Liputan6.com, Jakarta - Pemenang untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 adalah Qatar! Itulah kata-kata Sepp Blatter, yang menjabat sebagai bos badan sepak bola dunia FIFA pada 2010, saat diumumkan bahwa acara olahraga terbesar di planet ini akan diselenggarakan di Timur Tengah untuk pertama kalinya.
Jadi bagaimana Qatar bisa mendapatkan hak untuk menjadi tuan rumah acara yang begitu gemerlap? Ini adalah pertanyaan yang membuat banyak orang bingung sejak dua belas tahun yang lalu.
Baca Juga
Dalam banyak hal, jawabannya tetap diselimuti misteri. Ada banyak bukti yang menunjukkan adanya korupsi dan kecurangan.
Advertisement
Inti dari berbagai kasus kontroversi ini adalah Sepp Blatter, seorang administrator sepak bola Swiss yang menjabat sebagai presiden FIFA selama 17 tahun sejak 1998. Sepp Blatter tidak pernah jauh dari kontroversi selama menjabat sebagai presiden FIFA.
Di samping Sepp Blatter ada legenda sepak bola Michel Platini. Ia dianggap sebagai salah satu pesepak bola terhebat yang pernah ada dan dengan 72 caps Prancis atas namanya. Platini adalah presiden badan sepak bola Eropa EUFA selama delapan tahun sejak 2007.
Ada banyak alasan yang menunjukkan bahwa Qatar yang luasnya hanya lebih dari 11.000 kilometer persegi dan memiliki populasi yang kira-kira seukuran Greater Manchester (sekitar 3 juta orang), seharusnya tidak pernah masuk dalam daftar kehormatan terbesar dalam sepak bola.
Seperti yang ditunjukkan Sepp Blatter, Qatar adalah negara terkecil yang pernah menjadi tuan rumah turnamen sepak bola terakbar dunia.
Ada juga kekhawatiran tentang panas ekstrem yang harus dihadapi para pemain. Kemudian, ketika turnamen dipindahkan ke musim dingin, hal itu menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya pada sepak bola domestik di negara-negara yang ikut serta.
Sementara itu, mengutip Metro.UK, Selasa (22/11/2022), konsorsium pesepak bola yang dipimpin oleh pemain internasional Norwegia, Morten Thorsby, memulai kampanye tingkat tinggi untuk meningkatkan kekhawatiran tentang dampak lingkungan dari turnamen tersebut.
Namun, sejauh ini kontroversi terbesar yang mengiringi acara tersebut dan keputusan awal untuk menyerahkannya kepada Qatar adalah mengenai catatan hak asasi manusia negara tersebut.
Masalah HAM, Salah Satunya Eksploitasi Imigran
Para pekerja migran di Qatar menghadapi kondisi yang mengerikan dan banyak yang meninggal saat membangun infrastruktur untuk turnamen itu sendiri. Qatar juga terkenal karena pembatasan kebebasan berekspresi dan diskriminasi yang sedang berlangsung terhadap perempuan dan orang-orang LGBTI.
Semua itu sudah diketahui oleh 22 anggota komite eksekutif FIFA yang memberikan suara untuk mendukung negara itu pada 2010.
Namun entah bagaimana mereka berhasil mendapatkan suara mayoritas di depan Australia, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Semua negara ini bisa dibilang jauh lebih cocok untuk menjadi tuan rumah turnamen yang sudah berusia 92 tahun ini.
Menurut Ceri Wynne, dosen senior di bidang Olahraga dan Latihan di Universitas Gloucestershire dan mantan pemain rugby profesional, semuanya bermuara pada masalah politik.
"Sudah terlalu lama, olahraga digunakan sebagai alat politik, dengan pemerintah melihatnya sebagai cara untuk memajukan kedudukan mereka di dunia. Itu kembali ke Olimpiade 1936 dan Hitler menggunakannya untuk propaganda," katanya kepada Metro.co.uk.
Pemerintah Qatar baru saja menyadari bahwa mereka dapat menggunakan olahraga sebagai cara untuk mendapatkan tempat di meja teratas dunia.
"Sayangnya, seluruh alasan mengapa pemungutan suara dilakukan oleh Qatar adalah karena politik dan korupsi dan tidak ada hubungannya dengan olahraga,” tambah Wynne.
