Sukses

Perpanjang Usia Bumi, Saatnya Beralih ke Rumah Hemat Energi

Hemat energi hanya sekadar teori jika tidak dipraktikkan lewat gaya hidup

Liputan6.com, Jakarta - Bumi bekerja tanpa henti mengalirkan energi bagi segenap makhluk yang bermukim di dalamnya. Sebagai organisme yang hidup, bumi membutuhkan saat-saat istirahat untuk memulihkan energi kehidupan. Lalu, kapan bumi beristirahat?

Pakar Energi yang juga pendiri Green Building Council Indonesia (GBCI) Rana Yusuf Nasir menegaskan, “Hemat energi hanya sekadar teori jika tidak dipraktikkan lewat gaya hidup,” lugasnya dalam acara diskusi Smart & Green Building di Pameran Bahan Bangunan IndoBuildTech Expo 2019 di Tangerang, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, bangunan gedung menghabiskan lebih dari sepertiga sumber daya dunia untuk konstruksinya, menggunakan 40 persen dari total energi global dan menghasilkan 40 persen dari total emisi greenhouse gas (GHG).

 

 

2 dari 5 halaman

Selanjutnya

Padahal, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menginisiasi gerakan green property dengan menerbitkan Permen PUPR No. 1 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau. Mandatorinya, bangunan gedung seluas di atas 5.000 m2 harus bersertifikasi Green Building.

“Faktanya baru 44 persen gedung baru di Jakarta yang menerapkan konsep itu. Sementara gedung-gedung lama ‘masih tidur’. Padahal, efisiensi energi pada bangunan lama akan memberikan kontribusi yang lebih tinggi terhadap keseluruhan upaya efisiensi energi di sektor bangunan,” jelas lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

 

 

3 dari 5 halaman

Selanjutnya

Di area Jakarta sendiri, lahan hijau tidak lebih dari 10 persen. Menurutnya, Jakarta butuh 650 hektar tambahan lahan hijau dari asumsi 10 persen dari luas Jakarta yang diperkirakan 65.000 hektar. Bagaimana solusinya?

“Emisi gas rumah kaca harus diturunkan. Caranya lewat penerapan konsep ‘go green’, termasuk program satu milyar pohon dan gerakan atap ‘hijau’ atau green roof,” ujar Rana.

Atap ramah lingkungan juga diklaim dapat menambah daya tahan atap rumah atau bangunan karena melindungi dari sinar ultraviolet dengan tumbuhan sebagai pelindung dari cuaca.

 

 

4 dari 5 halaman

Selanjutnya

Tatok Prijobodo, Country Director PT Onduline Indonesia, produsen atap hijau Ondugreen di Indonesia, menjelaskan, selain mampu menurunkan suhu udara terutama di perkotaan, berdasarkan studi tahun 2005 oleh Brad Bass dari University of Toronto, penggunaan atap ‘hijau’ juga dapat menyerap hujan, menyediakan zona isolasi bagi penghijauan, mengurangi pendinginan 50 hingga 90% serta mengurangi efek pemanasan global.

“Manfaatnya sangat besar bagi anak cucu kita kelak,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Onduline sendiri merancang produk 'atap hijau' yakni, Ondugreen. Genteng diplot mampu menurunkan suhu udara akibat 'urban hear island effect', di mana panas yang terjadi hanya di area kpta saja dibandingkan daerah pinggir kota, akibat aktifitas manusia. Maka itu, Ondugreen mampu mengurangi biaya energi sampai dengan 50%.

 

 

5 dari 5 halaman

Selanjutnya

Di Portland, Amerika Serikat, katanya, pemerintahnya mengadakan program Portland Ecoroof, yang memberikan insentif bagi para developer yang merancang bangunan dengan sistem atap ‘hijau’.

“Material atap ‘hijau’ menjadi solusi sekaligus bagian dari sistem arsitektur untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Mengaplikasikan ‘atap hijau’ pada rumah atau bangunan komersial turut menjadikan  bumi ini sebagai hunian yang lebih baik,” pungkasnya.

Sementara di Indonesia sendiri, beberapa lembaga turut memberikan apresiasi terkait rancangan bangunan ramah lingkungan. Salah satunya Onduline Green Roof Award, kompetisi gerakan ‘atap hijau' yang digelar oleh PT Onduline Indonesia. Pada tahun ke-4 ini sayembara mengangkat tema Tropical Green Roof System. Seluruh karya masih terbuka untuk didaftarkan hingga akhir Oktober 2019.