Liputan6.com, Jakarta- Masyarakat adat Indonesia menginginkan dukungan Uni Eropa atas hak atas tanah. Ketika Uni Eropa dan Indonesia sedang mengupayakan perjanjian perdagangan bebas, salah satu suku di Indonesia meminta bantuan Eropa untuk menjamin hak-hak mereka. Banyak masyarakat adat berisiko kehilangan tanah mereka seiring dengan meningkatnya pembangunan ekonomi.
Komunitas-komunitas adat yang terancam di Indonesia meminta dukungan dari Uni Eropa sehubungan dengan kunjungan diplomatik dan negosiasi antara blok tersebut dan Jakarta mengenai potensi perjanjian perdagangan bebas (FTA).
Baca Juga
Beberapa minggu yang lalu, para pembela hak asasi manusia dari Kepulauan Aru yang terpencil berpidato di Parlemen Eropa untuk mendapatkan dukungan atas sengketa hukum mengenai hak atas tanah, yang saat ini sedang ditangani oleh pengadilan nasional Indonesia, mengutip DW, Minggu (13/11/2022).
Advertisement
Para aktivis mengatakan bahwa pembangunan kepulauan yang terletak di pinggiran timur Indonesia merupakan contoh utama perampasan tanah dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
"Jika kami kalah dalam kasus ini, kami akan kehilangan segalanya. Kami akan kehilangan masyarakat kami, budaya, tradisi dan fauna kami," kata Maritjie, seorang pembela hak asasi manusia adat kepada DW. Dia meminta nama belakangnya tidak diungkapkan karena alasan keamanan.
Kampanye virtual telah dilakukan di Twitter, Facebook, dan situs web lain di bawah tagar #SaveAru untuk menyuarakan perjuangan para aktivis masyarakat adat. Namun, sejak 2021, semakin sulit untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
"Di Indonesia, kita memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tidak mudah bagi kami sebagai pembela HAM untuk bersuara di media sosial. Kadang-kadang ketika kami mengkritik pemerintah, kami dianggap sebagai orang yang kasar," kata Maritije.
Kepulauan Aru
Selama beberapa dekade, Kepulauan Aru luput dari perhatian perusahaan yang menggunduli hutan hujan Indonesia. Kini, ada tanda-tanda Kepulauan Aru bisa menjadi korban deforestasi Indonesia berikutnya.
Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,95 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2021, menjadikannya salah satu dari lima negara teratas secara global yang kehilangan hutan selama dua dekade terakhir.
Beberapa kelompok tertarik untuk mengembangkan nusantara. Termasuk Menara Group, konglomerat yang ingin membuka hutan untuk perkebunan tebu, dan TNI Angkatan Laut, yang ingin menggunakan lahan tersebut untuk keperluan militer.
"Perampasan tanah adat oleh TNI AL dan Proyek Pembangunan Nasional akan menghilangkan sumber mata pencaharian utama masyarakat adat," kata Eko Cahyono, peneliti senior Sajogyo Institute, sebuah LSM, kepada DW.
Menurut Eko, masyarakat adat di Aru dan di seluruh Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan, laut, gunung, dan sumber daya alam dan bergantung padanya. Merampas tanah mereka pada akhirnya dapat menghancurkan kehidupan mereka.
Advertisement
Meminta Dukungan Eropa
Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, mengatakan kepada DW bahwa negosiasi perjanjian perdagangan bebas memberi kesempatan kepada Uni Eropa untuk menggunakan pengaruhnya untuk mendukung hak-hak adat.Â
"Saya pikir ada peluang bagi Eropa untuk memasukkan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari perjanjian perdagangan. Gagasan perdagangan inklusif yang memastikan bahwa FTA tidak hanya menguntungkan bisnis kedua mitra, tetapi juga orang-orang yang lebih rentan, seperti masyarakat adat," kata Arizona kepada DW.
Pada Agustus 2022, di Hari Internasional Masyarakat Adat Dunia, Uni Eropa mengumumkan akan menginvestasikan € 7 juta (112,23 miliar rupiah) untuk mendukung hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia sebagai bagian dari paket investasi Global Gateway.
"Uni Eropa akan berinvestasi guna membantu masyarakat adat untuk memantau dan melaporkan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan," demikian ungkap sebuah pernyataan.
Tidak Ada Perlindungan Hukum
Menurut Kelompok Kerja Internasional untuk Urusan Adat (IWGIA), Indonesia adalah rumah bagi sekitar 50 hingga 70 juta masyarakat adat (18% hingga 19% dari total populasi).
Arizona mengatakan bahwa masyarakat adat tidak menolak untuk berkembang. "Khususnya di daerah-daerah seperti Sumatera, saya menemukan banyak komunitas lokal menyambut baik investasi. Yang mereka tolak adalah hilangnya tanah mereka," kata dosen hukum Arizona.
Namun, tidak ada perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat adat di Indonesia, yang berarti bahwa mereka bukan bagian dari proses pengambilan keputusan.
"Untuk memahami sepenuhnya situasi hak-hak masyarakat adat di Indonesia, kita harus melihat di luar konstitusi. Pemerintah tidak serius mengembangkan kerangka hukum untuk perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia," kata Arizona.
Prosedur hukum saat ini untuk masyarakat adat di Indonesia tentang hak atas tanah adat sangat kompleks dan melibatkan banyak aktor negara, kata Arizona.Â
Dalam kasus Kepulauan Aru, masyarakat harus mendapatkan status hukum sebagai kelompok adat dan surat keputusan dari pemerintah tentang hak atas tanah dan hutan mereka, yang membutuhkan waktu lama.
Jika masyarakat Aru ingin berhasil dalam perjuangan hak atas tanah mereka, reformasi hukum diperlukan. "Jika mereka tidak memiliki dasar hukum untuk hak atas tanah mereka, mudah untuk mengabaikannya. Hukum yang baik adalah prasyarat untuk menyelesaikan banyak konflik tanah adat di Indonesia," kata Arizona.
Advertisement