Sukses

KOLOM BAHASA: Ejaan Lama pada Nama, Haruskah Diganti?

Bahasa adalah bunyi. Karena itu, mengubah ejaan pada nama sangat mungkin dilakukan sebab ejaan hanyalah lambang bunyi.

Liputan6.com, Jakarta Bahasa adalah bunyi. Karena itu, mengubah ejaan pada nama sangat mungkin dilakukan sebab ejaan hanyalah lambang bunyi.

Sejarawan dari Universitas Negeri Padang, Profesor Mestika Zed, membuat pernyataan yang mencerahkan publik tentang nama Roehana Koeddoes. Berdasarkan penelitiannya tentang riwayat hidup wartawan perempuan pertama Indonesia itu, Mestika menginformasikan bahwa nama tokoh nasional itu sebenarnya adalah Roehana Koeddoes, bukan Rohana Koedoes.

Menurut Mestika, kesalahan penulisan dan penyebutan nama Roehana terjadi karena ada beberapa arsip, baik arsip milik pemerintah maupun buku yang ditulis oleh sejarawan, yang menuliskan “Rohana”. Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Mestika menemukan enam penulisan nama Roehana, antara lain, “Roehana Koedoes”, “Roehana Koeddoes”, dan “Rohana Koedoes”.

Mestika berpendapat beragamnya penulisan nama itu terjadi karena orang yang punya nama tidak konsisten menuliskan namanya dalam beberapa karya jurnalistiknya. Mestika menemukan di Soenting Melajoe, Roehana beberapa kali menulis “Rohana” dan juga “Roehana”.

Meski tahu yang benar adalah Roehana, bukan Rohana, Mestika merasa perlu mengubah ejaan nama Roehana dari Ejaan van Ophuijsen (Roehana) ke ejaan setelahnya (Ruhana)—Ejaan Soewandi maupun Ejaan yang Disempurnakan (EYD) sama-sama menggunakan /u/, bukan /oe/. Hal itu dilakukannya dalam sebuah seminar tentang Roehana di Auditorium Gubernuran Sumatera Barat pada 28 Maret 2018. Pada seminar itu, ia menuliskan “Ruhana Kuddus” pada kain rentang acara. Ia juga akan menggunakan nama dengan ejaan itu lagi pada buku biografi Roehana yang tengah ditulisnya.

Bagi saya, tindakan itu bukan persoalan biasa. Kala ditemui di Kampus UNP beberapa waktu yang lalu, Mestika menjelaskan dia mengubah ejaan nama Roehana menjadi Ruhana demi pendidikan. Keinginannya mengubah ejaan nama Roehana makin bertambah karena telah disetujui oleh keluarga Roehana, yakni seorang cucunya yang bernama Eddy Juni.

Mestika berpendapat generasi saat ini tetap akan membaca Roehana sebagai Rohana karena mereka tidak mengenal ejaan lama. Menurut saya, alasan itu tidak kuat, karena banyak tokoh nasional yang namanya mengandung /oe/, tetapi tetap dibaca /u/, seperti Soeharto dan Soekarno yang tetap disebut Suharto dan Sukarno.

Upaya Mestika meluruskan penyebutan nama Roehana dengan mengubah ejaannya menarik untuk dibahas. Pada satu sisi, penyesuaian ejaan nama tokoh perlu dilakukan untuk menghindari salah sebut nama seperti yang terjadi pada kasus nama Roehana dan menyesuaikan ejaan nama dengan ejaan yang berlaku sesuai dengan zaman. Adapun faktor lainnya adalah bahwa ejaan pada nama perlu disesuaikan dengan zaman.

Presiden pertama Indonesia, Sukarno, melakukan hal itu. Dalam buku Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Gunung Agung, 1966), Sukarno mengatakan, “Namaku hanja Sukarno sadja. Waktu di sekolah, tanda tanganku diedja Soekarno—menurut edjaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, aku memerintahkan supaja segala edjaan /oe/ kembali ke /u/. Edjaan dari perkataan Soekarno sekarang mendjadi Sukarno.”

