Sukses

Biografi Ki Hajar Dewantara, Sang Pejuang Pendidikan Indonesia

Namanya berarti Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi

Liputan6.com, Jakarta Dalam dunia pendidikan Indonesia, kita tak asing dengan nama Ki Hajar Dewantara. Kiprahnya pada masa pra-kemeredekaan menghasilkan pandangan-pandangan revolusioner di bidang pendidikan dan kebudayaan. Biografi Ki Hajar Dewantara sudah banyak tertulis diberbagai media. Tujuannya agar kita dapat melanjutkan semangatnya dalam dunia pendidikan. 

Biografi Ki Hajar Dewantara membuat kita sadar betapa kerasnya perjuangannya untuk membawa dunia pendidikan Indonesia lebih terang lagi. Dalam bentangan biografi Ki Hajar Dewantara dapat kita saksikan pemberontakan Ki Hajar Dewantara terhadap kolonialisme Belanda lewat tulisan-tulisannya yang pedas. Biografi Ki Hajar Dewantara membuat kita belajar seberapa besar rintangan yang ada tidak dapat menyurutkan semangat kita dalam memperjuangkan sesuatu. Berikut Biografi Ki Hajar Dewantara yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber Sabtu (12/1/2019)

2 dari 5 halaman

Masa kecil Ki Hajar Dewantara hingga masa sekolah

Ki Hajar Dewantara lahir dengan nama  Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat pada Kamis Legi, 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Suwardi Suryaningrat berasal dari keluarga bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta. Ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan Ibunya bernama Raden Ayu (R.A.) Sandiah.

K.P.A. Suryaningrat sendiri merupakan anak dari Paku Alam III. Dengan demikian Suwardi Suryaningrat merupakan cucu dari Paku Alam III. Saat masih kecil Suwardi Suryaningrat memiliki julukan Denmas Jemblung (buncit) di kalangan keluarganya dikarenakan pada saat masih bayi ia memiliki perawakan  perut buncit.

Lahir dalam keluarga bangsawan membuat Suwardi Suryaningrat mendapat kesempatan mengenyam pendidikan lebih besar. Ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar milik Belanda di kampung Bintaran Yogyakarta. Lulus dari ELS Suwardi Suryaningrat masuk ke Kweekschool sebuah sekolah guru di Yogyakarta. Tak lama setelah itu ia ditawari beasiswa untuk masuk sekolah dokter Jawa di Jakarta bernama STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen).

Suwardi menerima tawaran tersebut, namun karena kesehataannya yang kurang baik ia sempat sakit selaman 4 bulan dan beasiswanya dicabut oleh sekolah tersebut. Namun ternyata ada alasan politis dibalik pencabutan beasiswa Suwardi Suryaningrat. Beberapa hari sebelum pencabutan, Suwardi Suryaningrat sempat menerima dampratan dari Direktur STOVIA karena dianggap membangkitkan radikalisme terhadap Pemerintahan Hindia Belanda lewat sajak yang ia bawakan di sebuah pertemuan.

3 dari 5 halaman

Memberontak Lewat Tulisan

Gagal jadi dokter tak membuat Suwardi Suryaningrat menyesal. Ia percaya bahwa berjuang untuk bangsa tidak hanya lewat menjadi dokter. Suwardi Suryaningrat aktif di Organisasi Budi Utomo (BU) yang berdiri pada 20 Mei 1908 dan turut melancarkan propaganda-propaganda terhadap kebangkitan nasional. Di Budi Utomo Suwardi Suryaningrat berkenalan dengan Dr. Ernest Francois Eugene (E.F.E.) Douwes Dekker.

Lepas dari STOVIA Suwardi Suryaningrat mendapat Surat Keterangan Istimewa atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Ia kemudian bekerja sebagai analis laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas selama satu tahun kemudian pada 1911 menjadi pembantu apoteker di Apotek Rathkamp, Malioboro Yogyakarta. Suwardi Suryaningrat juga menjadi jurnalis di Surat Kabar Bahasa Jawa “Sedyotomo”,Surat Kabar Bahasa Belanda “Midden Java di Yogyakarta dan “De Express” di Bandung.

Berkat tulisan-tulisannya yang bagus, pada 1912 Suwardi Suryaningrat diminta mengasuh Harian “De Express” Bandung oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker. Tulisan pertamanya berjudul “Kemerdekaan Indonesia”. Selain itu Suwardi Suryaningrat menjadi Anggota Redaksi Harian “Kaoem Muda” Bandung, “Oetoesan Hindia” Surabaya, “Tjahaja Timoer” Malang. Pada 1912 Suwardi Suryaningrat juga menerima tawaran dari HOS. Tjokroaminoto mendirikan Cabang “Serikat Islam” di Bandung dan sekaligus  menjadi Ketuanya.

