Liputan6.com, Jakarta Bahasa bukanlah benda mati. Semua bahasa di dunia—tak terkecuali bahasa Indonesia—akan selalu berkembang seiring dengan peradaban manusia. Buktinya, kata-kata baru selalu masuk “kitab” perbendaharaan kata, salah satunya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menarik untuk melihat bagaimana KBBI mengikuti peradaban masyarakat Indonesia yang terus berkembang dan berubah. Misalnya entri twit, laptop, dan warganet tentu tidak bisa ditemukan dalam entri KBBI "babon" pada masa lalu. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, kata-kata ini masuk dalam perbendaharaan di KBBI terkini, yakni edisi kelima.
Advertisement
Baca Juga
Dora Amalia, Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Bahasa, kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa kata-kata yang diusulkan masuk dalam KBBI akan diteruskan ke meja redaktur, lalu ke meja validator. Badan Bahasa kemudian menggelar lokakarya untuk menentukan apakah kata tersebut layak dimasukkan ke dalam KBBI atau tidak.
Dora menyebut, terkadang terjadi berbagai perdebatan karena para pekamus yang bekerja menyusun KBBI memiliki berbagai macam acuan. Oleh karena itu, ia menjelaskan, Badan Bahasa menerapkan seleksi yang sangat ketat untuk menjaga mutu KBBI, utamanya dalam hal ketepatan definisi.
Meski sudah melalui beberapa tahap untuk dimasukkan ke KBBI, Dora menyebut sebuah kata usulan bisa saja tertolak. Alasannya, konsep kata dianggap sudah ada dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang sudah masuk ke KBBI. Kata yang terlalu perinci dan memiliki bunyi tak sedap didengar juga akan ditolak.
Nah, bagaimana proses sebuah kata bisa secara “sah” bisa dimasukkan dalam entri KBBI? Dilansir dari laman Badan Bahasa, sebelum masuk dalam KBBI, sebuah lema (kata) harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara semantis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan (usage).
Persyaratan tersebut diwakili oleh lima hal berikut.
Selanjutnya
1. Unik
Kata yang diusulkan—baik berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing—tersebut memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang leksikal (lexical gap) alias kekosongan makna dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, tinggimini. Dalam KBBI edisi 5, tinggimini bermakna ‘pemotongan jari sebagai bentuk kedukaan terhadap keluarga yang telah meninggal dunia’. Tak lupa, dicantumkan kode “My” di belakang sebagai penanda lema ini berasal dari bahasa Muyu, Papua.
2. Eufonik (sedap didengar)
Selanjutnya, kata yang diusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh lidah penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu dan bahasa daerah. Misalnya, akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa menjadi /k/ dalam bahasa Indonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda menjadi /e/ dalam bahasa Indonesia.
Contohnya, mandeg (Jw) >> mandek dan geulis (Sd) >> gelis.
3. Seturut kaidah bahasa Indonesia
Syarat berikutnya, kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan.
Misalnya, struktur >> berstruktur; menstrukturkan; penstrukturan; terstruktur
Advertisement
Selanjutnya
4. Tidak berkonotasi negatif
Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih untuk masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif. Misalnya, lokalisasi dan pelokalan memiliki makna sama. Namun, bentuk terakhir lebih dianjurkan karena memiliki konotasi yang lebih positif. Konotasi tersebut dapat dilihat dari sanding kata yang mengikuti setiap kata tersebut.
5. Kerap dipakai
Sering atau tidaknya pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sementara julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah. Sebuah kata dianggap kerap dipakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas.
Misalnya saja kata bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Tak hanya itu, frekuensi kemunculannya juga tinggi. Untuk menguji hal tersebut, bantuan teknologi seperti mesin pencari Google, yakni Googletrends dan Google search, bisa digunakan.