Sukses

FIFA Luncurkan Layanan Daring, Basmi Ujaran Kebencian Selama Piala Dunia Qatar 2022

FIFA meluncurkan sebuah layanan guna membasmi diskriminasi dan ujaran kebencian selama Piala Dunia Qatar 2022

Liputan6.com, Jakarta - Badan sepakbola dunia FIFA telah merilis sebuah layanan baru berbasis online untuk menindak tindakan diskriminasi dan ujaran kebencian selama Piala Dunia 2022 berlangsung.

Layanan online tersebut dinamakan The Social Media Protection Service yang berfungsi meminimalisir pemain tidak melihat pesan kasar dari orang asing di ponsel mereka setelah Piala Dunia Qatar 2022 selesai. 

FIFA siap memantau 1x24 jam akun media sosial milik seluruh peserta di Piala Dunia Qatar dengan memindai komentar kasar, diskriminatif, dan mengancam untuk kemudian melaporkannya ke otoritas hukum.

"FIFA berkomitmen untuk memberikan kondisi terbaik bagi para pemain untuk melakukan yang terbaik dari kemampuan mereka," kata Presiden FIFA Gianni Infantino dikutip dari Doha News pada Jumat (18/11).

"Di Piala Dunia FIFA Qatar 2022 kami dengan senang hati meluncurkan layanan yang akan membantu melindungi pemain dari efek merusak yang dapat ditimbulkan oleh postingan media sosial terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka," dia menambahkan.

Selanjutnya, tim, pemain, dan peserta lainnya akan dapat memilih untuk menggunakan layanan moderasi yang akan segera menghapus komentar yang menyinggung dan kasar dari Facebook, Instagram, dan YouTube sehingga baik para pemain maupun pengikut mereka tidak akan bisa melihatnya.

Namun anehnya, pihak Twitter tidak disebutkan dalam rilis berita FIFA yang memberikan rincian proyek, yang pertama kali diumumkan pada Juni lalu hingga dilakukannya bersama dengan serikat pemain FIFPRO.

2 dari 4 halaman

Willian Setuju Layanan Ini

Pemain internasional Brasil Willian Borges da Silva yang sekarang tidak masuk ke dalam skuad Brasil di Piala Dunia 2022, ia menunjukkan sikap mendukung penuh kampanye layanan media sosial proteksi itu setelah dia beserta keluarganya juga menerima diskriminasi online.

"Saya mendukung kampanye ini karena saya berada di Brasil setahun lalu, dan saya sangat menderita, dan keluarga saya sangat menderita karena orang-orang mulai menyerang kami di media sosial, menyerang keluarga saya," kata Willian.

Willian menambahkan "Itulah mengapa saya berdiri sekarang dengan FIFA untuk melihat apakah Anda dapat menghentikan hal-hal semacam ini yang terkadang membuat saya merasa sedih."

Selain Willian, muncul nama striker asal Spanyol Alvaro Morata juga menerima ancaman pembunuhan online setelah kehilangan kesempatan besar melawan Polandia selama Piala Euro 2020 pada tahun lalu.

3 dari 4 halaman

Presiden FIFPRO Ungkap Tugas Sepak Bola Adalah Melindungi Para Pemain dan Masyarakat Sekitar dari Pelecehan

"Tugas sepak bola adalah untuk melindungi para pemainnya dan masyarakat sekitar dari pelecehan dan diskriminasi yang semakin mereka alami di tempat kerja," kata Presiden FIFPRO David Aganzo.

Dia menambahkan bahwa pelecehan tersebut secara signifikan mempengaruhi kepribadian korban, keluarga, kinerja, kesejahteraan umum, dan kesehatan mental, dan sesuatu harus dilakukan untuk melindungi mereka.

“Kami berharap layanan perlindungan media sosial memberikan titik awal untuk membantu membela peserta dari pesan kasar dan bahwa perusahaan media sosial bergabung dan mendukung kami dalam menangani masalah di Piala Dunia FIFA,” ujarnya lagi.

4 dari 4 halaman

Laporan FIFA pada Juni Lalu

Lebih lanjut, FIFA dan FIFPRO merilis dua laporan independen pada bulan Juni yang tengah menyoroti meningkatnya volume pelecehan yang ditujukan kepada pemain sepak bola di media sosial selama kompetisi internasional.

Dengan meningkatnya perundungan maka FIFA meluncurkan layanan perlindungan media sosial berbasis daring.

Laporan tersebut menggunakan kecerdasan buatan untuk melacak lebih dari 400.000 unggahan di situs media sosial selama semifinal dan final Euro 2020, di mana pemain Inggris Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka menerima pelecehan setelah gagal mengeksekusi penalti penentu pertandingan penting.

Selain itu, final Piala Afrika tahun ini antara Mesir dan Senegal menemukan bahwa lebih dari separuh pemain yang terlibat menghadapi beberapa bentuk diskriminasi.

Menurut penelitian, 90% pemilik akun yang akuntabel dapat dilacak, dan akibatnya, perusahaan media sosial dan penegak hukum dapat mengambil tindakan terhadap mereka.

Sementara itu, 33 insiden Islamofobia dilaporkan selama Final AFCON.

Di final Euro 2020, 76% pelecehan adalah rasisme anti-kulit hitam. Khususnya, pelecehan rasis relatif rendah sebelum hukuman.