Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi baru yang diterbitkan oleh para ilmuwan di Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat menunjukkan bahwa respons kekebalan yang dipicu oleh infeksi virus corona merusak pembuluh darah otak dan dapat bertanggung jawab atas gejala Long Covid.
Baca Juga
Advertisement
Makalah yang diterbitkan dalam jurnal Brain, didasarkan pada otopsi otak dari sembilan orang yang meninggal mendadak setelah tertular virus tersebut. Alih-alih mendeteksi bukti Covid-19 di otak, tim menemukan bahwa antibodi manusia sendirilah yang menyerang sel-sel yang melapisi pembuluh darah otak, menyebabkan peradangan dan kerusakan.
Penemuan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa orang memiliki efek yang tersisa dari infeksi termasuk sakit kepala, kelelahan, kehilangan rasa dan penciuman, dan ketidakmampuan untuk tidur serta "kabut otak" dan juga dapat membantu merancang pengobatan baru untuk Long Covid.
Ilmuwan Institut Kesehatan Nasional, Avindra Nath, penulis senior makalah itu, mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Pasien sering mengalami komplikasi neurologis dengan COVID-19, tetapi proses patofisiologis yang mendasarinya tidak dipahami dengan baik," dilansir dari VOA.
"Kami sebelumnya telah menunjukkan kerusakan pembuluh darah dan peradangan pada otak pasien saat otopsi, tetapi kami tidak memahami penyebab kerusakannya. Saya pikir dalam makalah ini kami telah memperoleh wawasan penting tentang rangkaian peristiwa."
Sembilan orang, berusia 24 hingga 73 tahun, dipilih dari penelitian tim sebelumnya karena mereka menunjukkan bukti kerusakan pembuluh darah di otak mereka berdasarkan pemindaian.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Meningkatkan risiko stroke
Otak mereka dibandingkan antar 10 individu yang terkontrol. Para ilmuwan menemukan bahwa antibodi yang diproduksi melawan COVID-19 secara keliru menargetkan sel-sel yang membentuk penghalang darah-otak, sebuah struktur yang dirancang untuk mencegah penyerbu berbahaya keluar dari otak sambil membiarkan zat-zat yang diperlukan lewat.
Kerusakan sel-sel ini dapat menyebabkan kebocoran protein, pendarahan dan pembekuan, yang meningkatkan risiko stroke. Kebocoran juga memicu sel-sel kekebalan yang disebut makrofag untuk bergegas ke situs untuk memperbaiki kerusakan, menyebabkan peradangan.
Tim menemukan bahwa proses seluler normal di area yang menjadi sasaran serangan sangat terganggu, yang berimplikasi pada hal-hal seperti kemampuan mereka untuk mendetoksifikasi dan mengatur metabolisme.
Temuan ini menawarkan petunjuk tentang biologi yang berperan pada pasien dengan gejala neurologis jangka panjang, dan dapat menginformasikan perawatan baru, misalnya, obat yang menargetkan penumpukan antibodi pada penghalang darah-otak.
"Sangat mungkin bahwa respons imun yang sama ini bertahan pada pasien Long Covid yang mengakibatkan cedera saraf," kata Nath.
Ini berarti bahwa obat yang menurunkan respons imun itu dapat membantu pasien tersebut, tambahnya. "Jadi temuan ini memiliki implikasi terapeutik yang sangat penting."
Advertisement
Ketahui Tanda Gejala Long Covid yang Sering Diabaikan
Masa pemulihan dari Covid-19 bervariasi dari orang ke orang. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gejala virus corona terkadang bisa bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Covid-19 bisa merusak paru-paru, jantung, dan otak, yang bisa meningkatkan kemungkinan berkembangnya masalah kesehatan jangka panjang.
BACA JUGA:Satgas Ingatkan Vaksin Booster Segera Jadi Syarat Masuk Fasilitas PublikSelanjutnya, gejala long Covid tidak hanya terbatas pada mereka yang terinfeksi parah sejak gejala awal, karena individu dengan gejala ringan juga telah melaporkan gejala long Covid.
Salah satu dari banyak gejala yang biasanya tidak terdiagnosis sejak dini adalah Postural Tachyycardia Syndrome (PoTS).
Melansir dari Times of India, Senin (4/6/2022), PoTS adalah gejala umum dari long Covid dan dalam kondisi ini, berdiri saja membuat jantungmu berdebar kencang. Detak jantungmu bisa meningkat setidaknya 30 detak per menit setelah Anda berpindah dari duduk atau berbaring ke berdiri.
Ini tidak terjadi segera dan merasa pusing bahkan 10 menit setelah berpindah dari duduk ke berdiri. Ini bisa menjadi tantangan bagi orang-orang yang terkena dampak karena tubuh mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan gravitasi.
PoTS terjadi ketika sistem saraf otonom tubuhmu gagal mengontrol tingkat tekanan darah dan detak jantungmu untuk menebus perubahan postur. PoTS bisa dipicu oleh sejumlah faktor. Namun, para ilmuwan percaya virus seperti SARS-CoV-2 atau bakteri tampaknya paling sering memicu kondisi ini.
Virus corona bisa menyebabkan PoTS dan beberapa individu yang pulih dari Covid-19 memiliki gejala mirip PoTS. Gejala-gejala ini termasuk detak jantung yang lebih cepat dengan sedikit peningkatan aktivitas, kabut otak, pusing, sakit kepala, mual, muntah dan kelelahan kronis yang parah.
Siapapun yang pernah terkena Covid-19 bisa terkena PoTS, baik awalnya mengalami gejala ringan maupun berat. Namun, ada tanda-tanda tertentu yang bisa meningkatkan risiko Anda terkena PoTS pasca Covid.
Ini termasuk riwayat gegar otak, pusing, sakit kepala ringan, dan jantung berdebar sebelum Covid. Sistem kekebalan yang salah yang menyerang jaringan tubuhmu secara tidak sengaja juga bisa berperan dalam perkembangan Sindrom Takikardia Postur.