Sukses

Yuk, Kenali Ciri-Ciri dan Tipe-Tipe Toxic Parenting

Toxic parenting cara yang salah terhadap pola asuh anak, sehingga membuat anak merasa orang tuanya toxic, lalu dalam kondisi seperti ini, apa yang harus dilakukan?

Liputan6.com, Jakarta Semua anak pasti menginginkan orang tua yang selalu mendukung mereka. Orang tua yang tidak senantiasa mendukung dan memberi kebebasan untuk memilih jalan hidup., serta memfasilitasi apa yang anaknya butuhkan.

Tapi sayangnya tidak semua orang mendapatkan kesempatan demikian. Sebab salah satu hal yang tidak bisa kita pilih dalam hidup adalah siapa orang tua kita.

Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh orang tua dengan background seperti apa dan adakalanya harus pasrah dengan kondisi yang mungkin tidak kita harapkan.

Dari Youtube Analisa Channel, Analisa Widyaningrum, seorang Psikolog Klinis memberi penjelasan panjang lebar terkait toxic parenting.

Psikolog Analisa mengatakan bahwa sebetulnya toxic parents itu tidak ada, melainkan hal tersebut maksudnya ialah toxic parenting.

“Sebab kalau aku bilang orang tua punya niat jahat untuk anaknya, kayaknya ngga mungkin orang tua ada niat toxic untuk anaknya, jadi kadang pengasuhannya yang tidak tepat, padahal tujuannya baik,” ujar psikolog tersebut.

Ciri-ciri toxic parent atau toxic parenting

Ia juga tidak lupa memaparkan ciri-ciri toxic parenting atau yang biasa dikenal oleh orang-orang sebagai toxic parent. Di antaranya:

- Selalu mengekang

- Secara verbal dan nonverbal menyakiti

- Memberikan kebebasan, tanpa memberikan target

“Ini cenderung permisif (bersifat terbuka, membolehkan) dan tidak pernah memberikan demand atau target pada anaknya,” ujar dia.

2 dari 4 halaman

4 Tipe Pola Asuh

1. Undemanding but supportive

"Toxic parenting pertama itu tadi, contohnya saat anak mau apapun dikasih, ‘mah aku boleh ini mah, boleh tanpa ada target jadi dia cenderung undemanding but supportive,” ucap Analisa.

Ini berarti memperbolehkan anak melakukan apapun tanpa target.

2. Demanding but not supportive

Cenderung memberikan target tapi tidak pernah memberi dukungan.

“Jadi ini tipikal yang otoriter contoh ‘ mah aku boleh ini ngga, ngga pokoknya kamu harus nurut mama titik'. Otoriter ini cenderung membuat anak jadi gampang baper, biasanya mereka dengan verbal nonverbal agresifitas gitu baik orangtua maupun anaknya," ucapnya.

3. Undemanding and not supportive

Kemudian berikutnya adalah cenderung acuh.

"Contohnya 'mah aku boleh ini ngga, iya bodoamat teserahlah'. Jadi tidak pernah ada target, mau apapun anaknya silahkan tidak pernah support apapun," tutur psikolog tersebut.

Sebaiknya seperti apa?

Psikolog Analisa menjelaskan bahwa pola asuh yang baik yakni pola asuh yang memiliki demand atau target, arahan terhadap pilihan hidup anak serta harus mendukung secara materi maupun non materi seperti pujian, dukungan, atau sekadar tempat bercerita bagi anak.

"Apresiasi yang sifatnya non materi ini membuat anak bisa tumbuh dan berkembang dalam hidupnya," ujar Analisa.

 

 

3 dari 4 halaman

Bagaimana Cara Mengenali Ciri-ciri Toxic Parenting

Psikolog Analisa juga menerangkan tentang ciri-ciri toxic parenting. "Jangan-jangan kita juga orang tua yang memberikan pola asuh yang seperti ini" ujarnya. Menurut dia ada beberapa ciri-ciri toxic parenting, yaitu:

1. Orang tua tidak bisa memberikan kasih sayang aman pada anaknya

"Jadi anak merasa tidak mau dekat dengan orangtua," ujar psikolog.

2. Orang tua selalu mengkritisi tindakan dan pilihan anak yang selalu dianggap salah

"Salah kamu, harusnya kamu tuh begini, begitu, hal yang dilakukan anak selalu salah di mata mereka," tutur psikolog tesebut.

3. Orangtua melarang anak untuk mengeskpresikan emosi negatif

Psikolog tersebut mengatakan orang tua seperti ini, di mana ia anaknya itu tidak boleh sedih, marah dan harus selalu positif dan happy.

4. Orang tua menganggap setiap ucapan dan tindakannya harus diikuti.

Psikolog juga menjelaskan bahwa setiap ucapan dan keputusan harus sesuai dengan pemikiran orang tua bukan anak, jadi satu arah tanpa pengecualian.

5. Orang tua membebankan suatu kebahagiaan mereka pada anak

"Jadi contohnya, aku bahagia kalau anakku itu rangking satu, kalau anakku berhasil jadi pns, naik jabatan, kerja disini, kuliah disini, kalau tidak mereka tidak bahagia," ujar psikolog

6. Orang tua menjadikan anaknya aksesoris

"Contohnya, eh tau ngga sih (cerita ke teman-tmannya) anakku itu jadi juara kelas dan hal ini tu too much terlalu berlebihan," ucap psikolog.

7. Orang tua suka membandingkan anaknya dengan anak orang lain.

Sehingga, psikolog Analisa menganjurkan untuk sadar dan keluar dari pola asuh dan lingkungan tersebut.

 

4 dari 4 halaman

Bagaimana Seorang Anak Dealing Dengan Orang tua yang Toxic?

Terakhir, psikolog Analisa mengatakan bahwa toxic parenting ini tidak bisa dihindari.

"Karena bagaimana pun restu kita berada di tangan orangtua," ujarnya.

Namun ia memberikan salah satu cara untuk menghadapi hal tersebut yaitu dengan menerima dan menyadari.

"Menyadari bahwa orang tua kalian memberikan pola asuh atau cara-cara yang tidak sesuai dengan apa yang kalian mau,"

Lalu kemudian, maafkan mereka.

"Bukan berarti kalian bisa berada dalam circle itu dan tidak membatasi ruang gerak artinya membatasi ruang gerak ini bukan berarti kita jaga jarak ya, tapi kalian bisa memilah kata-kata mana yang orang tua kalian sampaikan perlu kalian internalisasi menjadi sebuah label-label diri kalian, dan mana yang tidak," ujarnya.

"Contoh misalnya orangtua membandingkan kalian dengan anak temannya. Kalian harus punya barrier untuk bisa menentukan sikap. Oke orang tua ku ini sedang membandingkan (toxic parenting), dengerin aja dan kalau memang kalian bisa memberikan satu komunikasi yang asertif itu akan lebih baik," Analisa, menambahkan.

Ia juga mengatakan bahwa asertifitas ini penting selain kita punya barrier dalam diri kita  ternyata ini juga melatih kita untuk tidak melukai mereka (orang tua) tetapi juga mereka harus tahu bahwa kita terluka.

Namun, menurut dia tips yang paling penting dari semua ini ialah  segera mencari pertolongan jika tidak tahan lagi.

"Kalian harus bisa membedakan mana yang menjadi batasan terhadap diri kalian (ideal self) dengan real self kalian, kadag-kadang toxic parenting ini menjadi kita punya konsep ideal sebagai seorang manusia dan ini membuat kita tidak sehat secara mental," tuturnya.