Liputan6.com, Jakarta - Tradisi joki cilik di Sumba telah bertahan berabad-abad lamanya. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa para joki cilik tersebut mesti bermain-main dengan maut saat menunggangi kuda dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam. Dalam sehari, terkadang para joki cilik ini mesti menghadapi 10 pertandingan dengan jarak tempuh 1,6 km untuk satu pertandingan.
Baca Juga
Advertisement
Kecelakaan sudah menjadi hal yang biasa. Alat pengaman mereka hanyalah sebuah helm tua. Bahkan, mereka tidak menggunakan sadel sama sekali.
Joki cilik biasanya memulai karier mereka saat berusia enam tahun. Meski menantang maut, uang yang dibayarkan kepada mereka akan masuk ke kantong orang tua mereka. Hal tersebut diakui oleh orang tua salah satu joki cilik bernama Andika.
"Dari satu pertandingan kami biasanya dapat sekitar Rp 50 ribu. Andika pernah menaiki 20 ekor kuda dalam sehari. Waktu pembukaan, kami dapat sekitar Rp 2 juta," terang Marwan.
Dengan uang senilai dua juta, seorang joki cilik mampu menghidupi keluarganya selama dua bulan. Hal ini menguak betapa kemiskinan mendorong keluarga menerima pekerjaan berbahaya untuk anak-anak mereka.
Aktivis anak tak henti meminta praktik ini untuk dilarang. Di sisi lain, banyak yang mendukung olahraga ini karena menilainya sebagai budaya yang harus dilestarikan.
(Sul/Ul)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6
Saksikan video menarik berikut ini: