Sukses

KOLOM BAHASA: Bahasa Indonesia Menginternasional, Mungkinkah?

Bahasa Indonesia berpeluang menjadi bahasa internasional. Namun, ada sejumlah tantangan dan hambatan yang harus dihadapi.

Liputan6.com, Jakarta Atmosfer kelas Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di Kantor Lembaga Bahasa Indonesia, Universitas Indonesia (LBI UI), pada Rabu (11/10/2017) tampak meriah ketika Liputan6.com berkunjung. Para mahasiswa yang tengah belajar bahasa Indonesia itu antusias dan bertanya kepada dosennya, perihal kapan liputan hari itu ditayangkan. Mendadak suasana riuh dengan gelak tawa.

Ya, para mahasiswa itu datang dari berbagai latar belakang. Ada dua jenis program yang diadakan LBI. Ada kelas reguler pada pagi hari hingga siang yang kebanyakan diisi oleh para mahasiswa yang berasal dari Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Amerika Serikat, dan Australia.

Ada juga kelas yang diisi oleh mahasiswa penerima beasiswa program KNB (Kemitraan Negara Berkembang). Sejak pagi hingga sore selama delapan bulan, mahasiswa dari Uganda, Rwanda, Suriah, Meksiko, dan Ethiophia itu belajar bahasa Indonesia secara efektif di UI. 

Melalui program KNB, ujar Leli Dwirika, Ketua LBI UI, para mahasiswa asing itu diharapkan lancar berbahasa Indonesia sebelum mereka melanjutkan studi magister dan doktoral di Indonesia. 

Tak bisa dimungkiri, program kelas Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) yang digagas LBI UI merupakan salah satu upaya membuat bahasa Indonesia semakin dikenal di tingkat internasional. Menanggapi hal tersebut, Leli yakin bahasa Indonesia bisa menjadi menjadi bahasa internasional.

“Hingga saat ini, peserta BIPA UI datang dari 25 negara. Bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari di negara Asia, tapi juga di Amerika dan Australia,” ujarnya.

Tujuan para mahasiswa belajar bahasa Indonesia itu pun, menurut Leli, bermacam-macam. “Ada yang karena bekerja atau melanjutkan studi, atau ibu-ibu rumah tangga yang mengikuti suami mereka bekerja di Indonesia. Selain itu, ada juga mahasiswa program studi Indonesia di negaranya yang kemudian cuti kuliah 1-2 semester, lalu mengikuti program BIPA di Indonesia,” ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 4 halaman

Amanat Undang-Undang

Niatan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, paling tidak di kawasan ASEAN, sebenarnya bukan isu baru. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 44 menyebutkan bahwa “pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan”. Bahkan, Kongres Bahasa Indonesia X yang diselenggarakan pada 28-31 Oktober 2013 mengusung tema ”Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”.

Seturut hal tersebut, mungkinkah bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional?

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Prof Dr Dadang Sunendar M Hum ketika ditemui Liputan6.com di kantornya, Senin (7/10/2017), mengatakan pihaknya optimistis bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa internasional.

Selain merupakan amanat undang-undang, pengguna bahasa Indonesia termasuk yang terbanyak. Berbagai upaya sudah dilakukan Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan untuk mencapai hal tersebut.

Dadang menyebutkan, hal yang sudah dilakukan antara lain, menyusun bahan ajar bahasa Indonesia untuk penutur asing, serta mengirimkan guru-guru atau pengajar BIPA ke berbagai negara yang mempunyai program pengajaran bahasa Indonesia. Pihaknya juga bekerja sama dengan banyak KBRI di luar negeri terkait 250 lembaga di berbagai negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, baik yang terafiliasi dengan pemerintah atau swasta, dan merekrut orang-orang Indonesia di luar negeri untuk mengikuti pelatihan tertentu dan mengajar di sana.

“Karena itu kami optimistis, tapi memang harus bertahap, sistematis, dan berkelanjutan,” Dadang menegaskan.

3 dari 4 halaman

Hambatan dan Tantangan

Memang, peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional itu ada. Salah satunya adalah bahasa Indonesia relatif mudah dipelajari. Bahasa Indonesia tidak mengenal kala (waktu), konjungasi, maupun jenis kelamin kata benda. Lafal bahasa Indonesia juga tidak sulit diucapkan karena lebih tipis dan ringan. Selain itu, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara Indonesia dengan penduduk yang besar, yakni lebih dari 250 juta penduduk.

