Liputan6.com, Jakarta - Absennya Presiden Rusia Vladimir Putin pada pertemuan puncak para pemimpin di KTT G20 Bali menjadi sorotan. Sebelumnya pada 2014, Putin mempersingkat kehadirannya di KTT G20 di Brisbane, Australia, karena mendapati dirinya dikucilkan tak lama setelah Rusia merebut Krimea.
Delapan tahun kemudian, setelah melakukan invasi besar-besaran di Ukraina dan mengancam Barat dengan senjata nuklir, Putin memilih untuk tidak hadir di G20 Bali.
Baca Juga
Para pengamat mengatakan bahwa Kremlin berusaha melindungi pemimpin Rusia ini dari kecaman di Indonesia. Namun menurut para pengamat, ketidakhadiran Putin berisiko membuat Rusia semakin terisolasi oleh sanksi Barat yang tidak terduga.
Advertisement
Alexei Malashenko, kepala peneliti di Dialogue of Civilisations Institute, mengatakan Putin tidak ingin dipermalukan di depan umum untuk kedua kalinya. Mengingat, pada KTT Brisbane 2014 Putin ditempatkan di sisi paling belakang dari foto bersama kolega lainnya.
"Di KTT, Anda harus berbicara dengan orang-orang dan difoto. Siapa yang akan ia ajak bicara dan bagaimana tepatnya ia akan difoto?" kata Malashenko, seperti dikutip dari IBT Times, Senin (14/11/2022).
Pertemuan G20 pasti akan dibayangi oleh serangan Moskow di Ukraina, yang menggoncang pasar energi global dan memperparah masalah kekurangan pangan.
Fyodor Lukyanov, seorang ahli kebijakan luar negeri yang dekat dengan Kremlin, mengindikasikan bahwa Putin tidak siap untuk mengalah atas Ukraina.
Sedangkan analis politik Konstantin Kalachev mengatakan penolakan Putin untuk melakukan perjalanan ke Bali mencerminkan 'kebuntuan 'atas Ukraina.
Selain itu, adanya koalisi anti-Barat yang gencar diinisiasi Putin akhir-akhir ini merupakan salah satu alasan lain di balik ketidakhadirannya di Bali.
Sementara itu, Rusia menyebut, ketidakhadiran Putin disebabkan oleh adanya benturan jadwal, tanpa merinci apa yang mendorong pemimpin Rusia itu melewatkan salah satu KTT global berprofil tertinggi.
Putin Tidak Ingin Keluar Dari Zona Nyaman
Rusia yang kini masih dalam konflik berkepanjangan dengan Ukraina dan mengancam Barat dengan senjata nuklir, akan mengirim Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov ke KTT G20 di Bali.
"Keputusan telah dibuat bahwa Sergei Lavrov akan mewakili Rusia di KTT G20," kata juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov kepada wartawan.
Menteri luar negeri pugilistik sempat walk out dari pertemuan G20 di Bali pada Juli lalu setelah serangan Rusia ke Ukraina dikecam, dan dia memperkirakan akan mendapat sambutan dingin lainnya.
Konstantin Kalachev mengatakan Putin tidak ingin keluar dari zona nyamannya dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak membuatnya nyaman.
Penolakan Putin untuk menghadiri KTT secara langsung juga menunjukkan bahwa dia tidak memiliki solusi tegas untuk mengakhiri serangan di Ukraina.
"Ada jalan buntu, dan tanpa proposal konkret Putin tidak ada yang bisa dilakukan di KTT ini," kata Kalachev kepada AFP.
Advertisement
Membangun Koalisi
Dijauhi oleh sebagian besar pemimpin Barat, Putin berusaha memperdalam hubungan dengan negara-negara yang secara tradisi memiliki hubungan baik dengan Moskow atau mereka yang juga menentang dominasi Amerika Serikat dalam urusan global.
