Sukses

Begini Pelestarian Kura-Kura Langka di Aceh Tamiang

Upaya penyelamatan kura-kura langka dimulai dengan survei untuk mengetahui habitat dan pola hidup tuntong pada tahun 2009.

Liputan6.com, Aceh - Keserakahan manusia seringkali berdampak buruk pada lingkungan sekitar. Seperti apa yang terjadi di kawasan Sungai Tamiang, Aceh Tamiang, NAD. Dahulunya, kawasan di sepanjang muara sungai ini merupakan tempat favorit bertelurnya spesies kura-kura air tawar, Tuntong Laut (Batagur borneoensis).

Seperti telur penyu, telur kura-kura mempunyai rasa yang nikmat saat dikonsumsi. Tak heran, telur Tuntong Laut menjadi incaran masyarakat sekitar untuk dijual. Apalagi, bila diolah menjadi temuling, makanan tradisional khas Aceh Tamiang yang berbentuk selai.

Perburuan telur tuntong mencapai puncaknya pada tahun 1995-2004. Akibatnya, populasi hewan endemik tersebut menurun drastis dan terancam punah.

Untungnya, masih ada pihak-pihak yang peduli terhadap keberlangsungan kura-kura air tawar tersebut. Bekerja sama dengan Pertamina dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam setempat, Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia (YSCLI) melakukan upaya penyelamatan agar hewan tersebut tidak punah.

"Tuntong punya historis kultural. Tuntong jadi bahan temuling yg merupakan makanan raja. Kalau punah, maka sejarah tersebut juga punah," ujar Koordinator Konservasi Penyelamatan Tuntong YSCLI, Tatang Yudhakomoro di Pusat Konservasi Tuntong Laut, Aceh Tamiang, Rabu (02/08/2017).

Upaya penyelamatan dimulai dengan survei untuk mengetahui habitat dan pola hidup tuntong pada tahun 2009. Dilanjutkan dengan mendata keberadaan mereka. Barulah dilakukan patroli pengamanan dan penetasan telur, pembesaran dan pelepasan tukik, sosialisasi pelestarian satwa liar, pemantauan populasi, serta penelitian genetika.

Tim Liputan6.com berkesempatan menyaksikan pemasangan chip di tubuh tuntong. Seekor tuntong betina yang berhasil ditangkap oleh relawan, diukur dan ditimbang untuk diambil datanya.

Dengan panjang 52 cm, lebar 41 cm, dan berat 18 kg, tuntong tersebut merupakan indukan paling besar yang pernah tertangkap. Saat di-scan, hewan itu ternyata belum dipasangkan chip.

"Pemasangan chip bertujuan untuk mengetahui keberadaan tuntong saat dilepas ke alam liar. Selain itu juga, agar bila nanti tertangkap lagi, bisa diketahui asalnya," jelas Tatang.

Chip yang berukuran sangat kecil ditanamkan di kaki kanan kura-kura tersebut. Sayangnya, karena keterbatasan biaya, chip tersebut hanya bisa dibaca dengan telematri dan belum mendukung GPS.

Menurut Tatang, total indukan yang telah diinjeksikan microchip hingga kini sebanyak 73 ekor. Adakalanya, tuntong yang sama kembali ke Muara Sungai Tamiang untuk bertelur. Terlebih pada musim bertelur yakni bulan November-Februari.

Sejak tahun 2013, jumlah anakan (tukik) yang berhasil menetas yakni 1.204. Tahun ini saja, dari 400-an telur yang diselamatkan untuk ditetaskan, sebanyak 300-an menetas dengan selamat menjadi tukik. *

(sul/ul)

 

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini.

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.