Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah Anda merasa letih karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan?
Mungkin, sekarang ini kebanyakan orang akan memilih untuk melakukan semua sekaligus dan beristirahat seminim mungkin demi tercapainya kesuksesan dalam suatu pekerjaan yang dilakukan.
Fenomena itu dapat disebut dengan hustle culture, di mana, orang-orang mempunyai ambisi dan keinginan akan tujuan hidup mereka dengan melakukan pekerjaan secara terus menerus.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip dari laman Jump Start, istilah tersebut pertama kali digunakan dalam konteks pekerjaan dalam masyarakat Afrika-Amerika.
Pada 1914, Chicago Defender, sebuah surat kabar Afrika-Amerika, menyebut mengantarkan koran itu mudah bagi setiap anak laki-laki yang terjaga dengan sedikit keramaian di dalam dirinya.
Kata ini dengan cepat berasimilasi ke dalam bahasa sehari-hari ketika rapper kulit hitam mulai menyebutkan hustling dalam musik mereka di awal tahun 2000-an.Â
Istilah tersebut makin menyebar setelah para kaum muda mulai merasa harus bekerja ekstra keras untuk bertahan dalam kondisi yang sulit dan produktivitas yang meningkat.
Sekarang, istilah hustle culture bukan hanya ditunjukan untuk para pekerja namun juga untuk mahasiswa dan anak sekolah yang melakukan pekerjaan mereka dengan keras.
Biasa para anak muda mengistilahkan hustle culture dengan kata "ngambis" yang bebarti terlalu fokus untuk mengerjakan sesuatu dengan mengesampingkan istirahat.
Mereka bekerja sekeras mungkin untuk mencaai suatu tujuan yang memang diharapkan. Berikut dampak dari hustle culture:
1. Menurunkan Produktivitas Diri
Terlalu produktif ternyata tidak berpengaruh baik dalam tubuh, ketika tubuh dipaksa untuk bekerja keras sepanjang waktu akan ada penurunan stamina dan produktivitas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stanford University, produktivitas seseorang menurun tajam jika mereka dipaksa bekerja lebih dari delapan jam sehari.
Tubuh justru akan menjadi cepat lelah dan daya konsentrasi menurun, sehingga pekerjaan yang dilakukan malah akan terhambat.
Setelah beberapa titik, produktivitas bahkan bisa menjadi negatif dan memicu tumbuhnya stress karena tekanan dan waktu istirahat menjadi kurang seimbang.
Untuk itu istirahat menjadi suatu faktor penting utuk menjaga produktivitas dan daya tahan tubuh karena bagaimanapun tubuh bukanlah mesin yang mampu bekerja keras tanpa henti.
Advertisement
2. Berdampak Buruk pada Kesehatan Fisik dan Mental
Mereka yang memiliki pola pikir hustle akan mengambil lebih banyak tugas dengan berpikir bahwa hal itu akan membuat mereka terlihat seperti karyawan yang produktif.
Namun, dalam jangka panjang, hal ini akan memperburuk tubuh yang menyebabkan masalah kesehatan, seperti Diabetes tipe II, obesitas dan hipertensi.
Di samping itu, hal ini juga bisa berdampak buruk pada kesehatan mental juga menyebabkan stres kronis, depresi dan kecemasan.
Semua ini berarti bahwa uang yang di hasilkan melalui kerja keras selama bertahun-tahun akan digunakan untuk memperbaiki dampak negatifnya pada tubuh dan pikiran.
Hal ini tentunya berdampak negatif khusunya bagi mahasiswa dan anak sekolah yang seharusnya melewati masa-masa belajar mereka diselingi dengan bermain.
Â
3. Mengarah ke Kompetisi yang Tidak Sehat
Jebakan utama lainnya dari hustle culture adalah bahwa hal itu mengarah pada persaingan yang tidak sehat di tempat kerja.
Sebagian besar tugas di tempat kerja standar membutuhkan beberapa tingkat kolaborasi. Jika semua orang di kantor berpikir bahwa satu-satunya cara untuk dipromosikan atau mendapatkan kenaikan gaji adalah dengan bekerja lebih keras daripada yang lain, hal itu akan mengarah pada persaingan yang tidak sehat dan sengit.
Dengan terus menerus berusaha lebih keras dan lebih keras lagi, akan tercipta suatu ruang yang tidak sehat bukannya menunjukan keseimbangan kehidupan sehat.
Hustle culture tampak seperti memenuhi tujuan pemberi kerja dengan membuat seseorang termotivasi untuk melakukan lebih banyak hal secara terus-menerus.
Meskipun demikian, persaingan tidak sehat yang berasal dari budaya hustle bukanlah hal yang baik.
Jika orang selalu bersaing satu sama lain, mereka mungkin lebih fokus pada apa yang bisa mereka capai dan kurang fokus pada tujuan kolektif suatu perusahaan.
Dalam konteks sekolah dan kampus juga budaya ini akan memunculkan suatu persaingan antara satu dengan lain yang ditakutkan dapat memicu suatu konflik dan permasalahan.
Advertisement