Liputan6.com, Jakarta- Baru-baru ini media sosial ramai dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa Lesti Kejora oleh suaminya Rizky Billar. Banyak yang menyebut kekerasan terhadap perempuan di rumah tangga diakibatkan oleh berbagai hal yang membudaya di masyarakat sejarah zaman kolonial.Â
Namun, para sarjana pascakolonial sejak beberapa dekade lalu mengatakan bahwa kemiskinan, diskriminasi rasial, hingga ketidaksetaraan gender merupakan akar meningkatnya kekerasan terhadap perempuan.Â
Baca Juga
Selain kasus Rizky Billar dan Lesti Kejora, ternyata satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan dari pasangannya setidaknya sekali di hidup mereka. Angka tersebut cukup mengejutkan.
Advertisement
Namun, mengutip The Conversation, Jumat (14/20/2022), yang lebih mengejutkan adalah, di 23 negara dari Amerika, Afrika, hingga Asia, angkanya lebih besar dari itu.
Ternyata, dua dari tiga perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya sendiri di rumah tangganya. Angka tersebut tercatat dalam laporan Violence Against Women Prevalence Estimates pada 2018.
KDRTdapat terjadi dalam berbagai bentuk, dan yang paling sering, kekerasan ini menggabungkan beberapa jenis kekerasan, yang menyebabkan depresi, cedera dan penyakit.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga mengakibatkan biaya sosial dan ekonomi yang lebih besar, termasuk biaya layanan untuk merawat dan mendukung perempuan yang dilecehkan dan membawa pelaku ke pengadilan.Â
Selain menghilangkan pekerjaan dan produktivitas, melemahkan kemampuan perempuan, dan bahkan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Sebagai bagian dari studi tentang negara-negara dengan prevalensi kekerasan terhadap perempuan yang tinggi, data dari studi ini diambil dari Organisasi Kesehatan Dunia, Bank Dunia, PBB dan sumber-sumber akademis.
Lalu, ditemukan bahwa negara-negara yang dijajah, memiliki kemungkinan 50 kali lebih besar terhadap KDRT perempuan oleh suaminya dalam rumah tangga. Saat masyarakat patriarki bergabung dengan sejarah kolonialisme, risiko KDRT meningkat.
Â
Â
Sistem Kolonialisme
Kebanyakan, sistem pemerintahan kolonial didasarkan pada rasialisme. Penduduk setempat mengkategorikan dan menyudutkan kelompok-kelompok orang menurut ras atau etnis. Misalnya, pembagian antara Hindu dan Muslim di India saat pre-partisi dan hirarki rasial (apartheid) di Afrika Selatan.Â
Pembagian-pembagian tersebut menjadi ‘makanan’ bagi banyak konflik bersenjata kontemporer di dunia. Para ahli membahas tentang keberlangsungan kolonial dalam menggambarkan bagaimana sejarah kolonial masih berperan aktif dalam mempengaruhi dunia saat ini.
Contoh kasusnya adalah genosida Rwanda pada 1994. Saat itu, lebih dari 800.000 orang yang sebagian besar suku Tutsi dibunuh oleh ekstremis Hutu. Keduanya adalah kelompok yang pada awalnya dirasialisasi oleh pemerintah kolonial Belgia melalui penciptaan bentuk-bentuk kewarganegaraan yang hierarkis dan eksklusif.Â
Tutsi adalah suku etnis Rwanda yang minoritas, sedangkan Hutu adalah etnis mayoritas di Rwanda yang mendominasi sekitar 85 persen populasi di sana saat itu. Walaupun minoritas, Tutsi banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan pemerintahan.Â
Genosida ini memperlihatkan kekerasan seksual besar-besaran yang dilakukan pada wanita Tutsi sebagai cara untuk melucuti kemanusiaan mereka.
Orang-orang yang selamat dari genosida mengalami trauma yang parah. Penelitian menunjukkan bahwa trauma ini meningkatkan kemungkinan laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap keluarga dan pasangan intim mereka. Hal ini juga mengurangi kemampuan perempuan untuk mencegahnya.
