Liputan6.com, Jakarta- Perang antara Rusia-Ukraina, China-Taiwan, hingga Korea Utara-Korea Selatan yang terjadi kini menyiratkan bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Peristiwa tersebut merupakan indikasi akan akhir dari dunia. Meskipun menurut sejarah, planet ini telah mengalami beberapa kepunahan selama 4,5 miliar tahun.Â
Dari peristiwa kepunahan Ordovician-Silurian 440 juta tahun yang lalu hingga kepunahan Cretaceous-Tertiary yang membunuh dinosaurus 65 juta tahun yang lalu, bumi telah mengalami lima kali kepunahan massal ketika lebih dari 75 persen spesies di planet ini musnah.Â
Baca Juga
Kesamaan dari hampir semua peristiwa kepunahan tersebut adalah perubahan iklim yang parah dalam skala waktu yang cepat secara geologis, melansir Fox, Senin (5/12/2022).Â
Advertisement
Selama peristiwa Permian Akhir 251 juta tahun yang lalu letusan gunung berapi kolosal di dekat tempat yang sekarang menjadi Siberia yang meledakkan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar ke atmosfer. Dari peristiwa Permian, diperkirakan 96 persen spesies di bumi punah.
Hal ini menyebabkan lonjakan suhu global dan gangguan iklim yang tidak dapat diatasi oleh sebagian besar spesies. Berbicara tentang kepunahan, kita patut mengkhawatirkan perubahan iklim yang terjadi tiba-tiba dan sangat cepat. Namun, yang lebih menakutkan adalah perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia akan menyebabkan penderitaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kendati demikian, penelitian terbaru menunjukkan, ada hal lain yang dapat terjadi yaitu fenomena perang nuklir. Salah satu senjata paling mematikan di dunia yang kini sering kali kita lihat diuji coba oleh Korea Utara.Â
Perubahan Iklim yang Belum Pernah Terjadi Sebelumya
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Agustus 2022 lalu melalui jurnal Nature Food, para peneliti yang dipimpin oleh Lili Xia dan Alan Robock di Rutgers University memodelkan dampak iklim dari perang nuklir, lalu mencoba mengukur efeknya pada produksi pangan global.
Hasilnya mengerikan. Perang nuklir besar-besaran antara AS dan Rusia dengan jumlah hulu ledak mereka saat ini dapat menyebabkan sebanyak 150 juta ton jelaga yang diinjeksikan ke atmosfer, karena kebakaran besar-besaran yang dipicu oleh ledakan.
Semua jelaga itu dengan cepat akan menyebar ke seluruh dunia dan menghalangi sinar matahari yang masuk, membuat planet ini tertutupi oleh awan dan menyebabkan penurunan suhu global yang drastis.Â
Dalam cuaca dingin dan gelap, tanaman akan layu dan mati, begitu pula ternak yang mengandalkannya. Alhasil, para peneliti memproyeksikan bahwa ketersediaan pangan global bisa turun sebanyak 90 persen, menyebabkan sekitar 5 miliar orang meninggal karena kelaparan pada fenomena yang dikenal sebagai nuclear winter.
"Ini menghasilkan perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia," kata Robock.Â
"Dalam perang nuklir AS-Rusia, lebih banyak orang akan mati karena kelaparan dari India dan Pakistan dibandingkan dengan negara-negara yang benar-benar berperang," tambah Robock.
Â
Advertisement
Produksi dan Konsumsi Pangan Meningkat
Kebakaran dari perang semacam itu dapat melepaskan sebanyak 47 juta ton jelaga ke atmosfer, dengan skenario terburuk yang menyebabkan produksi pangan global turun sebanyak 50 persen dan menyebabkan 2 miliar orang meninggal di seluruh dunia.
Studi baru ini menggunakan teknologi komputasi terbaru dalam model-model iklim terbaru, dengan hanya memperkirakan apa yang akan menyebabkan penurunan suhu yang cepat dan bukan pemanasan jangka panjang
"Kami dapat menghitung berapa banyak makanan yang akan tersedia untuk setiap negara," kata Robock.
Tetapi kita tahu dari masa lalu bahwa kita kemungkinan akan melihat penurunan suhu yang signifikan jika terjadi badai api nuklir. Letusan gunung berapi besar-besaran di Gunung Tambora di Indonesia pada 1815 misalnya.
Itu merupakan salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah manusia yang menyebabkan penurunan suhu yang sangat ekstrem sehingga tahun berikutnya dikenal sebagai "tahun tanpa musim panas," karena kegagalan panen dan kelaparan menyebabkan kelaparan global.
Baru-baru ini, letusan Gunung Pinatubo pada 1991 di Filipina menyuntikkan 15 juta ton sulfur dioksida ke atmosfer, menyebabkan penurunan sementara suhu global rata-rata 0,5 derajat Celcius.
Senjata Nuklir
Penelitian Nature Food adalah penelitian terbaru dalam serangkaian penelitian yang telah berjalan untuk mempelajari kemungkinan nuclear winter. Meskipun para ilmuwan khawatir tentang efek perang nuklir terhadap iklim sejak awal Perang Dingin, istilah ini pertama kali dimunculkan dalam penelitian yang diterbitkan pada 1983 oleh tim peneliti termasuk ilmuwan selebriti Carl Sagan.
Bahkan sebelum penelitian itu keluar, Sagan menerbitkan sebuah artikel di majalah populer Parade yang mengangkat ancaman dari nuclear winter. Penelitian nuclear winter yang asli memiliki pengaruh politik yang sangat besar dan sangat kontroversial, seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Jill Lepore dalam sebuah artikel tahun 2017 di New Yorker.Â
Dalam beberapa tahun setelah publikasi studi asli, jumlah hulu ledak nuklir di dunia mulai menurun, dari lebih dari 60.000 menjadi sekitar 10.000 hari ini dan, dengan itu, ketakutan akan perang nuklir.
Namun kini, lebih banyak negara yang memiliki senjata nuklir daripada selama Perang Dingin. Perjanjian pengendalian senjata internasional mulai runtuh, bahkan ketika filantropi mundur dari dunia nuklir.
Para delegasi telah bertemu bulan ini di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York untuk Konferensi Peninjauan Perjanjian Non-Proliferasi, landasan rezim pengendalian senjata nuklir, tetapi sedikit kemajuan yang terlihat bahkan ketika pembelanjaan militer global mencapai rekor tertinggi dan ketegangan internasional semakin meningkat.
Awal November lalu, Future of Life Institute, sebuah lembaga yang melakukan riset yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, tentang risiko bencana, memberikan penghargaan tahunannya kepada para ilmuwan di balik teori nuclear winter asli dan memperingatkan bahwa ancaman ini belum berlalu.
"Di masa-masa yang penuh gejolak ini, semakin banyak pengambil keputusan memahami tentang musim dingin, semakin kecil kemungkinan mereka membuat keputusan sembrono yang dapat menyebabkannya," ujarnya.Â
Advertisement