Profesor Dr Multamia RMT Lauder, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, dalam wawancara di rumahnya di Kemang pada Rabu (9/10/2017) mengatakan, ada banyak faktor yang melatarbelakangi bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa internasional atau bahasa regional di tingkat ASEAN.

Memang jika dilihat dari jumlah penuturnya, ucap dosen Universitas Indonesia ini, jumlah penuturnya memungkinkan karena termasuk yang terbesar. Selain itu, bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Melayu yang serumpun dengan bahasa yang dipakai di Malaysia, Brunei Darussalam, Melayu Singapura, Filipina bagian selatan, atau Thailand bagian selatan.

“Namun, masih ada beberapa kendala dan masalah yang harus kita pecahkan dan pikirkan,” ujarnya.

Salah satunya adalah dalam konferensi internasional, jika para utusan negara ASEAN duduk bersama, ada negara-negara yang bahasa penuturnya bukan berakar dari bahasa Melayu. Salah satunya adalah Laos dan Vietnam. Oleh karena itu, untuk memperlancar komunikasi, dalam konferensi masih digunakan bahasa Inggris.

“Karena itu, kalau mau dijadikan bahasa regional, maka harus dipikirkan pemecahannya bagaimana agar komunikasi kita dengan negara-negara ASEAN itu bisa berjalan lancar,” ujarnya menegaskan.

4 dari 4 halaman

Jalan Masih Panjang

Nah, bagaimana caranya mencapai hal itu? Terutama mengingat di ruang publik kita sendiri, banyak penggunaan bahasa asing yang salah dan tidak pada tempatnya. Padahal, jika dihadapkan pada tata peraturan negara, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal (36) dengan jelas mengatur, “Nama jalan, nama bangunan, nama permukiman, nama apartemen, nama lembaga pendidikan wajib menggunakan bahasa Indonesia.”

Bukan tanpa alasan publik lebih suka menggunakan bahasa asing dibanding bahasa Indonesia. Mereka merasa lebih keren dan prestise, selain ada perasaan rendah diri. Namun, untunglah banyak pihak rajin mengingatkan pentingnya menegakkan kewibawaan bahasa Indonesia di ruang publik. Salah satunya, nama proyek Semanggi Interchange berhasil diganti menjadi Simpang Susun Semanggi.

Berthold Damshäuser, pengajar bahasa Indonesia, pakar sastra, dan penerjemah dari Universitas Bonn, Jerman, dalam sebuah seminar di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Sentul, Bogor (25/09/2017), mengatakan, bahasa Indonesia sejak dulu telah menjadi bahasa internasional (bahasa antarbangsa) karena digunakan sebagai lingua franca di kawasan Asia Tenggara.

Namun, bahasa Indonesia saat ini belum mampu menjadi bahasa dunia karena belum memenuhi syarat menjadi bahasa pengantar hubungan diplomatik internasional, bahasa perdagangan internasional, dan bahasa rujukan internasional untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Salah satunya, bahasa Indonesia masih kalah dari bahasa Inggris dalam jumlah kosakata yang dimiliki. Saat ini Kamus Besar Bahasa Indonesia V hanya memiliki 108.000 lema. Sebagai perbandingan, Oxford English Dictionary pada 30 November 2005 berisi 301.100 entri utama. Melengkapi kata utama setiap entri, terdapat 157.000 kombinasi dan derivasi tercetak tebal; 169.000 frasa dan kombinasi tercetak miring; 616.500 bentuk kata secara keseluruhan, termasuk 137.000 pengucapan; 249.300 etimologi; 577.000 catatan kaki; dan 2.412.000 kutipan penggunaan.

Pada era global ini, bahasa dunia makin monolingual, yang didominasi penggunaan bahasa Inggris. Karena itu, Berthold Damshäuser juga menekankan pentingnya memperkenalkan sastra Indonesia kepada masyarakat dunia dalam upaya penginternasionalan bahasa Indonesia. Melalui karya yang berkualitas, sastrawan Indonesia harus mampu menjadi duta bahasa Indonesia dalam berbagai ajang internasional di mancanegara.

Tentu karya sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing adalah karya yang dianggap "luhur" dan mencerminkan kebinekaan Indonesia. Penerjemahan dianggap perlu agar masyarakat dunia mengenal peradaban Indonesia untuk kemudian tertarik “membaca” Indonesia dari teks bahasa sumbernya.