Pada 6 September 1912 Suwardi Suryaningrat bergabung menjadi anggota “Indische Partij”bersama Dr. E.F.E. Douwes Dekker dan  dr. Cipto Mangunkusumo. Indische “Partij” merupakan partai politik pertama di Hindia Belanda yang memiliki tujuan ke arah “Indonesia Merdeka”. Tujuannya konkret: memisahkan Hindia dari Belanda.

Pada Juli 1913 Suwardi Suryaningrat bersama dr. Cipto Mangunkusumo di Bandung mendirikan “Comite Tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid”, dalam bahasa Indonesia disingkat Komite Bumi Putera, yaitu Panitia untuk memperingati 100 tahun Kemerdekaan Belanda. Komite tersebut bertujuan memprotes akan adanya  peringatan 100 tahun Kemerdekaan Belanda atas Prancis yang akan diadakan pada 15 Nopember 1913 yang dirayakan di Belanda maupun di negeri-negeri jajahannya. Protes ini berkembang karena peringatan seabad kemerdekaan Belanda tersebut menggunakan biaya dari rakyat jajahan Belanda.

Salah Satu bentuk protes tersebut diawali dengan tulisan Suwardi Suryaningrat yang berjudul Als ik eens Nederlander was atau Seandainya Aku Seorang Belanda. Tullisan ini dimuat dalam buletin resmi Komite Boemi Poetra. Isi tulisan tersebut dinilai pedas oleh kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Segera buletin tersebut dicekal dan Komite Bumi Putera dilarang menerbitkan apapun. Tak terima, pada 20 Juli 1913 dr. Cipto Mangunkusumo menulis artikel di surat kabar De Express, berjudul “Kracht of Vreez” yang artinya Ketakutan atau Kekuatan. Tulisan tersebut berisi anggapan bahwa respon yang dilakukan pemerintah saat itu merupakan bentuk ketakutan terhadap Komite Bumi Putra. Selang sepekan kemudian Suwardi Suryaningrat kembali menulis “Een voor Allen, maar ook Allen voor Een” atau “Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu”.

Puncak karir Suwardi Suryaningrat dalam jurnalistik adalah saat menulis Als ik eens Nederlander was pada Buletin Bumi. Buletin ini dicetak 5.000 eksemplar dan menjadi terkenal di kalangan masyarakat. Karena tulis-tulisan  berupa kritikan tersebut dinilai sangat pedas, maka Suwardi Suryaningrat, dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ditangkap dan dipenjara. Atas keputusan bersama mereka meminta untuk diasingkan ke Belanda. Sebenarnya Van Deventer memberi tawaran untuk Suwardi Suryaningrat agar menjadi Guru Pemerintah Hindia Belanda namun ia menolak dan memilih untuk diasingkan di Belanda.

Pada saat pengasingan, Suwardi Suryaningrat belum genap dua minggu menikah. Ia turut serta membawa istrinya R.Ayu. Sutartinah Sasraningrat ke pengasingan. Dalam pengasingan hidup dalam kekurangan ia mendapat bantuan dana dari para pengurus Indische Partij dan mengandalkan penghasilannya sebagai jurnalis dalam harian “Het Volk”, Redaktur “Hindia Poetera”, majalah “Indische Vereeniging”, mingguan “De Indier”, majalah “Indische Partij”, majalah “Het Indonesisch Verbond van Studeerenden”. Atas anjuran perkumpulan “ Algemeen Nederlandsch Verbond”, “Oost en West” dan “Sociaal Democraties Arbeiders Party”.

Dunia jurnalistik yang ditekuni Suwardi Suryaningrat membuat pergaulannya lebih luas pandangan politiknya juga lebih berkembang. Ia dapat mengutarakan pemikiran dan persoalan bangsanya melalui ulisan-tulisan di berbagai surat kabar, majalah, dan brosur dan memberi penerangan pada bangsanya yang sedang dirundung kegelapan.

