Liputan6.com, Jakarta - Berbuka puasa sesegera mungkin adalah salah satu sunah dalam menunaikan ibadah puasa, namun aturan-aturan yang mengikat bisa saja membuat puasa batal tanpa disadari.
Salah satu aturannya adalah menunggu secara pasti hingga waktu Maghrib tiba. Ketika azan Maghrib dikumandangkan, maka siapapun yang menjalankan puasa berhak untuk segera berbuka. Layaknya hadits berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini.
Advertisement
Baca Juga
“Tiada henti-hentinya manusia berada dalam kebaikan tatkala mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR Bukhari Muslim).
Berbeda jika aturan di atas tidak dilakukan dengan benar, di bawah ini adalah hukum berbuka puasa jika tidak memastikan waktu Maghrib tiba. Misalnya, berbuka karena mendengar dari orang lain bahwa waktu berbuka telah tiba, menyangka suara-suara yang didengarnya sebagai suara azan, dan hal lainnya yang tidak menandakan waktu Maghrib.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hukum berbuka karena dugaan yang salah menurut Kitab Al-Fiqh Al-Manhaji
Saat Anda mendengar suara yang diduga sebagai suara azan, ternyata dugaan Anda salah. Anda juga sudah terlanjur makan serta minum, meskipun tidak disengaja, namun para ulama syafi'iyah menganggap bahwa puasa tersebut batal seperti yang tercantum dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji dilansir dari laman NU Online, Rabu (28/4/2021).
“Ketika seseorang berbuka di akhir sore, karena menyangka bahwa matahari telah terbenam (tiba waktu Maghrib). Lalu tampak padanya setelah itu bahwa matahari belum terbenam, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk mengqadha puasa tersebut.” (Dr. Mushtafa Said al-Khin dan Dr. Mushtafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 2, hal. 54).
Advertisement
Hukumnya sama dengan orang yang masih menyantap sahur ketika telah tiba waktu Subuh
Hukum berbuka dengan prasangka sudah tiba waktu Maghrib membatalkan puasa, sama halnya ketika Anda menyantap sahur saat mengira-ngira waktu Subuh belum tiba, hal ini juga membatalkan puasa. Seperti penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab dilansir kembali dari laman NU Online berikut ini.
“Jika seseorang makan karena menyangka matahari telah terbenam. Lalu tampak (padanya) ternyata matahari masih terlihat, atau ia makan karena menyangka fajar belum terbit, namun ternyata telah terbit, maka puasanya menjadi batal. Hukum ini adalah hukum yang sahih dan telah di nash oleh Imam Syafi’i, serta telah dipastikan (kebenarannya) oleh Mushannif (pengarang) dan mayoritas ulama. Namun terdapat pendapat yang syadz (tidak di pertimbangkan) bahwa puasa tersebut tidak batal.” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 306).
Sudah jelas maka yang membatalkan puasa bukan hanya makan dan minum di waktu yang tidak tepat, melainkan prasangka yang tidak diketahui kebenarannya.
Landasan mengenai batalnya puasa ketika berbuka dengan prasangka
“Jika seseorang makan dengan berdasarkan ijtihadnya pada awal waktu (waktu sahur) dan akhir waktu (waktu berbuka), lalu ternyata diketahui olehnya bahwa ia makan di waktu siang (waktu puasa) maka puasanya menjadi batal, sebab tidak dapat dijadikan pertimbangan prasangka yang jelas kesalahannya. Jika ternyata tidak tampak apapun padanya maka puasanya tetap sah.” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 2, hal. 266).
Dengan itulah penting untuk memperhatikan betul datangnya waktu Maghrib secara tepat, di Indonesia sendiri karena mayoritas muslim, azan akan berkumandang di mana-mana, maka tunggulah azan untuk berbuka puasa.
Bagi seorang diaspora yang tinggal di luar negeri, ikuti aturan Maghrib di negara-negara tersebut bila perlu, pasang pengingat di setiap waktu azan tiba.
Hal yang sama juga berlaku untuk sahur, di Indonesia ada pengingat menuju waktu Subuh dengan adanya jadwal imsak. Sedangkan untuk yang di luar Indonesia, lebih baik sahur tidak mepet dengan waktu Subuh, untuk menghindari batalnya puasa karena mengira-ngira waktu.
Penulis:
Cindy Aulia SilniKaffah
Universitas Esa Unggul
Advertisement