Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini ramai di TikTok ada seorang bos yang terang-terangan menyatakan bahwa ia tidak suka dengan pegawai magang yang jelek atau tidak berpenampilan menarik secara fisik.
"Udah magang, masih diajarin, jelek lagi. Enggak ada faedahnya," ucap seorang bos di salah satu konten TikTok itu.
Hal tersebut sontak diperbincangkan netizen di TikTok hingga Twitter. Ada yang merasa bahwa hal tersebut normal, karena memang terjadi di banyak perusahaan-perusahaan besar masa kini.
Advertisement
Baca Juga
Namun, ada juga yang merasa hal tersebut buruk dan balik menyerang bos tersebut karena ucapannya menyinggung banyak orang.
Walaupun bos dalam konten tersebut sudah melakukan klarifikasi, hingga kini, perbincangan netizen terkait hal tersebut masih ramai.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kini, penampilan seseorang berkontribusi besar terhadap bagaimana mereka diperlakukan.
Mungkin Anda pernah melihat bahwa penampilan dan kesuksesan memiliki keterkaitan yang erat. Ternyata, ada alasan yang membuat seseorang dengan daya tarik yang tinggi tampaknya lebih ‘berhasil’ daripada orang yang ‘berpenampilan rata-rata’.
The beauty bias atau Lookism merupakan anggapan bahwa seseorang diperlakukan istimewa karena kecantikan parasnya atau hal menarik lain dari fisiknya.
Hal ini berarti, jika Anda tidak sesuai dengan standar kecantikan masyarakat atau dianggap berpenampilan tidak menarik, maka bisa kehilangan bonus, promosi jabatan, bahkan tidak dipekerjakan.
Pada 2019, mengutip Druth Research, Senin (10/10/2022), Forbes melaporkan bahwa orang dengan kecantikan di atas rata-rata dapat menghasilkan 10% hingga 15% gaji yang lebih tinggi dibanding orang yang biasa-biasa saja atau dengan kecantikan di bawah rata-rata.
Druth Research juga melaporkan bukti lain bahwa ada individu yang kurang menarik memiliki probabilitas dipecat lebih tinggi, meskipun mereka memiliki probabilitas kecil untuk dipekerjakan sejak awal.
Selain itu, laporan Forbes juga menunjukkan, siswa yang menarik secara fisik cenderung mendapatkan nilai yang lebih tinggi di perguruan tinggi, sebagian karena mereka dianggap lebih teliti dan cerdas, bahkan jika mereka tidak. Bahkan di sekolah, anak-anak yang 'lebih tampan' dipandang dengan cara yang sama, dan ada 'halo effect' yang lebih umum, yang berarti orang yang tampan dinilai sebagai orang yang "mudah bergaul, sehat, sukses, jujur, dan berbakat".
Lookism, Racism, Sexism
Bias dan prasangka saling mempengaruhi satu sama lain. Begitu pun dengan lookism, seksisme, dan ageisme. Janet Mock–penulis, produser, sutradara, dan aktivis hak-hak trans Amerika–membahas hal ini dalam sebuah artikel yang dia tulis untuk Allure pada 2017:
“Pretty is most often synonymous with being thin, white, able-bodied, and cis, and the closer you are to those ideals, the more often you will be labelled pretty—and benefit from that prettiness (Cantik, identik dengan kurus, putih, berbadan sehat, dan semakin dekat anda dengan stigma itu, anda akan mendapat label cantik—dan mendapatkan manfaat dari kecantikan itu),” tulis Mock.
Jika salah satu dari identitas tersebut tidak Anda miliki, itu akan berdampak pada seberapa menarik nya Anda di tengah masyarakat.
“Orang-orang yang memiliki hak istimewa, tidak ingin membahas hak istimewa tersebut. Tetapi, kita perlu mengakui hak istimewa kita jika kita ingin semua sistem dan hierarki ini. Kita harus jujur,” pungkas Mock.
Dalam hal ini, penting untuk dipahami bahwa di mana ada bias kecantikan, diskriminasi pasti akan terjadi.
Advertisement
Penjelasan Biologis
Secara biologis, dalam lingkup hewan, pasangan biasanya dipilih berdasarkan gen yang diinginkan untuk diteruskan agar spesies tersebut memiliki peluang terkuat untuk bertahan hidup dan berkembang.
“Daya tarik adalah penanda kepribadian, kecerdasan, kepercayaan, kompetensi profesional, atau produktivitas. Psikolog evolusioner berpendapat bahwa orang dewasa yang menarik disukai karena mereka adalah pasangan seksual yang disukai,” menurut penelitian pada 2016 oleh University of Chicago Institute for Mind and Biology.
