Sukses

5 Tradisi Unik Ramadan di Berbagai Belahan Dunia

Tradisi unik umat muslim di berbagai belahan dunia dalam menyambut dan melaksanakan puasa di bulan Ramadan.

Liputan6.com, Jakarta - Ramadan bukan hanya bulan di mana umat muslim diwajibkan untuk berpuasa, melainkan perayaan yang berhubungan erat dengan budaya, kepercayaan dan juga sejarah.

Tidak heran jika dalam menyambut bulan Ramadan, umat muslim seluruh dunia memiliki cara yang berbeda-beda dan telah dilakukan turun menurun.

Ramadan dilaksanakan setiap bulan ke-9 dalam kalendar Islam. Bulan ini ditandai dengan diturunkannya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun 610 SM. Dengan adanya kitab suci sebagai pedoman hidup tersebut, umat muslim dikenalkan dengan rukun Islam yang salah satunya adalah berpuasa.

Bulan ini juga dikenal dengan bulan yang suci, di mana keberkahan datang dengan berbagi. Mulai dari bersedekah, salat sunah yang menggandakan amalan dan berbagai ibadah lainnya.

Hal ini membuat umat Islam di seluruh dunia menyambut bulan Ramadan secara meriah. Mulai dari tradisi menyalakan lentera warna-warni di Mesir, pawai dengan membawa obor di Indonesia dan masih banyak tradisi lainnya

Penasaran tradisi unik Ramadan di berbagai negara? Berikut ulasannya seperti melansir dari The Culture Trip, Selasa (13/4/2021).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 6 halaman

1. Tradisi Padusan di Indonesia

Indonesia memiliki banyak tradisi dalam menyambut bulan Ramadan, namun yang paling dikenal adalah tradisi Padusan yang berarti memandikan diri dalam dialek Jawa.

Tradisi ini dilakukan masyarakat lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam melakukan tradisi tersebut, masyarakat akan mandi dengan mata air dan mencuci seluruh badan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Padusan sendiri merupakan hubungan dari budaya dan agama dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Sebagaimana menurut kepercayaan tersebut, mata air memiliki makna makna spiritual yang mendalam. Untuk itu, memandikan diri dengan mata air melambangkan kesucian bulan Ramadan.

Tradisi ini pertama kali dipercaya sebagai ajaran yang disebarkan oleh Wali Songo. Sejak saat itu, tradisi ini turun temurun ke pemuka agama setempat.

Hingga kini, masyarakat masih melakukannya, meskipun cara yang dilakukan berbeda yakni dengan memandikan diri di danau atau di rumah masing-masing.

3 dari 6 halaman

2. Penembakan Meriam di Timur Tengah

Di berbagai negara bagian Timur Tengah, khususnya Lebanon, meriam ditembakkan untuk menandakan datangnya bulan puasa. Tidak hanya itu, meriam ini juga dijadikan sebagai penanda datangnya waktu berbuka puasa (iftar).

Tradisi tersebut dikenal dengan nama Midfa Al Iftar, bermula di Mesir kurang lebih 200 tahun yang lalu saat dipimpin oleh Khosh Qadam, salah satu penguasa Ottoman.

Awalnya Qadam hanya ingin mengetes meriam baru miliknya pada sore hari, namun ia tidak sengaja meledakkan meriam tersebut saat waktu berbuka puasa.

Suara meriam tersebut terdengar hampir di seluruh Cairo, dan dari peristiwa itu banyak masyarakat menganggap ledakan meriam sebagai penanda berbuka puasa. Putrinya yang bernama Haja Fatma kemudian membujuk Qadam untuk membuat momen itu sebagai sebuah tradisi.

Tradisi ini kemudian berkembang hampir ke seluruh negara Timur Tengah. Meskipun begitu, tradisi ini terancam hilang pada tahun 1983 di mana meriam digantikan oleh senjata-senjata perang. Namun, hal yang ditakutkan itu tidak terjadi karena tradisi ini kembali dihidupkan oleh pasukan bersenjata Lebanon. Para generasi tua dapat mengenang kembali masa-masa Ramadan sewaktu kecil.

4 dari 6 halaman

3. Trick or Treat ala Anak-Anak di Uni Emirat Arab

Seolah-olah disamakan dengan tradisi Halloween di negara barat, Tradisi trick or treat di Uni Emirat Arab ini dikenal dengan nama Haq Al Laila. Dilaksanakan pada hari kel-15 bulan Sya'ban, bulan sebelum Ramadan.

Tradisi ini dimulai dengan anak-anak yang berkeliling lingkungan rumah dengan mengenakan pakaian cerah, dan meminta permen atau cokelat ke rumah-rumah tetangga. Sembari berjalan, mereka melantunkan lagu dengan penggalan doa di dalamnya.

Aatona Allah Yutikum, Bait Makkah Yudikum yang artinya "Berikanlah kepada kami (permen dan manisan itu) dan Allah akan menggantikannya dengan mewujudkan mimpimu mengunjungi Rumah Allah di Mekkah," adalah penggalan doa dari lagu yang dinyanyikan.

Tradisi ini dianggap penting sebagai identitas masyarakat Uni Emirat Arab di dunia modern, terlebih dalam menunjukkan pentingnya membentuk interaksi sosial yang kuat dan nilai-nilai kekeluargaan kepada sesama Muslim.

5 dari 6 halaman

4. Lentera Fanoos Menyinari Jalanan di Mesir

Setiap tahunnya, masyarakat Mesir menyambut Ramadan dengan menyalakan lampu kayu (lentera) yang berwarna-warni. Warna yang ada pada setiap lentera menggambarkan persatuan dan kebahagiaan.

Kedua hal tersebut adalah harapan masyarakat Mesir selama Bulan Suci ini berlalu. Meskipun tidak ada kaitannya dengan keyakinan agama, namun tradisi yang terus berulang ini memiliki tempat dan makna spiritual sendiri setiap Ramadan tiba.

Cerita di balik tradisi ini dimulai dari Dinasti Fatimiyyah, di mana masyarakat Mesir kala itu berbondong-bondong menyapa Khalifah Al-Muiz Lidinillah.

Khalifah tersebut pertama kali menginjakkan kaki di Mesir saat hari pertama puasa. Untuk menghormati kedatangan Muiz Lidinillah, anggota militer meminta masyarakat lokal untuk memegang lilin di jalanan yang gelap.

Lilin yang dipegang itu ditutup oleh kayu-kayu tipis untuk mencegah padamnya api. Hingga kini, kayu-kayu dengan lilin itu didesain ulang menjadi sebuah lentera yang dikenal dengan nama Fanoos. Selama Ramadan, lampu-lampu ini menghiasi jalanan kota.

6 dari 6 halaman

5. Penabuhan Drum saat Waktu Sahur di Turki

Semenjak kekuasaan Turki dipegang oleh Kekaisaran Ottoman, berpuasa di bulan Ramadan ditandai dengan adanya tabuhan drum setiap kali waktu sahur tiba. Lebih dari 2000 penabuh drum di jalanan kota bersatu dan menghasilkan irama yang sama.

Para penabuh drum itu mengenakan pakaian tradisional Ottoman yang dihiasi oleh berbagai macam motif, drum yang digunakan mereka dinamakan davul.

Maksud dari penabuhan drum ini juga menarik karena dengan sukarela menabuh dan membangunkan sahur, mereka berharap masyarakat dapat berbagi kepada mereka. Hal ini didasari dengan kepercayaan bahwa hal baik akan kembali kepada mereka yang berbuat baik.

Penulis:

Cindy Aulia SilniKaffah

Universitas Esa Unggul