Pada penggalan kalimat tersebut jelas bahwa Sukarno menginstruksikan untuk mengganti namanya dari Ejaan van Ophujsen menjadi Ejaan Soewandi. Apa yang dilakukan oleh Mestika dan Sukarno tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, ayah W.S. Rendra.

Dikutip dari biografi singkat W.S. Rendra dalam buku kumpulan cerpennya, Pacar Seorang Seniman (Bentang, 2016), Brotoatmojo mengatakan, “Cara menuliskan nama harus menurut ejaan yang berlaku karena asal-usul nama dari alam pikiran, bukan dari pahatan di batu. Jadi, harus dinamis mengikuti ejaan yang berlaku.” Karena itu, ia mengubah namanya yang awalnya Brotoatmodjo menjadi Brotoatmojo.

Selain itu, kalau penulisan nama tokoh lama harus sesuai dengan ejaan aslinya, hal tersebut akan menyulitkan generasi yang hidup pada ejaan yang berbeda dengan ejaan yang digunakan ketika nama itu diberikan, misalnya Soetan Sjahrir dan Tjoet Nja’ Dhien.

 

2 dari 5 halaman

Perihal Ejaan pada Nama

Dalam Catatan Pinggir berjudul "Bahasa" pada 28 Oktober 1982 (Grafiti, 1994), Goenawan Mohamad menyinggung hal ini. “Namun, barangkali, seperti kata ahli bahasa, kita membutuhkan kesamaan dalam lambang-lambang. Kalau tidak, bahasa Indonesia bukanlah bahasa persatuan. Kita membutuhkan ‘pembakuan’. Dan dari semangat ini lahirlah ejaan baru, misalnya,” ujarnya.

Pada paragraf lain, Goenawan mempertanyakan, “Setelah ejaan, apa? Kita bahkan tambah kacau sampai 6 tahun ini: apakah Sujono berarti Suyono ataukah Sudjono?”

Dalam artikel Ajip Rosidi berjudul "Mengeja Nama Sendiri", sebuah artikel yang terdapat dalam buku Bus Bis Bas: Berbagai Masalah Bahasa Indonesia (Pustaka Jaya, 2010), hal ini juga disinggung. 

“Kekacauan tidak hanya karena perkara /oe/ dan /u, melainkan juga karena /j/ yang dapat dibaca /j/ (dari dj), tetapi juga dapat dibaca /y/. Tak ada ketentuan yang mana yang harus dipergunakan kalau kita berhadapan dengan nama orang tertulis,” kata Ajip dalam suatu paragraf tulisan itu.

Pada akhirnya, pertanyaan Goenawan dan pernyataan Ajip itu terbukti. Lihat saja, generasi saat ini membaca kata pertama pada nama Ajib Rosidi, sastrawan kondang Indonesia, dengan Ajip, padahal penyebutannya adalah Ayip. Dalam artikel itu, Ajip menyatakan ia tidak mempersoalkan pelafalan namanya oleh generasi masa kini.

Di sisi lain, pengubahan ejaan pada nama seperti yang dilakukan Mestika, Sukarno, dan Brotoatmojo menimbulkan pertanyaan—apabila tidak mau disebut sebagai penentangan—, “Bagaimana dengan orang yang masih hidup? Apakah namanya yang memakai ejaan lama harus disesuaikan dengan ejaan terbaru?”

Kalau dilakukan, hal itu akan menimbulkan masalah pada urusan dokumen administrasi, seperti paspor, ijazah, dan Nomor Pokok Wajib Pajak. Sebenarnya, penyesuaian ejaan nama itu cukup diberlakukan untuk orang yang sudah meninggal karena mereka tidak berurusan lagi dengan surat-surat administrasi.

 

3 dari 5 halaman

Bukan Perubahan Nama

Tentu ada pertanyaan, “Apakah nama harus sesuai dengan ejaan?” Namun, saya perlu meluruskan bahwa perubahan ejaan pada nama bukan perubahan nama. Perubahan ejaan yang saya maksud adalah perubahan lambang huruf sesuai dengan ejaan yang berlaku.

