Liputan6.com, Jakarta - Kita mengetahui bahwa kamus, dalam hal ini KBBI , adalah panduan dalam berbahasa Indonesia. Seperti kompas atau peta, KBBI merupakan petunjuk bagi mereka yang merasa kesulitan ketika menemukan suatu kata dalam bahasa Indonesia yang tidak diketahui maknanya. Jika ingin mengetahui arti suatu kata, silakan cari di KBBI. Di dalamnya akan terpampang jelas definisi suatu kata yang disusun para pekamus Badan Bahasa.
Baca Juga
Di zaman sekarang, kala teknologi jadi barang utama, bahasa Indonesia dan KBBI beradaptasi. Tentu saja, kita ketahui juga, "peta" yang digunakan untuk menemukan makna tersebut tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk daring alias online.
Advertisement
Badan Bahasa, selaku penanggung jawab KBBI, menyatakan KBBI daring merupakan upaya memudahkan masyarakat dalam menggunakan kamus, baik untuk keperluan akademik atau mencari rujukan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat.
Prof. Dadang Sunendar, Kepala Badan Bahasa, dalam pemaparannya Senin (9/4/2018) lalu, mengatakan bahwa tujuan dikembangkannya KBBI daring juga untuk memberi akses seluas-luasnya kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia.Â
Namun demikian, sebagai pedoman, rupanya KBBI tak lepas dari masalah. Sudah banyak yang mengkritik KBBI banyak menyimpan permasalahan tersendiri yang membingungkan para pengguna kamus. Padahal, sebagai rujukan, seharusnya KBBI mampu menjelaskan kebingungan itu dan bukannya menambah kebingungan tersendiri di kalangan para pengguna bahasa Indonesia.
Ketidakkonsistenan KBBI dalam Penyerapan Kata
Asep Rahmat Hidayat selaku editor KBBI berujar bahwa dengan adanya KBBI daring, setiap orang yang sudah terdaftar dalam laman tersebut, berpotensi menjadi editor KBBI jika mereka mengusulkan kata-kata baru. Tentu ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian.
Pertama, KBBI tentu akan mengalami peningkatan jumlah kata atau lema setiap tahunnya. Tercatat, pada 6 April 2018, terhimpun sebanyak 109.213 lema dan 127.775 makna dalam KBBI daring. Hal tersebut ditambah dengan jumlah pencarian mencapai 15.711.206 dan entri sejumlah 127.775.
Dari statistik tersebut, ada optimisme bahwa bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang cepat. Tak heran, Badan Bahasa memasang target tinggi pada 2019 nanti, yakni jumlah lema sebanyak 114.000.
Kedua, munculnya dilema dari banyaknya penyerapan yang terjadi akhir-akhir ini. Pasalnya, ada sejumlah kata yang kerap diserap dari berbagai macam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, atau Arab. Kita mengetahui kata-kata seperti smartphone sudah dipadankan menjadi gawai, kemudian selfie menjadi swafoto, atau stop menjadi setop.
Namun, kembali lagi, dilema tersebut mencuat karena adanya padanan kata yang lebih dari satu kata dan hal tersebut justru membingungkan. Semisal, adanya kata gadget yang merujuk juga pada smartphone. Seperti kita ketahui, gadget merupakan kata asli yang berasal dari bahasa Inggris. Sementara itu, kita juga mengetahui bahwa kata-kata yang diserap dari bahasa Inggris biasanya tidak diserap seutuhnya, atau bisa dikatakan melewati proses-proses tertentu.
Namun, berbeda dengan gadget. Pelafalan yang seharusnya diucapkan gejet (dengan 'e' taling di suku kata pertama dan 'e' pepet di suku kata kedua), justru dipertahankan bentuk aslinya. Ini menjadi pertanyaan lanjutan, seberapa jauh kaidah penyerapan bahasa asing ke bahasa Indonesia.
Selain itu, KBBI daring juga menyerap kata stop menjadi 'setop', di mana kata 'stop' sudah kita ketahui terjemahannya ke bahasa Indonesia menjadi 'berhenti'. Angaplah hal tersebut dapat kita maklumi, karena merujuk pemaparan di atas, 'setop' sudah diserap secara bunyi. Disisipkan 'e' pepet di sana untuk hal pelafalan dalam bahasa Indonesia.
Namun, hal tersebut tidak diikuti oleh negasi dari setop. Semisal, kita bisa membayangkan kata nonsubsidi untuk negasi dari subsidi, atau nonaktif sebagai negasi dari aktif. Akan tetapi, kedua bentuk tadi belum berlaku untuk setop. Kita mengenal negasi setop ya nonstop, bukan nonsetop.
Itu hanya sedikit dari banyak contoh lain yang ada. Masih ada sejumlah kasus bagaimana KBBI menghadirkan kebingungan terkait penggunaan kata serapan dan kaidah yang digunakan.
Â
Advertisement
Tantangan KBBI
Terkait dengan KBBI daring atau secara umum, pendapat dari Nazarudin, kandidat doktor linguistik asal Universitas Leiden, Belanda, juga patut kita perhatikan. Dia mempertanyakan tantangan yang akan dihadapi oleh KBBI serta para pekamus di luar sana.
"Pemaknaan dan pendefinisian yang belum konsisten. Semisal masalah perbedaan antara bernyanyi dan menyanyi," ujarnya.
Yang selanjutnya, ia mengatakan di era sekarang ini kata-kata dan makna, khususnya di media sosial, menjadi semakin liar dan tidak netral. Dicontohkan olehnya bagaimana kata "toleransi" bisa berubah maknanya sesuai dengan konteks dan situasi. Bisa kita katakan, kata-kata yang liar tersebut sudah bersinggungan dengan hal-hal yang politis.
Pada akhirnya, KBBI bukanlah kitab suci. Isinya pun bukan firman atau sabda orang yang sudah melakukan ritual dan mendapatkan bisikan dari malaikat. Jika memang kita masih "tersesat", padahal sudah mencari di KBBI, ada baiknya kita berhenti dulu, memikirkan bagaimana kata itu muncul, dalam konteks dan situasi seperti apa.
Kita tidak perlu menjauhi KBBI. Kita tidak perlu memusuhi KBBI. Yang kita perlukan adalah bagaimana kita menggunakan KBBI sebagai landasan awal dalam berpikir kritis di waktu kemudian.