Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha tertentu. Salah satunya adalah kebijakan tentang pelabelan "berpotensi mengandung BPA" yang hanya diterapkan pada kemasan air minum galon isi ulang berbahan polikarbonat.
Menurut Staf Ahli Kementerian Koperasi dan UKM Luhur Pradjarto, kebijakan pelabelan BPA itu harus ditujukan untuk kepentingan bersama, baik semua perusahaan maupun masyarakat.
Advertisement
“Kebijakan itu harus ditujukan untuk kepentingan bersama bukan untuk sekelompok tertentu saja. Ini ada kepentingan perusahaan dan kepentingan kepada masyarakatnya,” ujar Luhur, beberapa waktu lalu.
Menurut Luhur, Kementerian Koperasi dan UKM harus mengayomi dan melindungi para pengusaha UMKM dari kebijakan-kebijakan yang bisa menghambat keberlangsungan usaha. Namun Luhur menyebut, semuanya harus sesuai dengan prosedur.
Ia pun menyebut, dirinya baru tahu adanya potensi nuansa persaingan usaha akibat kebijakan pelabelan BPA terhadap galon guna ulang ini. “Saya berterima kasih bisa diundang di acara ini, sehingga tahu adanya hal-hal seperti ini (adanya nuansa persaingan usaha)," katanya.
Ia pun menyebut, dirinya akan menyampaikan ke pimpinan bahwa ada penolakan atas kebijakan pelabelan BPA ini dari UMKM. Penolakan dilakukan karena menganggap ada diskriminasi dalam kebijakan tersebut.
"Kami ingin ada ketentuan yang bijaksana, jangan hanya memenangkan sekelompok tertentu saja,” ujarnya, menekankan.
Belum ada Kematian Akibat Minum Air dari Galon Isi Ulang
Sejauh ini Luhur mengaku belum pernah mendengar ada laporan masyarakat meninggal atau terkena penyakit berbahaya hanya karena mengkonsumsi air minum galon guna ulang.
“Saya juga belum ada laporan. Saya belum pernah baca itu laporan dari masyarakat meninggal gara-gara minum air galon guna ulang. Itu betul, saya secara pribadi belum pernah mendengar itu,” ucapnya.
Oleh karena itu, Luhur mengajak para pelaku usaha air minum untuk terus mencermati kebijakan pelabelan BPA ini dengan bijak.
Menurutnya, ada potensi yang luar biasa yang harus diperjuangkan. Pasalnya, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) memiliki pangsa pasar yang cukup besar dari kelompok industri minuman ringan, dengan market share mencapai 85 persen.
Jumlah industri AMDK lebih dari 500 perusahaan, di mana 90 persennya merupakan industri kecil dan menengah (IKM).
“Kalau Asdamindo (Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum) dan Aspadin (Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan) bersatu, mempunyai kekuatan besar. Saya kira ini potensi yang luar biasa yang harus diperjuangkan,” katanya.
Advertisement
Kebijakan Harusnya Berlaku ke Semua Pihak
Luhur menyebutkan, Kementerian Koperasi dan UMKM ingin kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak bersifat sepihak tetapi untuk semua pihak.
“Kami harapkan Aspadin dan Asdamindo harus kompak supaya satu suara. Kalau tidak, saya khawatir yang bermain di tengah akan tepuk tangan,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekjen Asdamindo M. Imam Machfudi Noor menegaskan, wacana pelabelan BPA ini jelas sangat berdampak terhadap usaha depot air minum isi ulang.
“Tentu kami merasakan dampaknya, karena konsumen air minum isi ulang selama ini kan menggunakan galon guna ulang saat membeli air di depot-depot kami. Kalau galon ini dihilangkan, apa konsumen mau beli pakai ember, kan enggak mungkin. Galon sekali pakai juga kan tidak bisa digunakan berulang,” tuturnya.
Menurut Imam, kebijakan pelabelan BPA terhadap kemasan guna ulang AMDK bisa berakibat pada banyaknya usaha depot yang bangkrut. Hal ini mengingat masih banyaknya anggota yang usahanya sangat kecil, dengan pangsa pasar hanya 200-300 rumah.
“Sudah puluhan tahun beroperasi, Asdamindo belum pernah mendengar adanya laporan dari para anggota bahwa konsumen mereka ada yang sakit karena mengonsumsi air minum isi ulang. Padahal wadah yang digunakan juga galon guna ulang,” ujar Imam.
Penggunaan Galon Sekali Pakai Tambah Sampah
Keberatan
Sementara, Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat mengatakan keberatan dengan pelabelan BPA ini karena menganggap kebijakan itu bersifat diskriminatif.
“Kami melihat kebijakan ini sangat diskriminatif karena hanya diberlakukan terhadap produk kemasan galon polikarbonat saja. Padahal, kemasan galon sekali pakai juga ada zat berbahayanya seperti asetaldehid, antimon, dan etilen glikolnya. Tapi kenapa galon ini tidak dilabeli juga seperti halnya galon guna ulang? Kami hanya menuntut rasa keadilan dan kesetaraan dalam hal ini,” katanya Rachmat.
Tambah Sampah
Pengamat Regulasi Persampahan, Asrul Hoesein, bahkan mempertanyakan keberadaan produk galon sekali pakai yang jelas-jelas akan semakin menambah timbunan sampah bagi lingkungan.
Dia pun mengendus adanya kedekatan pemilik produk ini dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Nah, karena kedekatannya itu, dia (pemilik galon sekali pakai) mengambil satu tarikan untuk mengambil tembakan persaingan bisnis,” tuturnya.
Ia pun heran dengan aturan yang dibuat, di satu sisi KLHK melarang plastik sekali pakai, tapi justru adanya pembiaran terhadap salah satu produsen untuk memproduksi galon sekali pakai. “Ini kan sangat membingungkan kita,” katanya.
Advertisement