Perubahan Ejaan van Ophuijsen (berlaku pada 1901—1947) ke Ejaan Soewandi (berlaku pada 1947—1957) mengubah lambang bunyi /u/ dari /oe/ menjadi /u/. Sementara itu, perubahan Ejaan Soewandi ke EYD (berlaku sejak 1972 sampai dengan kini) mengubah lambang bunyi /y/ dari /j/ menjadi /y/, lambang bunyi /j/ dari /dj/ menjadi /j/, lambang bunyi /ny/ dari /nj/ menjadi /ny/, dan lambang bunyi /c/ dari /tj/ menjadi /c/. Ingatlah pelajaran dasar linguistik bahwa bahasa adalah bunyi, sedangkan huruf adalah lambang bunyi.

Jadi, yang berubah hanya ejaan, bukan nama. Soekarno dan Sukarno adalah satu orang yang sama. Apakah ada makna yang berubah jika nama penyair Chairil Anwar diganti dengan Khairil Anwar? Tidak, bukan? Jika nama penyair Chairil Anwar ditulis dengan Khairil Anwar, saya tetap bisa membedakannya dengan dosen Sastra di Universitas Andalas yang bernama Khairil Anwar. Karena itu, saya sepakat bahwa nama harus sesuai ejaan.

Pertanyaan lainnya, apakah /d/ ganda pada kata kedua nama Roehana Koeddoes sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia memang tidak mengenal gabungan konsonan /dd/ seperti itu dan hanya memiliki gabungan konsonan /kh/, /ng/, /ny/, dan /sy/. Namun, hal itu tidak termasuk persoalan ejaan yang berlaku dalam bahasa Indonesia berdasarkan perubahan ejaan yang berlaku dalam bahasa Indonesia, seperti perubahan Ejaan Van Ophuijsen ke Ejaan Soewandi, dan perubahan Ejaan Soewandi ke EYD. Jadi, hal tersebut tidak termasuk ke dalam persoalan ejaan yang saya maksud.

Nilai Sejarah Nama

Apa yang hilang ketika ejaan pada nama diubah? Jawabannya adalah nilai sejarahnya. Berdasarkan ejaan namanya, seseorang bisa diketahui lahir pada zaman apa. Ini adalah salah satu alasan untuk mempertahankan ejaan asli sebuah nama. Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar karena pada Ejaan van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, yang berbeda hanyalah /oe/ dengan /u/.

Jadi, nama orang yang tidak mengandung /oe/, misalnya mengandung /dj/, /ch/, dan /tj/, tidak bisa dipastikan apakah dia lahir pada zaman Ejaan van Ophuijsen atau pada zaman Ejaan Soewandi. Lagipula, ada beberapa orang yang lahir pada zaman EYD, tetapi mengubah ejaan namanya dengan ejaan lama, misalnya Putra menjadi Poetra, Tanjung menjadi Tandjung, Cahaya menjadi Tjahaja. 

Lagipula, jika ejaan pada nama menandai era lahirnya si empunya nama, dengan ejaan apa ditulis nama orang Indonesia yang lahir, bahkan meninggal sebelum berlakunya Ejaan van Ophuijsen? Padahal, sebelum Ejaan van Ophuijsen berlaku, orang Indonesia sebelum kemerdekaan sudah punya nama.

Misalnya, ada nama orang yang ditulis dalam aksara Arab Melayu (Jawi) maupun Pegon (bagi bahasa Jawa) sebelum berlakunya Ejaan van Ophuijsen. Ketika Ejaan Belanda itu berlaku, nama orang yang sejak lahir ditulis dalam aksara Arab Melayu maupun Pegon pasti ditulis ke dalam Ejaan van Ophuijsen.

Artinya, ejaan pada nama yang memakai ejaan Arab Melayu atau Pegon tersebut disesuaikan dengan Ejaan van Ophuijsen. Dengan demikian, telah terjadi penyesuaian ejaan nama. Karena itu, penyesuaian ejaan pada nama yang memakai Ejaan van Ophuijsen maupun Ejaan Soewandi ke EYD punya alasan yang besar.

 

4 dari 5 halaman

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini

5 dari 5 halaman

Nama Asing

Bagaimana dengan nama orang Indonesia yang diambil dari bahasa asing, misalnya Holy, seperti nama saya? Ejaan pada nama dari bahasa asing tidak bisa diubah jika pengubahan ejaan itu akan membedakan maknanya, misalnya kata holy.

