Liputan6.com, Jakarta - Sebuah video yang memperlihatkan kekerasan pada anak di bawah umur viral di media sosial. Pelaku disebut-sebut adalah mantan petinggi OVO. Video viral tersebut telah diposting di banyak akun sosial media di antaranya Twitter dan Instagram.
Dilihat dari akun Instagram @viralsekali, postingan tersebut menuliskan bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan suami, istri, dan anak. Laporan kekerasan tersebut telah disampaikan ke pihak Polsek Jakarta Selatan namun tak kunjung mendapatkan balasan.
Baca Juga
Berdasarkan video yang beredar, pelaku diduga seorang ayah melakukan pemukulan terhadap anaknya sendiri. Video tersebut merupakan cuplikan dari beberapa video lainnya.
Advertisement
Kemudian, Sang istri dan anaknya yang merupakan korban meminta bantuan warganet untuk membantu keadilan kasus yang diduga perselingkuhan sang suami dengan baby sitter agar dijerat oleh hukum yang berlaku mengenai KDRT.
Dalam video yang diunggah akun @ikeyyuuuu, sang anak membantu ibunya untuk berbicara di depan public agar mereka mendapatkan keadilan di Polsek Jakarta Selatan. Sang ibu sudah melayangkan laporan kepada kepolisian Jakarta Selatan dan berharap mendapatkan keadilan dalam kasus KDRT tersebut.
Dalam kasus ini, OVO yang merupakan tempat Rajen Indrajana Sofiandi (pelaku) pernah bekerja ikut turun tangan menanggapi kasus KDRT tersebut di akun Twitter resminya @ovo_id dengan tweet sebagai berikut:
— OVO (@ovo_id) December 20, 2022
4 Dampak pada Anak Ketika Ibu jadi Korban KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal, dikutip dari situs Komnas Perempuan pada Sabtu (15/10). Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal.
Dalam hubungan relasi personal ini pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban. Misalnya, tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.
Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
Bagi pasangan suami istri yang telah dikaruniai anak, tentunya dampak KDRT ini akan memengaruhi sang buah hati. Melansir situs Province of Manitoba, Sabtu (15/10/2022), anak-anak yang terpapar oleh tontonan, suara, dan stres akibat kekerasan dalam rumah tangga berpengaruh pada setiap usia dan tahap perkembangannya.
Mereka memiliki risiko yang lebih besar untuk masalah emosional, perilaku, sosial dan psikologis. Anak-anak dapat terpengaruh seolah-olah mereka sendiri yang secara langsung dilecehkan, dan efeknya bisa bertahan lama.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dimulai atau meningkat ketika wanita hamil atau disebut juga pada tahap prenatal.
Wanita hamil mungkin merasa lebih bergantung pada pasangannya untuk bantuan emosional dan finansial selama kehamilan.
Pasangan yang kasar dapat menggunakan ketergantungan ini untuk mendapatkan kontrol lebih lanjut dalam hubungan.
Mereka mungkin cemburu tentang kehamilan dan mungkin menggunakan kekerasan untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi.
Kekerasan fisik dapat menyebabkan wanita melahirkan lebih awal atau mengalami keguguran. Kekerasan juga dapat menyebabkan stres, yang dapat memengaruhi kebiasaan makan dan perilaku koping perempuan misalnya merokok atau penyalahgunaan zat.
Ini dapat memengaruhi berat badan bayi atau menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome.
Akibatnya, anak mungkin terpengaruh oleh kekerasan dalam rumah tangga bahkan sebelum mereka lahir.
Advertisement
Tumbuh di Lingkungan KDRT, Anak Berpotensi Jadi Pelaku dan Korban
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi sorotan masyarakat beberapa pekan terakhir. Hal tersebut salah satunya disebabkan ramainya pemberitaan mengenai prahara rumah tangga Lesti Kejora dan Rizky Billar.
Kasus KDRT memang sering kali dialami oleh para pasangan suami istri hingga muda-mudi yang sedang menjalin hubungan pacaran. Bahkan, KDRT merupakan salah satu penyebab kasus perceraian di Indonesia.
Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyatakan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami KDRT berpotensi menjadi pelaku ataupun korban. Menurut Nirmala anak kemungkinan secara tidak sadar akrab dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang
Lalu, hal itu juga berdampak pada rendahnya toleransi tentang kekerasan pada anak. Sehingga jika diterjemahkan kata Nirmala, sang anak tidak memiliki jalan kelar dari penyimpangan yang terjadi.
“Memang tidak satu garis lurus ya bahwa kita mengalami kita pasti akan menjadi korban atau pelaku. Tapi potensinya kita menjadi pelaku atau korban jika kita tumbuh di keluarga yang berkekerasan itu menjadi lebih besar, kenapa karena itu familiar sama kita, kita tahunya itu normal-normal aja,” kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia itu menyatakan jika dampak KDRT aangaat aanjaag dan Lisa terjadi secara turun temurun dan harus segera untuk diputus rantai kekerasan tersebut. “Karena kalau tidak, yang seperti aku tadi bilang, KDRT kan enggak juga suami istri tapi bisa turun juga ke anak-anak kita, entah anak kita melihat, anak kita mengalami baik dari korbannya atau dari pelaku. Apalagi dari korban ya karena mengalami dan enggak punya cara lain ya jadi anaknya yang kena,” papar dia.
Karena hal itu, Nirmala meminta para korban KDRT dapat segera mencari bantuan. Mulai dari keluarga terdekat, teman, komunitas, hingga konselor yang paham mengenai KDRT.
Anak yang Lahir dari Ibu Korban KDRT Berisiko Memiliki IQ Rendah
Anak dari wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada saat kehamilan, atau anak yang selama 6 tahun mengalami kekerasan 50 persen lebih mungkin memiliki IQ rendah saat berusia 8 tahun.
Tim studi yang dipimpin oleh Kathryn Abel dari University of Manchester menunjukkan kemungkinan IQ yang rendah dapat naik menjadi 34,6 persen jika sang ibu berulang kali terkena kekerasan dalam rumah tangga.
Studi ini meneliti hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga (yang disebut Intimate Partner Violence (IPV)), dengan kecerdasan anak pada usia 8 tahun, pada 3.997 anak dari Universitas Bristol Avon Longitudinal Study of Parents and Children.
Studi ini didanai oleh Wellcome Trust dan Medical Research Council, dan diterbitkan dalam Wellcome Open Research.
Universitas Bristol Avon Longitudinal Study of Parents and Children mengukur kekerasan rumah tangga emosional dan fisik saat anak masih berada dalam kandungan, hingga berusia 8 tahun. Setelah itu, kecerdasan anak diukur saat menggunakan tes IQ standar Weschler.
"Kita sudah tahu bahwa 1 dari 4 wanita berusia 16 tahun ke atas di Inggris dan Wales akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga di masa hidup mereka, dan anak-anak mereka memiliki berisiko lebih besar mengalami masalah fisik, sosial, dan perilaku," kata Abel.
Advertisement