4 dari 5 halaman

Kiprahnya dalam pendidikan

Selama pengasingan Suwardi Suryaningrat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memperdalam ilmu pendidikan lewat  kursus-kursus tertulis dan kursus-kursus malam  hingga berhasil meraih Akte Guru Eropa dalam pendidikan Paedagogie  pada 12 Juni 1915. Istrinya R.A. Sutartinah mengajar di Frobel School sebuah Taman Kakan-Kanak di Weimaar, Den Haag.

Suwardi Suryaningrat banyak mendapat pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan yang yang mencerahkan saat ia menjalani masa pengasingan di Belanda. Di sanalah beliau banyak mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran dari Montessori,  Dalton, Frobel, pesantren, dan asrama.

Suwardi Suryaningrat kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. ia kemudian bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Sekolah pertama yang didirikan adalah taman indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, kemudian diikuti taman muda (SD), dan taman dewasa (SMP merangkap taman guru). Setelah itu, diikuti pendirian taman madya (SMA), taman guru (SPG), prasarjana, dan sarjana wiyata. Dalam waktu 8 tahun, Perguruan Tamansiswa telah hadir di 52 tempat.

Perkembangannya yang pesat memantik kecemasan Pemerintah Belanda sehingga mengundang dikeluarkannya Undang-Undang Sekolah Liar (Onderiwijs Ondonantie) pada 1932. UU itu menyatakan sekolah swasta harus beroperasi dengan izin pemerintah, mesti menggunakan kurikulum pemerintah, dan para guru harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Bila UU itu dilaksanakan, Perguruan Tamansiswa akan tutup. Sebab, sebagai sekolah swasta, Tamansiswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru) dari sekolah guru sendiri.

Menghadapi tekanan ini, Ki Hajar Dewantara mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor. Telegram itu dikirim pada 1 Oktober 1932, persis di hari pertama pemberlakukan UU tersebut. Petikannya sebagai berikut, "...makhluk yang tak berdaya mempunyai insting untuk menangkis bahaya guna menjaga diri dan demikianlah juga boleh jadi kami terpaksa akan melakukan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam."

Pada  3 Februari 1928 Suwardi Suryaningrat  genap berusia 40 tahun (5 windu) ia menutuskan berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hadjar berarti pendidik; Dewan berarti Utusan dan tara berarti tak tertandingi. Jadi makna dari Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi. Pergantian nama ini juga sebagai keputusan bahwa Suwardi Suryaningrat ingin melepas gelar kebangsawanannya dan melebur untuk meperjuangkan rakyatnya.

Ada empat strategi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pertama: pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri; kedua : membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap membuka diri terhadap perkembangan internasional; ketiga : membangun pribadi siswa  agar berjiwa pionir- pelopor;  dan keempat : mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat yang menjadi Korat Alamnya masing-masing siswa.

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia atau disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari, Universitas Gadjah Mada.

Semboyannya yang terkenal hingga saat ini adalah Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang artinya didepan memberi contoh, ditengah memberi semangat, dibelakang memberi dorongan.

5 dari 5 halaman

Wafatnya Pelopor Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959 di Padepokan Ki Hadjar Dewantara. Jenazah Ki Hadjar Dewantara  dimakamkan pada tanggal 29 April 1959 secara militer dengan Inspektur Upacara Kolonel Soeharto di makam Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara meninggalkan seorang isteri Nyi Hadjar Dewantara dan 6 orang anak: Ni Niken Wandansari Sutapi Asti, Ki Subroto Aryo Mataram (Brigjend. TNI), Nyi Ratih Tarbiyah, Ki Sudiro Ali Murtolo (lahir 9 Agustus 1925), Ki Bambang Sokawati (lahir 9 Maret 1930) dan Ki Syailendra Wijaya (lahir 28 September 1932).

Jejak-jejak peninggalan Ki Hajar Dewantara terpampang rapi di Museum Dewantara Kirti Griya yang berlokasi di Jalan Taman Siswa Yogyakarta. Museum yang diresmikan Nyi Hadjar pada 2 Mei 1970 diberi nama sesuai fungsinya semula. Kirti berarti kerja dan griya bermakna rumah. Bangunan ini dulu merupakan tempat tinggal Ki Hajar Dewantara bersama keluarga.

Atas jasa-jasanya dalam mempelopori perkembangan pendidikan Indonesia,berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hajar Dewantara dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.

Demikian Biografi Ki Hajar Dewantara yang dapat kami rangkum untuk anda. Tindakan-tindakan revolusioner dan cerdas patut kita apresiasi dan teladani di Biografi Ki Hajar Dewantara ini.

 

Reporter: Anugerah Ayu Sendari

Video Terkini