Liputan6.com, Jakarta - Saat lebaran, silaturahmi tentu menjadi agenda utama yang dilakukan umat muslim. Mengunjungi sanak saudara, memohon maaf pada teman dan sahabat bahkan telah menjadi tradisi yang selalu dilakukan saat lebaran.
Momen lebaran memang dimanfaatkan umat muslim untuk saling bermaafan dan menyambung kembali tali silaturahmi. Dengan silaturahmi, rasa persaudaraan makin erat dan tak ada lagi permusuhan dan kebencian. Bersilaturahmi adalah bagian dari kebutuhan seseorang sebagai manusia. Menjaga hubungan baik dengan sesama memang sangat dianjurkan, terlebih dengan kerabat dan saudara.
Advertisement
Baca Juga
Silaturahmi juga merupakan amalan yang amat dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah. Rupanya di balik itu, ada manfaat dari silaturahmi yang tak banyak diketahui orang. Kegiatan ini rupanya bisa menambah keimanan seseorang pada Allah SWT.
Berikut manfaat silaturahmi saat lebaran yang berhasil Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber:
Memperluas Rezeki
Tahukah Anda bahwa dengan bersilaturahmi, seseorang dapat memperluas rezeki orang lain dengan bantuan yang diberikan? Allah SWT pun menjanjikan kemudahan dan pahala bagi siapa saja yang mampu memperpanjang tali silaturahmi dan memudahkan urusan saudaranya.
Janji Allah tersebut tertuang dalam sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung tali silaturahmi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Bersedekah kepada keluarga lebih diutamakan daripada bersedekah kepada orang lain. Mengunjungi sanak saudara dan bersedekah adalah salah satu perbuatan mulia dan memiliki faedah yang besar. Hal ini tertuang pada hadis yang berbunyi:
“Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah dan terhadap keluarga sendiri mendapat dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi)
**Pantau arus mudik dan balik Lebaran 2022 melalui CCTV Kemenhub dari berbagai titik secara realtime di tautan ini
Selanjutnya
Mendekatkan Diri kepada Allah SWT
Menyambung tali silaturahmi merupakan salah satu bentuk ketakwaan seorang umat muslim kepada Allah SWT. Hal tersebut dibuktikan dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maha hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi”
Silaturahmi sebagai tanda keimanan juga diungkapkan melalui sabda Rasulullah:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.” (Hadis Riwayat Abu Hurairah)
Itu mengapa menyambung tali silaturahmi sama dengan menyambung hubungan dengan Allah SWT sebagaimana disebutkan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt menciptakan makhluk, hingga apabila Dia selesai dari (menciptakan) mereka, rahim berdiri seraya berkata: ini adalah kedudukan orang yang berlindung dengan-Mu dari memutuskan. Dia berfirman: “Benar, apakah engkau ridha jika Aku menyambung orang yang menyambung engkau dan memutuskan orang yang memutuskan engkau?” Ia menjawab: iya. Dia berfirman: “Itulah untukmu”
Dengan begitu, silaturahmi menjadi ajang mendekatkan diri pada Allah SWT. Hal ini karena Allah SWT memerintahkan hambaNya untuk menjaga keutuhan antar sesamanya. Allah juga menjanjikan pahala bagi siapa saja yang mampu menjaga silaturahmi.
Kunci masuk surga
Tak hanya itu, Allah SWT menjanjikan pintu surga bagi hamba yang menjalankannya. Hal ini sesuai pada hadis yang berbunyi:
“Engkau menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam satu riwayat:
“Jika dia berpegang dengan apa yang Kuperintahkan kepadanya niscaya ia masuk surga.”
Dan orang yang memutuskan tali silaturahmi terancam tidak bisa masuk surga, dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im ra, dari Nabi SAW beliau bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan (silaturahmi)” (HR Bukhari dan Muslim).
Advertisement
Ada Arti Toleransi dalam Kue Kering khas Lebaran
Kue kering identik dengan momen lebaran di Indonesia. Tak sekadar enak untuk disantap, ternyata ada fakta menarik seputar kue-kue kering tersebut.
Menurut Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, kue-kue kering seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju yang populer disajikan sebagai kudapan khas lebaran memiliki makna toleransi di baliknya.
Ia menjelaskan kue kering tersebut awalnya dikenal pada masa kolonial lewat pertukaran hantaran dari keluarga Eropa untuk keluarga priyayi yang merayakan lebaran. Kue-kue tersebut juga menjadi kudapan yang biasa dihidangkan pada hari-hari perayaan umat nasrani.
"Kue-kue kering ini disajikan ketika keluarga-keluarga priyayi merayakan Lebaran dan di sini juga ada hantar-menghantar ketika Lebaran. Keluarga-keluarga Eropa menghantarkan makanan seperti kue-kue kering ini untuk keluarga priyayi," kata Fadly, dikutip dari Antara, Senin (2 /5/2022).
Ia menambahkan, kue kering yang diadopsi dari kalangan Eropa tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, bahan, dan rasa yang berbeda dengan aslinya. Kastengel (kaasstengels, dalam bahasa Belanda), misalnya, memiliki bentuk yang lebih panjang dalam versi aslinya.
Selain bentuk, kualitas keju yang digunakan pada kastengel di Belanda dan Hindia Belanda juga punya perbedaan. Begitu pula dengan nastar. Kue ini terinspirasi dari kue pai atau tar Eropa yang biasanya diisi dengan bluberi dan apel.
Nastar berasal dari dua kata dalam bahasa Belanda yaitu "ananas" (nanas) dan "taart" (pie). Fadly mengatakan nastar merupakan inovasi yang dibuat oleh para perempuan Belanda yang menetap di Hindia Belanda. Saat itu mereka memanfaatkan buah nanas yang hanya tumbuh di daerah tropis sebagai pengganti isian kue.
"Jadi ada proses modifikasi, artinya di tangan orang-orang di Hindia Belanda berbeda dengan apa yang dihasilkan di Belanda sana. Kalau kita perhatikan bentuk nastar dan kastengel yang ada di Belanda itu berbeda," ungkapnya.
Selain keluarga Eropa, Fadly mengatakan bahwa kalangan yang mengonsumsi kue-kue kering itu mulanya hanya keluarga priyayi atau ningrat. Hal itu wajar saja karena merekalah yang memiliki akses hubungan dengan orang-orang Eropa, sampai kemudian dibuat di rumah-rumah tangga pribumi kebanyakan.
"Pada masa itu, antara keluarga priyayi dan keluarga Eropa memiliki hubungan yang berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi atau bisnis. Situasi itu memang membuka hubungan yang terbuka dalam kaitan hantar-menghantarkan makanan," kata Fadly
Tradisi hantaran tak hanya terjadi saat lebaran Idul Fitri. Sebaliknya, ketika momen hari raya bagi orang-orang Eropa tiba, seperti Natal, maka keluarga pribumi juga turut menghantarkan makanan tradisional. Jadi tidak heran kalau pada masa kolonial orang Eropa juga mengenal makanan-makanan khas pribumi.
"Informasi itu tertulis dalam buku-buku masakan berbahasa Belanda. Mereka bukan hanya menikmati makanan Eropa, tapi juga apa yang dinikmati pribumi," terang Fadly.