Advertisement
Perempuan Tak Dianggap
Banyak sistem pemerintahan kolonial juga menetapkan peraturan dan kerangka hukum yang sangat merusak perempuan. Saat itu, terlepas dari kenyataan bahwa baik laki-laki maupun perempuan berada dalam posisi kepemimpinan di Nigeria pra-kolonial, pejabat kolonial Inggris menolak untuk bernegosiasi dengan kepala suku perempuan.Â
Mereka juga menerapkan sistem kepemilikan tanah yang secara eksplisit mengecualikan perempuan. Warisan dari kebijakan-kebijakan ini adalah bahwa perempuan masih jauh lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki tanah daripada laki-laki di Nigeria.
Sebuah studi terbaru dari data nasional menunjukkan bahwa perempuan yang tidak memiliki tanah lebih mungkin melaporkan kekerasan dalam rumah tangga daripada mereka yang memiliki tanah.
Hal ini karena kepemilikan tanah memberikan perempuan pendapatan dan kekuasaan dalam suatu hubungan. Kepemilikan tanah juga memberi mereka pilihan ketika mereka membutuhkan tempat untuk pergi.Â
Perempuan yang memiliki kekuasaan dan alternatif cenderung tidak tahan dengan kekerasan dan lebih mungkin untuk pergi.
Trauma Sejarah
Sementara orang-orang saat ini mungkin tidak merasakan kolonialisme secara pribadi, mereka mungkin mengalami trauma historis dari komunitas mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh seluruh komunitas atau kelompok etnis dapat mengakibatkan trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Trauma sering didefinisikan sebagai kondisi yang muncul dari suatu peristiwa di masa lalu, seperti pelecehan anak, atau paparan bencana alam.Â
Trauma tidak berakhir ketika orang yang mengalami peristiwa tersebut pulih atau meninggal dunia. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa trauma ini diperparah oleh diskriminasi dan penindasan yang dialami oleh generasi berikutnya.
Psikiater dan filsuf politik Frantz Fanon pertama kali menjelaskan tentang konsekuensi emosional dan psikologis dari trauma historis yang timbul dari penjajahan.
Dalam Black Skin White Mask (1967), Fanon mengemukakan bahwa representasi pahlawan arketipal kolonial sebagai orang kulit putih membuat individu kulit hitam dalam masyarakat pascakolonial memiliki keinginan untuk menjadi orang lain. Dengan demikian, mereka kehilangan jati diri, kebebasan dan kekuasaan untuk mengambil keputusan.
Advertisement
Pengalaman Traumatis Laki-Laki juga Sebabkan Kekerasan
Bekerja dengan komunitas First Nations di Kanada, praktisi hak-hak perempuan Karen Max berpendapat bahwa kita perlu melihat bagaimana masyarakat memahami kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berasal dari ketidaksetaraan gender tetapi juga dari pengalaman traumatis laki-laki di masyarakat.
Dengan cara yang sama, pengalaman traumatis dari generasi sebelumnya dapat mempengaruhi hancurnya jaringan sosial dan keterikatan keluarga di dalam masyarakat.
Kebijakan sekolah residensial Kanada membuat anak-anak First Nations dipindahkan secara paksa keluar dari keluarga mereka sepanjang abad ke-20.
Penelitian menunjukkan dampak jangka panjang pada komunitas First Nations terhadap kebijakan ini termasuk tingkat kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi, pelampiasan emosional, dan bunuh diri.
Sejarah kolonialisme, tentu saja, bukan satu-satunya pendorong kekerasan terhadap perempuan. Faktor signifikan lainnya termasuk norma-norma sosial yang memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan layak mendapatkan kekerasan dalam situasi tertentu.
Namun, penelitian kami menunjukkan bahwa kolonialisme membuat faktor risiko lain ini menjadi lebih buruk.