Advertisement
Korupsi FIFA
Tuduhan korupsi mulai muncul bahkan sebelum pemungutan suara dilakukan. Pada November 2010, sebulan penuh sebelum pemungutan suara akhir, anggota komite FIFA Amos Adamu dan Reynald Temarii dikeluarkan dari pemungutan suara.
Keduanya diam-diam direkam oleh wartawan dari Sunday Times, dengan Adamu tampaknya setuju untuk menukar suaranya di Piala Dunia dengan uang tunai. Meskipun demikian, ia masih menyangkal melakukan kesalahan.
Temarii awalnya diberhentikan sementara karena mendiskusikan suara Piala Dunia dengan wartawan. Ia kemudian dibekukan dari sepak bola selama delapan tahun karena mengambil uang pialang kekuasaan Qatar, Mohamed bin Hammam. Uang tersebut dipakai untuk membayar biaya hukum, yang meningkatkan kekhawatiran tentang hubungan antara FIFA dan negara yang berpotensi menjadi tuan rumah.
Beberapa minggu kemudian, kekhawatiran semakin meningkat ketika Sunday Times menerbitkan klaim lebih lanjut, dengan mantan sekretaris jenderal FIFA Michel Zen-Ruffinen diduga direkam secara diam-diam sedang mengidentifikasi para pejabat yang menurutnya dapat disuap untuk membeli suara mereka.
Masalahnya adalah jelas terlihat, seperti yang dikatakan presiden FIFA Sepp Blatter, masalah endemik dalam hal korupsi dalam olahraga dan juga dalam politik.
Hingga pemungutan suara yang sebenarnya, ternyata tidak ada yang membuktikan bahwa Qatar mendapat keuntungan langsung dari dugaan korupsi di dalam FIFA. Jika suap dilakukan, itu dilakukan dengan hati-hati dan dengan sedikit atau tanpa jejak tertulis.
Kecurigaan itu tumbuh kuat di tahun-tahun menjelang acara tersebut, meskipun FIFA terus menyangkal adanya kesalahan dalam prosesnya.
Keputusan Jaksa
Dari 22 orang yang ikut serta dalam pemungutan suara, 17 orang diantaranya telah dilarang, dituduh, atau didakwa atas tuduhan yang terkait dengan Qatar 2022.
Contoh yang paling terkenal adalah Blatter sendiri, yang mengundurkan diri pada 2015 setelah FBI memulai penyelidikan dugaan korupsi di FIFA.
Dia, bersama dengan Michel Platini, melepaskan jabatan mereka setelah penyelidikan menyoroti dugaan penyuapan, penipuan, dan pencucian uang di FIFA.
Baik Blatter maupun Platini tidak terbukti menerima suap, jaksa AS menuduh tiga pejabat senior FIFA menerima suap untuk memilih Qatar. Dua orang telah meninggal dan yang ketiga, Ricardo Teixeira, tetap berada di Brasil sehingga tidak dapat didakwa ke AS.
Meskipun demikian, pada 2014, penyelidikan internal FIFA sendiri menyatakan Qatar bersih dari pelanggaran aturan dalam proses penawaran dan menyatakan negara itu layak menjadi tuan rumah 2022. Namun, banyak yang mempertanyakan netralitas penyelidikan itu.
Sementara itu, tahun lalu Platini dan Blatter dibebaskan dari tuduhan korupsi oleh pengadilan Swiss terkait pertukaran uang di antara keduanya.
Advertisement
Blatter Memperkeruh Suasana
Meski begitu, keraguan tidak hilang, bahkan Blatter sendiri semakin memperkeruh suasana dengan mengklaim bahwa pemungutan suara itu terkait dengan Qatar yang menyetujui kesepakatan senjata dengan Prancis.
Blatter mengatakan bahwa 'berkat empat suara Platini' Piala Dunia jatuh ke Qatar, bukan Amerika Serikat. Enam bulan kemudian Qatar membeli jet tempur dari Prancis seharga miliaran pound. Sejauh ini tidak ada tanggapan yang datang dari Platini atau pemerintah Prancis.
Tentu saja, ada banyak orang yang percaya bahwa semua ini tidak akan berpengaruh banyak setelah sepak bola yang sebenarnya dimulai.
Ceri Wynne berencana untuk memboikot Piala Dunia, meskipun tim Wales kesayangannya ikut serta.
“Saya muak dengan olahraga yang digunakan sebagai alat politik. Kita telah kehilangan pandangan akan nilai nyata dan manfaatnya bagi masyarakat,” kata Wynne.