Liputan6.com, Jakarta Di masa pandemi COVID- 19 tentunya segala bidang kehidupan tengah mengalami keterpurukan, tetapi tidak untuk angka kelahiran bayi yang melambung tajam pada 2021 mendatang. Kehadiran si mungil, si jabang bayi yang turut mewarnai kehidupan keluarga dan menjadi hadiah tak terduga dengan menambahnya personil di anggota keluarga tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Pasalnya, tingkat kelahiran bayi pada 2021 mendatang diprediksi meningkat hingga 100-200 persen. Kehadiran buah hati yang tak terduga di masa pandemi ini dipicu oleh tingginya intensitas suami-istri berkegiatan di rumah.
Namun, siapa sangka mitos 'Banyak anak, banyak rezeki' terbukti ampuh di masa WFO ini, yang juga menambah tekanan bagi psikologi ibu. Berikut kondisi psikologis yang perlu dipertimbangkan untuk menambah buah hati dilansir dari Brightside :
1. Sudah punya anak, tetapi masih ingin lagi
Meski seorang ibu sudah memiliki anak, tetapi terkadang pikiran untuk menambah buah hati akan terlintas di masa-masa sulit ini yang betujuan untuk mengisi kekosongan hati dan masa kecil yang kurang bahagia. Alasan ini menjadi tolak ukur utama si ibu menginginkan si kecil kembali dalam hidupnya.
Advertisement
2. Beranggapan kehadiran si buah hati eratkan hubungan
Berdasarkan situs dari Brightside, 67% pasutri mengaku kepuasan berhubungan mengalami kelesuan usai kelahiran anak pertama. Biasanya penurunan wanita terjadi pada 6 bulan, sedangkan pria 3 bulan lebih lama. Untuk merekatkan kembali, suami-istri berupaya menambah anak.
3. Karir adalah prioritas utama
Impian tambahnya buah hati dalam keluarga, sayangnya terguncang ketika pekerjaan menjadi prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang berdampak pada kualitas anak. Namun, hal ini berakibat pada kurangnya kasih sayang pada anak dan juga anak merasa condong tidak diinginkan kehadiran dan rendah diri.
Advertisement
4. Tidak merasa puas dengan keadaan Anda
Sebagaimana penelitian dari Michigan State University, orang tua merupakan panutan utama dari anak-anak yang mengharuskan mereka untuk memberikan contoh terbaik di depan anak. Dalam prosesnya, tidak jarang orang tua melakukan kesalahan yang berujung pada lemahnya rasa optimis anak untuk mencapai tujuan.
5. Belum dewasa
Bahasa ilmiah dikenal sebagai "infatilisme" di mana seseorang berperilaku menyerupai anak kecil, ketika usianya beranjak dewasa. Berkeinginan memiliki anak kembali, hal ini tentu hak tiap individu, tetapi dalam menjalaninya perlu diimbangi dengan sikap tekun dan kontrol diri demi mendidik anak tanpa diganggu oleh keegoisan pasangan satu sama lain.Â
Advertisement
6. Merasa stres dan kecemasan
Stres dan kecemasan mmeicu bergumulnya emosi negatif pada diri orang tua. Emosi ini dihimbau untuk tetap dikendalikan sebab berdasarkan informasi dari Brigthside mengatakan pada usia pertama si bayi, emosi ini berpengaruh kuat yang berakibat pada tindakan negatif ke anak yang bisa mengarah pada toxic parents.
7. Berekspektasi tinggi memandang kehidupan
Tak jarang tiap orang tua berangan-angan anak-anaknya menjadi sukses di kehidupan yang selanjutnya. Hal ini dapat menjadi bumerang ketika ekspektasi gagal dijalani oleh si anak dan dianggap beban yang berujung pada ketakutan, tidak layak, rendah diri, bahkan menjadi pengalaman buruk di masa kecil.
Keinginan menambah buah hati perlu memperhatikan kondisi mental yang siap demi kebaikan tumbuh kembang anak di masa depan.
Â
Penulis:Â
Ignatia IvaniÂ
Universitas Multimedia Nusantara
Â
Â
Advertisement