cinila Sariwangi.
Hanya bermodal cangkul, linggis dan tali, Abah Harun berserta warga desa harus melubangi batu besar yang menghalangi sumber air. Selama dua tahun penuh, mereka harus bergelantungan di atas jurang.
“Karena bikinnya susah. Banyak batu, harus menggunakan tali dan linggis,” ujarnya.
Lalu untuk apa, Abah Harun bersusah payah melakukan itu semua? Ia mengaku, hanya ingin memberi peninggalan yang terbaik masa depan anak cucu.
Hingga kini, ketiga saluran air itu telah dinikmati ribuan warga desa yang tinggal di kaki Gunung Galunggung. Tak begitu berlebihan kiranya, jika Abah Harun akhirnya dijuluki sebagai Sang Penakluk Cadas Gunung Galunggung.
(war)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini.
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.