Liputan6.com, Jakarta - Sore yang cerah tanggal 15 Juli 1976, anak-anak SD Dairyland tampak bahagia dan riang. Itu adalah hari kedua sekolah musim panas mereka.
Baca Juga
Advertisement
Sebanyak 26 anak berusia antara 5-14 tahun menaiki bus sekolah yang akan mengantarkan mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka tak tahu, nasib tragis menunggu mereka.
Saat bus berbelok ke jalan sempit, sopir bus itu, Frank Edward Ray, melihat sebuah mobil van diparkir di tengah jalan. Kap mesin kendaraan itu terbuka dan sepertinya ada orang yang berusaha memperbaikinya.
Tak tega, Ray pun memarkir bus untuk membantu pemilik mobil itu. Saat itulah, bencana terjadi.
"Tiba-tiba beberapa orang pria bertopeng melompat ke dalam bus dan menodongkan senjata ke arah kami. Mereka memerintahkan Ray duduk di bagian belakang bus," kenang Lynda Carrejo Labendeira, salah seorang siswa dalam bus itu seperti dilansir dari Shared.
Para pria bertopeng itu mengendarai bus ke sebuah tempat tersembunyi di mana 2 mobil van menunggu. Para korban dipindahkan ke dalam mobil itu untuk dibawa ke tempat lain.
Mobil van itu begitu pengap. Tanpa jendela atau AC di bagian belakang. Mereka yang disandera, dibiarkan kehausan selama mobil itu dikendarai 11 jam.
Sebagaimana dijelaskan oleh polisi, ternyata anak-anak itu dibawa ke sebuah tambang kerikil terpencil di Livermore, tak jauh dari California, Amerika Serikat. Di sana, para penculik mendata masing-masing anak beserta alamat rumah, nomor telepon, dan benda yang mereka bawa.
"Saya hanya ingat mereka menyuruh kami untuk tutup mulut dan diam," ujar Lynda.
Anak-anak itu dibawa melintasi tambang ke tumpukan kotoran dengan sebuah tangga turun ke dalam kegelapan. Mereka dipaksa untuk merangkak masuk, dan teror sebenarnya pun dimulai.
Â
Perjuangan Meloloskan Diri
Apa yang tampak seperti lubang di tengah gundukan tanah itu ternyata di bawahnya terdapat sebuah truk yang dikuburkan. Setelah semua sandera menuruni tangga, pria bertopeng itu menutupnya kembali, menjebak anak-anak itu dan sang sopir bus di dalam truk.
Lynda menggambarkan tempat itu seperti peti mati. Truk remang-remang itu dilengkapi beberapa kasur, toilet yang terbuat dari kotak kayu, makanan berupa sereal, roti, dan selai kacang untuk satu kali makan saja.
Tak butuh waktu lama, makanan itu habis. Aroma muntah dan air kencing memenuhi tempat tersebut. Untuk memperburuk keadaan, sistem ventilasi tak berfungsi karena baterai truk mati.
Anak-anak malang itu menghabiskan berjam-jam di bawah sana dengan kekhawatiran akan mati terkubur di bawah tanah, sebelum akhirnya sang sopir mengambil tindakan. Ray menyadari membobol atap truk adalah satu-satunya jalan keluar, dan ia bisa mencapainya dengan menumpuk kasur satu sama lain.
Pelan-pelan, Ray dan dibantu beberapa siswa laki-laki yang lebih tua, membuat lubang di atap, memindahkan tumpukan tanah, hingga lubang keluar pun terbentuk. Satu per satu, mereka keluar dari truk dan berjalan sampai bertemu dengan sekelompok petugas keamanan.
"Semua orang mencari kalian." Lynda mengingat kalimat petugas yang bertemu mereka. Ternyata, mereka telah menghabiskan lebih dari 16 jam di dalam peti mati.
Advertisement
Kasus yang Belum Terpecahkan
Segera, polisi tiba untuk mempertemukan kembali para anak itu dengan orang tua mereka yang cemas. Tapi, polisi masih berusaha untuk memecahkan misteri siapa yang menculik anak-anak itu dan apa motivasi mereka.
Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ditemukan di lokasi kejahatan, ternyata para penculik itu berencana untuk meminta tebusan 5 juta dolar per anak. Akan tetapi, saluran telepon para orang tua murid yang diculik selalu sibuk karena dipakai oleh oleh orang tua yang khawatir.
Sebelum berhasil menghubungi salah satu orang tua, para sandera tersebut keburu berhasil bebas. Hingga kini, misteri siapa pelaku kejahatan tersebut tetap tak terpecahkan.