Sukses

5 Alasan Korban KDRT seperti Lesti Kejora Kekeh Pertahankan Rumah Tangganya

Berikut alasan kenapa korban KDRT kayak Lesti Kejora tetap mempertahankan rumah tangganya.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Lesti Kejora dan Rizky Billar sedang ramai dibincangkan ini jadi banyak tanda tanya dari masyarakat.

Sebab, penyanyi muda jebolan ajang dangdut terkenal itu mencabut laporan dugaan KDRT yang dilakukan oleh sang suami, Rizky Billar, ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Jumat (14/10)

Lesti mengatakan bahwa langkah tersebut diambilnya karena memperhatikan kondisi anak. Dia juga mengakui alasan mencabut laporan dugaan KDRT karena sang suami sudah mengakui kesalahannya dan meminta doa agar tidak cerai.

Tak hanya dari kasus tersebut, banyak pasangan lain yang tetap bertahan dengan pasangannya, para korban KDRT tidak langsung mengambil keputusan untuk cerai setelah disakiti karena suatu alasan.

Berikut alasan korban KDRT masih mempertahankan hubungannya dikutip dari Criminal Justice Know How, Sabtu (15/10/2022):

1. Pengasuhan Anak

Baby Leslar, anak Lesti kejora dan Rizky Billar (Instagram//@lestykejora/@ayah_kejora)

Seperti kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar, ketika korban dan pelaku memiliki anak, anak-anak itu merupakan faktor besar dalam keputusan korban untuk tetap bersama atau berpisah.

Korban KDRT terkadang merasa terjebak di antara batu karang dan tempat yang sulit, terutama jika korban telah menyembunyikan kekerasan dari anaknya dengan baik.

Korban mungkin takut bahwa pelaku kekerasan pada akhirnya akan membahayakan anak-anaknya, tetapi jika korban pergi, anak-anak mungkin tidak mengerti mengapa dan membenci korban.

Korban yang adalah ibu mungkin merasa bahwa anak-anak mereka membutuhkan panutan laki-laki, sementara korban yang adalah ayah mungkin berasumsi bahwa harus memiliki hak asuh yang sah atas anak-anak.

 

2 dari 4 halaman

2. Ketergantungan Ekonomi

Entah itu kurangnya pendapatan mandiri atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan keuangan, beberapa korban secara ekonomi bergantung pada pelaku kekerasan.

Korban bahkan mungkin tidak memiliki akses ke rekening bank, kartu kredit, atau uang tunai.

Dia harus mempertanggungjawabkan semua uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan atau bahkan ditolak kebutuhannya.

Tanpa sumber daya keuangan atau keyakinan bahwa mereka dapat membangun pengetahuan dan keterampilan keuangan, korban mungkin merasa terjebak dalam keadaan mereka dengan pelaku.

 

3 dari 4 halaman

3. Stigma

Tak bisa dimungkiri bahwa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga di setiap masyarakat berkaitan dengan budaya.

Karena teman-teman, keluarga, dan rekan-rekan korban KDRT dapat terlibat secara emosional dalam apa yang dialami korban, mereka mungkin kecewa dengan korban yang tinggal bersama atau kembali ke pelaku kekerasan.

Selain itu, beberapa korban mungkin mendorong dan menarik orang-orang yang peduli dengan mereka menjauh jika mereka memiliki luka yang ingin mereka sembunyikan, depresi yang mereka perjuangkan, atau faktor lain yang tidak diketahui oleh teman, keluarga, dan rekan-rekan mereka.

Hal ini dapat semakin mengisolasi korban yang kemudian mungkin hanya mengandalkan pelaku untuk memenuhi semua kebutuhan sosial dan emosional korban.

 

4 dari 4 halaman

4. Rasa Takut

Pelaku kekerasan narsistik dapat dengan mudah memanipulasi korban agar merasa bersalah atas keputusan yang mereka buat yang membuat mereka tidak senang, terluka, atau membuat marah pelaku, meskipun itu bukan niat korban.

Pelaku kekerasan akan meyakinkan korban bahwa pilihan korban untuk pergi, mencari bantuan, atau melaporkan kekerasan dapat merusak kehidupan pelaku kekerasan, menyebabkan mereka kambuh menjadi kecanduan, atau mengecewakan anggota keluarga dan teman lainnya.

5. Rasa Cinta

<p>Ilustrasi jatuh cinta/copyright freepik.com</p>

Tak sedikit korban KDRT tetap tinggal bersama karena mereka masih mencintai pelaku dan ingin hubungan itu berhasil.

Mereka sering percaya bahwa ada sesuatu yang dapat mereka lakukan untuk 'memperbaiki' apa yang rusak dalam hubungan atau dengan pelaku, dan kadang-kadang, mereka melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang perlu berubah.

Mereka tetap berharap bahwa jika 'satu hal' itu akan terjadi, kekerasan akan berhenti.