Holy merupakan kata dalam bahasa Inggris yang berarti ‘suci’. Apabila kata holy dijadikan "holi" untuk menyesuaikannya dengan ejaan bahasa Indonesia, kata itu tidak lagi bermakna karena dalam bahasa Indonesia tidak ada kata holi yang berarti ‘suci’. Jadi, nama dari bahasa asing harus dimaknai sesuai dengan logika asal bahasa tersebut.

Lagipula, ejaan yang pernah berlaku di Indonesia tidak pernah menyimbolkan bunyi /i/ dengan huruf /y/. Jadi, persoalan holy menjadi "holi" bukan persoalan ejaan seperti yang saya jelaskan di atas. Hal ini berbeda dengan Soekarno menjadi Sukarno, Brotoatmodjo menjadi Brotoatmojo, dan Nja’ menjadi Nyak karena tidak ada makna yang berubah ketika lambang bunyi /oe/ pada nama itu diubah menjadi /u/, /dj/ menjadi /j/, /nj/ menjadi /ny/, dan /’/ menjadi /k/.

Perlu kebijakan pemerintah

Penyesuaian ejaan pada nama sebaiknya diatur dalam aturan ejaan yang diresmikan pemerintah untuk menghindari masalah, misalnya protes dari keluarga pemilik nama dan masalah lain yang berurusan dengan dokumen administrasi. Namun, pemerintah kita tidak pernah melakukan hal itu, baik pada Ejaan Soewandi maupun pada EYD.

Ajip Rosidi pernah membahas cukup serius perihal perubahan ejaan pada nama orang. Dalam artikel "Mengeja Nama Sendiri", penggagas Penghargaan Sastera Rancage itu menyayangkan longgarnya kebijakan ejaan, baik Ejaan Soewandi maupun EYD, terhadap ejaan pada nama orang.

"Dalam Ejaan Suwandi, penulisan nama diserahkan kepada si empunya nama apakah akan disesuaikan dengan ejaan baru ataukah tetap mempertahankan ejaan yang digunakan sebelumnya. Namun demikian, kebanyakan orang yang mempunyai nama /oe/ secara sukarela menggantinya dengan /u/, seperti kita lihat pada nama Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mochtar Lubis, Suwandi Tasrif, Asrul Sani, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Maria Ulfah, Subadio Sastrosatomo, dan lain-lain. Juga dalam EYD ada pasal yang mengatur bahwa orang dapat menulis namanya sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka yang biasa atau ingin menuliskan namanya dengan /oe/ boleh, dengan /u/ juga tidak apa."

"Kekacauan itu timbul karena aturan dalam EYD. Dengan diberinya keleluasan untuk menggunakan ejaan nama sekehendak hatinya, maka banyak orang yang tadinya sudah menuliskan namanya dengan /u/ juga mengubah lagi ejaan penulisannya dengan /oe/. Pramudya Ananta Toer sekarang menuliskan namanya "Pramoedya Ananta Toer".

"Sebelumnya, Pramoedya mengombinasikan kedua macam ejaan dalam penulisan /oe/ dan /u/, yakni Pramudya Ananta Toer. Dia menggunakan Ejaan Suwandi untuk namanya, tetapi mempertahankan nama ayahnya ditulis dengan Ejaan van Ophujsen dengan pertimbangan semasa hidupnya ayahnya menuliskan namanya seperti itu," ujar suami Nani Wijaya itu.

Ejaan bahasa Indonesia terbaru, yakni Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (terbit pada Oktober 2015), juga tidak memuat aturan penyesuaian ejaan pada nama. Karena itu, sebelum ada aturan dari pemerintah, nama orang mesti ditulis dengan ejaan ketika nama tersebut kali pertama ditulis, seperti Tjoet Nja’ Dhien, kecuali sudah ada pernyataan dari orang yang punya nama, seperti Sukarno dan Brotoatmojo, dan keluarga orang yang punya nama (bagi orang yang sudah meninggal), seperti Ruhana Kuddus.

Penulis:

Holy Adib (wartawan, pengamat bahasa, dan peneliti pada DoRo Institute)