Sukses

KOLOM BAHASA: Momentum 2018 Jadi Tahun Bahasa Nasional

Menurut Liliana, pengarusutamaan bahasa-bahasa di Indonesia menemukan momentumnya tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta Pengarusutamaan bahasa-bahasa di Indonesia menemukan momentumnya tahun ini. Saya berharap publik tergelitik mewacanakan tahun 2018 bukan hanya sebagai tahun politik, melainkan juga tahun bahasa nasional. Mengapa demikian?

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang diberkati. Kenyataan itulah yang coba digaungkan kembali melalui peristiwa penting di bidang kebahasaan tahun ini. Kongres Bahasa Indonesia XI—forum besar lima tahunan—akan digelar di Jakarta, 28 Oktober-1 November 2018.

Mengusung tema "Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia", kongres ini bertepatan dengan peringatan 80 tahun Kongres Bahasa I di Solo, 25-28 Juni 1938, dan 90 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kedua peristiwa ini menjadi penanda penting sejarah bahasa nasional.

Bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan, bahasa Indonesia sudah dipilih sebagai bahasa pembentuk hati dan pikiran keindonesiaan. Bahasa Indonesia adalah wujud kehendak untuk bersatu (le désir d'être ensemble dalam ungkapan Ernest Renan yang dulu sering dikutip Bung Karno) sebagai syarat adanya bangsa.

Elemen bahasa—bukan agama dan/atau ras—dipilih sebagai lambang kesatuan negara-bangsa Indonesia yang bermartabat, seperti dilansir dari laman Badan Bahasa. Berasal dari bahasa pergaulan Melayu (Melayu Pasar) di tengah masyarakat, bahasa nasional ini berkembang secara alamiah, damai, dan menakjubkan di tengah masyarakat multietnis dan multilingual.

Pada beberapa negara lain, penetapan bahasa nasional bisa menjadi bahan konflik berkepanjangan. Kita beruntung tak mengalami hal itu. Padahal, ada 700-an bahasa di Indonesia. Bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan.

Jika berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi, bahasa-bahasa di Indonesia berjumlah 733. Bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat belum semua teridentifikasi. Fakta ini merujuk pada hasil penelitian untuk pemetaan bahasa di Indonesia yang dilaksanakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan dilakukan sejak 1991-2017.

 

2 dari 3 halaman

Selanjutnya

Fakta di atas adalah sebuah anugerah bahwa kita begitu mudah menentukan bahasa nasional kita. Dalam prosesnya kemudian, alih bentuk dari bahasa pergaulan sederhana menjadi bahasa nasional sekaligus modern inilah yang membuat pakar sosiolinguistik Joshua Fisherman takjub pada perkembangan bahasa Indonesia.

Dengan semua keberuntungan itu, lalu mengapa kita masih harus mewacanakan 2018 sebagai tahun bahasa nasional? Saya kira, secara umum kita tahu jawabannya. Sebagian kita masih meremehkan bahasa Indonesia. Akibatnya, sejumlah ancaman terhadap eksistensi bahasa nasional, termasuk bahasa daerah, masih mengadang kita.

Masih banyak pelanggaran aturan perundang-undangan yang terkait dengan bahasa nasional (UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan). Pelanggaran itu mulai dari penggunaan bahasa asing dalam papan reklame dan iklan di ruang publik, sampai kepada kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam forum-forum resmi kenegaraan yang bersifat internasional.

Pemerintah juga ikut andil dalam pelemahan aturan yang berkaitan dengan eksistensi bahasa Indonesia. Sebagai contoh, UU Nomor 24 Tahun 2009 mengamanahkan ikhtiar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Namun, lewat peraturan di bawah UU, pemerintah malah menghapus persyaratan wajib berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia.

Penghapusan persyaratan itu tercantum dalam Permenaker No 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Permenaker ini merevisi Permenakertrans No 12 Tahun 2013 yang masih mencantumkan persyaratan wajib berbahasa Indonesia bagi TKA.

Jika pemerintah sendiri terkesan belum satu suara dalam memuliakan bahasa Indonesia, apalagi warganya? Kondisi ideal kebahasaan kita, sebagaimana digariskan UU Nomor 24 Tahun 2009, seharusnya mengikhtiarkan terjadinya keseimbangan antara kebutuhan “mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing". Perimbangan itu seharusnya dicapai lewat kesadaran kolektif atas ketiga bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah tersebut.

Sayangnya, nalar ekonomi sering kali menjadi satu-satunya penentu keputusan di tengah iklim globalisasi dan kapitalisme global seperti sekarang. Sewajarnya memang kita mempelajari dan menguasai bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya untuk kepentingan kita sendiri—mulai dari kepentingan praktis yang memberi manfaat ekonomi, sampai kepentingan yang lebih strategis, seperti mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pergaulan global dengan bangsa dan negara lain. Namun, menjadi tidak wajar ketika kebutuhan menguasai bahasa asing itu disikapi berlebihan dengan meminggirkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya.

Peminggiran bahasa Indonesia dan bahasa daerah menjadi paradoksal dengan Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bersumber dari prinsip Trisakti Bung Karno. Ketiga prinsip Trisakti, yakni “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan" adalah cita-cita ideal Indonesia yang maju, kuat, mandiri, dan kokoh dengan kebudayaan nasionalnya.

 

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Sejumlah bangsa lain menjadikan bahasa nasionalnya sebagai ciri utama kepribadian bangsanya. Orang Prancis sangat bangga dengan bahasa Prancis. Begitu pula dengan orang Jepang sangat bangga dengan bahasa Jepang. Mereka memahami bahasa berkaitan erat dengan nalar dan perkembangan peradaban bangsa mereka.

Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, terekam nalar dan pola pikir khas bangsa kita. Perkembangan peradaban bangsa kita juga tecermin dari keseriusan kita menjaga eksistensi bahasa nasional. Bahasa Indonesia memiliki perangkat lebih dari cukup untuk mewadahi pikiran dan perasaan kita, sebagaimana tecermin dari kesusastraan modern Indonesia. Sayang, kebanyakan kita tidak menyadarinya, atau bahkan mengabaikannya.

Semua itu butuh keteladanan. Jika kita tidak memberikan teladan yang baik dalam berbahasa Indonesia kepada generasi muda, jangan salahkan mereka. Kebanyakan kita abai menunjukkan kekuatan bahasa Indonesia kepada generasi yang lebih muda. Kegagapan kita menghadapi arus deras media sosial, melimpahnya hoaks, dan kebanalan di media sosial, menjadi penanda kegagalan tersebut.

Mari berbenah bersama untuk memuliakan kembali bahasa nasional. Sebelum segalanya menjadi terlambat.

 

 

*Liliana Muliastuti, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA (APPBIPA) 2015-2019.

Â