"Dalam pandangan Putin, penolakannya untuk pergi ke KTT G20 tidak akan menghalangi Rusia untuk membangun hubungan dengan negara-negara netral," kata Tatiana Stanovaya, pendiri R.Politik, sebuah perusahaan analisis politik.
"Putin percaya bahwa front anti-Amerika memiliki banyak dukungan," kata Stanovaya.
Kremlin menegaskan bahwa Rusia sama sekali tidak terisolasi, dan Stanovaya menunjukkan bahwa Putin telah mencari sekutu di Afrika, Asia, dan Timur Tengah.
"Dia mencoba membangun koalisi anti-Barat," katanya.
Banyak pengamat politik yang skeptis bahwa langka Rusia mencari dukungan dari negara-negara Afrika, Asia, dan Timur Tengah lainnya akan berhasil. Pasalnya, setelah Putin mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari lalu, tidak ada negara besar yang mendukung Rusia, termasuk Tiongkok.
Serangan Rusia ke Ukraina juga menakut-nakuti negara-negara tetangga di Asia Tengah. Serangan tersebut jugamendorong negara-negara seperti Kazakhstan dan Uzbekistan untuk mencari aliansi di tempat lain.
Ingin Terlihat Kuat di Bawah Kecaman Dunia
Rusia disebut-sebut tidak ingin membiarkan dirinya terisolasi secara internasional, saat Rusia menghadapi sanksi internasional.
Maka dari itu, kunjungan Putin beberapa bulan lalu ke Iran dapat memperkuat aliansi baru Rusia-Iran-Suriah-Tiongkok-Korea Utara.
Putin sebagai pemimpin dengan tangan besi dan mencerca Barat sebagai kekuatan yang merusak tetap ingin terlihat baik-baik saja meski ada sejumlah masalah, kecaman, dan sanksi yang membayangi Moskow.
“Kesalahan strategis Rusia yang sangat besar di Ukraina membuatnya membutuhkan mitra yang baru, dan negara-negara yang tidak sepenuhnya terikat dengan barat yang mengisolasi Rusia mungkin dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mendorong tawar-menawar yang baik di bidang-bidang tertentu,” kata Nick Kitchen, Direktur Pusat Studi Persaingan Kekuatan Global (CGPC) di Universitas Surrey Inggris kepada Newsweek.
Namun, tantangan bagi negara-negara yang turut serta dengan Putin dalam aliansi anti-Barat tersebut harus tetap hati-hati terlebih hingga saat ini belum ada konsekuensi atas hubungan tersebut.
Hal tersebutlah salah satu yang membuat Putin enggan datang ke G20. Selain karena takut terisolasi, ia ingin terlihat kuat bersama dengan aliansi-aliansi barunya.
Advertisement
Krisis Energi dan G20
Terlepas dari alasan ketidakhadiran Putin ke KTT G20, kebijakan luar negeri Indonesia yang netral dalam G20 ini tentu menjadi tantangan tersendiri.
Presiden Indonesia Joko Widodo telah mengundang Putin meskipun ada serangan di Ukraina, yang memicu kecaman Barat. Pada Agustus 2022, Presiden Jokowi mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin telah menerima undangan itu.
Selain itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga diundang untuk hadir sebagai pengamat dan ia diperkirakan hadir secara virtual.
Rusia menyebut kampanye militernya sebagai operasi militer khusus untuk de-Nazify Ukraina. Rusia jugamenyalahkan sanksi Barat atas krisis pangan dan energi global yang terjadi setelahnya.
Sementara sanksi-sanksi itu telah menggerogoti kampanye Rusia. Negara-negara koalisinya mempertahankan hubungan ekonomi dengan Moskow. India dan Tiongkok misalnya yang meningkatkan pembelian minyak Rusia.
KTT G20 tentu akan menjadi pertemuan terbesar kedua blok yang bersinggungan tersebut sejak awal pandemi.
Pembicaraan akan diadakan di bawah bayang-bayang perpecahan atas krisis pangan dan energi yang diperburuk oleh konflik Ukraina, di atas inflasi yang melonjak dan perubahan iklim.