Naluri kuno ini menjelaskan bias dari bawah sadar yang kita miliki sebagai manusia. Hal ini tentu memberikan jalan keluar yang baik untuk mengeksplorasi mengapa perekrut menginginkan karyawan berpenampilan terbaik untuk mewakili perusahaan mereka.
Alasannya, sejalan dengan hewan yang ingin spesies mereka berkembang, pemilik bisnis ingin organisasi mereka melihat jenis kelangsungan hidup dan kesuksesan yang sama.
Organisasi yang berkembang karena penampilan karyawan yang menarik ini sejalan dengan apa yang mereka dapatkan atas penampilannya.
Misalnya, melansir The Daily Vox, The Social Science Research Network pada 2016 menerbitkan sebuah tulisan dengan judul ‘CEO Pulchronomics and Appearance Discrimination’ yang menemukan bahwa CEO yang lebih menarik mendapatkan gaji lebih tinggi daripada CEO yang tidak menarik.
Ekonom Daniel Hamermesh juga menulis dalam bukunya Beauty Pays bahwa karyawan yang lebih menarik dapat menikmati lebih banyak tunjangan dan gaji yang lebih tinggi.
Di pasar tenaga kerja yang lebih luas (kecuali, misalnya, astrofisika), penampilan memiliki dampak yang lebih besar pada pendapatan daripada pendidikan.
Tuntutan Penampilan
Pada 2020 Slater dan Gordon mengungkapkan bahwa, selama lockdown, "lebih dari sepertiga (34 persen) karyawan wanita diminta untuk memakai lebih banyak make-up dan menata rambut mereka, sementara 27 persen lainnya diminta untuk berpakaian lebih provokatif."
Penelitian yang sama menemukan bahwa 41 persen sisanya mengatakan, atasan mereka meminta hal tersebut agar dapat ‘membantu memenangkan bisnis’ dan hal tersebut juga penting agar ‘tim’ dapat terlihat lebih baik. 38 persen sisanya mengatakan bahwa dengan mereka berdandan, klien akan lebih senang.
Data tersebut berkorelasi dengan anggapan orang yang menarik akan mendapatkan perhatian yang lebih positif dan mendapatkan lebih banyak kesuksesan bagi dirinya maupun perusahaannya.
Professor Christopher Warhurst, dari University of Warwick, dan Professor Dennis Nickson, dari University of Strathclyde, seorang pakar ketenagakerjaan menulis tentang penampilan karyawan di The Conversation.
“Perusahaan menganggap, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada penampilan karyawan, akan membuat mereka lebih kompetitif. Sementara itu, organisasi sektor publik menganggap hal tersebut membuat individu lebih banyak disukai. Akibatnya, perusahaan tak jarang memberi tahu karyawannya bagaimana mereka harus berpenampilan, berpakaian, dan berbicara,” tulis Warhurst dan Nickson.
Namun, di sisi lain, hal tersebut juga menjadi sumber masalah baru. Dengan fakta bahwa tidak hanya lookism yang menjadi masalah dalam hal promosi dan gaji dalam dunia kerja, tetapi juga hal tersebut membuka jalan bagi diskriminasi dan pelecehan. Saat mereka yang secara konvensional tidak 'menarik' kehilangan kesempatan dalam beberapa hal, karyawan yang 'lebih cantik' mungkin menderita dalam hal lainnya.
Advertisement
Tidak Melanggar Hukum
Anda mungkin bertanya apakah semua ini legal atau tidak. Meskipun mengerikan, kenyataannya adalah bahwa lookism tidak melanggar hukum.
Nilai dari obsesi terhadap penampilan terbukti dalam interaksi kita sehari-hari di media. Saat banyak organisasi memiliki misi untuk memastikan proses perekrutan mereka tidak bias, setara, dan inklusif, penting untuk diingat bahwa bias kecantikan juga selalu ada.
Mungkin sulit bagi perusahaan untuk mengubah kebiasaan buruk mereka untuk menilai kandidat calon karyawan dan karyawannya berdasarkan penampilan mereka.
Terutama, bagi mereka yang bekerja di dunia yang mempertimbangkan penampilan. Tetapi, tidak ada salahnya jika kita mulai bergerak menuju budaya yang lebih inklusif dan tidak menghakimi, baik di dunia kerja maupun di luar dunia kerja.