Sukses

Kisah Sedih Kelulusan Siswa Terakhir: Resesi Seks di Jepang Sebabkan Banyak Sekolah yang Ditutup

Resesi seks di Jepang menyebabkan angka kelahiran yang turun drastis sehingga banyak sekolah yang tutup

Liputan6.com, Jakarta Saat Eita Sato dan Aoi Hoshi berjalan menuju upacara kelulusan sekolah menengah pertama mereka, langkah kaki mereka bergema di aula yang pernah ramai dan ribut dengan siswa.

Keduanya adalah satu-satunya lulusan SMP Yumoto di bagian pegunungan Jepang utara - dan yang terakhir. Sekolah berusia 76 tahun itu akan menutup pintunya untuk selamanya ketika tahun ajaran berakhir pada hari Jumat, (31/3/2023).

"Kami mendengar desas-desus tentang sekolah tutup di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut," kata Eita yang berusia 15 tahun, sepantaran dengan Aoi seperti dilansir dari bdnews24.

Karena angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan, penutupan sekolah meningkat terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, daerah ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima. Ini juga memberikan pukulan lebih lanjut ke daerah yang sudah berjuang dengan depopulasi.

Angka kelahiran yang jatuh adalah masalah regional Asia, dengan biaya membesarkan anak yang mahal berefek pada angka kelahiran yang turun di negara tetangga Korea Selatan dan China. Tetapi situasi di Jepang sangat kritis.

Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan "langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya" untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak, dan mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Tapi itu tidak membawa begitu banyak perubahan terhadap angka kelahiran rendah tersebut.

 

2 dari 4 halaman

Anjloknya angka kelahiran

Angka kelahiran anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022. Menurut perkiraan pemerintah, ini merupakan rekor terendah baru,  dan delapan tahun lebih awal dari yang diharapkan. Faktanya, ini memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil yang seringkali menjadi jantung bagi kota pinggiran dan pedesaan.

Sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun, menurut data pemerintah. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda.

“Saya khawatir orang-orang tidak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah untuk memulai sebuah keluarga jika tidak ada sekolah menengah pertama,” kata Masumi, ibu Eita, juga lulusan Yumoto.

Ten-ei, sebuah desa berpenduduk kurang dari 5.000 dengan hanya sekitar 10% di bawah usia 18 tahun, berada di daerah pedesaan yang tenang yang dikenal dengan beras dan sakenya. Area Yumoto memiliki penginapan mata air panas di pegunungan dan dipenuhi dengan toko persewaan alat ski dan tempat perkemahan. Ada juga tanda "waspadalah terhadap beruang".

Desa ini pada puncaknya pada tahun 1950 memiliki lebih dari 10.000 penduduk, didukung oleh pertanian dan manufaktur. Tetapi ketidaknyamanan dan keterpencilan daerah yang semakin meningkat mendorong penduduk untuk pergi.

Depopulasi bertambah cepat setelah bencana 11 Maret 2011 di pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi yang berjarak kurang dari 100 km (62 mil), dengan Ten-ei menderita beberapa kontaminasi radioaktif yang telah dibersihkan.

 

3 dari 4 halaman

Siswa yang makin sedikit di daerah terpencil

Sekolah Yumoto, sebuah bangunan dua lantai yang terletak di pusat distrik, memiliki sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an.

Foto-foto setiap kelulusan tergantung di dekat pintu masuk, dari hitam putih menjadi berwarna - dengan jumlah siswa yang terlihat dan tiba-tiba menurun dari sekitar tahun 2000. Kemudian, tidak ada gambar lulusan sekolah dari tahun lalu.

Eita dan Aoi, bersama-sama sejak usia tiga tahun, berada di kelas lima orang sampai sekolah dasar tetapi hanya dua yang melanjutkan di Yumoto.

Meja mereka duduk berdampingan di tengah ruang kelas yang dirancang untuk 20 orang, dan selama tahun pertama mereka "banyak bertengkar", kata Eita.

Tapi ketegangan mereda dan mereka beradaptasi, mencoba mensimulasikan pengalaman sekolah normal. Untuk aktivitas klub setelah sekolah yang merupakan bagian penting dari sekolah Jepang, mereka memilih olahraga berpasangan, terutama tenis meja.

Pada hari kelulusan, para guru menyematkan korsase pada lulusan, padahal ini biasanya pekerjaan untuk siswa yang lebih muda.

"Masyarakat sangat kecewa karena tidak ada lagi sumber budaya," kata kepala sekolah Mikio Watanabe tentang keputusan penutupan, setelah berkonsultasi dengan warga desa. "Tempat itu akan lebih tenang tanpa suara anak-anak."

 

4 dari 4 halaman

Penutupan sekolah dapat berdampak pada kesenjangan sosial

Para ahli memperingatkan bahwa penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional dan membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar.

"Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan," kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.

Ten-ei akan membahas penggunaan kembali gedung sekolah. Di bagian lain Jepang, sekolah yang ditutup telah menjadi kilang anggur atau museum seni.

Aoi, yang bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak di kampung halamannya, akan bersekolah di sekolah yang berbeda dari Eita mulai bulan April.

"Saya tidak tahu apakah akan ada anak-anak di desa saat saya menjadi guru," kata Aoi. "Tapi jika ada, aku ingin kembali."