Sukses

Ragam Pendapat Ulama soal Hukum Itikaf di Rumah Selama Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Bagaimana hukum melakukan i'tikaf di rumah pada bulan Ramadhan? Ulama memiliki pendapat yang berbeda terkait hal ini.

Liputan6.com, Jakarta - I’tikaf merupakan salah satu ibadah yang dapat dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

I’tikaf merupakan ibadah yang mulia karena sudah ada sejak umat terdahulu. Ragam ulama berbeda pendapat perihal hukum i’tikaf. Namun, secara umum ulama berpandangan bahwa ibadah i’tikaf di bulan Ramadhan dianjurkan untuk dikerjakan, terutama pada sepuluh malam terakhir.

Rasulullah SAW sangat sering melaksanakan i’tikaf, dalam sebuah hadist dijelaskan:

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Artinya,

“Rasulullah melaksanakan i’tikaf pada sepuluh (malam) terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau wafat, lalu (dilanjutkan) istri-istrinya yang i’tikaf sepeninggalnya.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadist di atas, pelaksanakan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah hal yang sangat dianjurkan, terutama pada saat malam hari, sebab pada  salah satu dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sangat dimungkinkan bertepatan dengan turunnya Lailatul Qadar, sehingga melaksanakan i’tikaf pada malam-malam tersebut sangatlah dianjurkan.

Namun, terkadang ada kondisi di mana dalam melaksanakan i’tikaf tidak bisa dilakukan di masjid, seperti sedang sakit atau masih berada di tengah pandemi. Dalam hal ini, ragam pendapat ulama soal hukum i’tikaf di rumah, beberapa ulama menyarankan untuk i’tikaf di ruangan yang dikhususkan untuk sholat yang terdapat di rumah, atau yang biasa disebut dengan istilah masjid al-bait (masjid rumah).

Bagaimana hukum i’tikaf di rumah selama sepuluh hari terakhir Ramadhan menurut ulama? Dilansir dari laman NU Online, berikut penjelasan hukumnya, dan hal-hal yang disunnahkan saat i’tikaf. 

2 dari 4 halaman

Hukum Ibadah I’tikaf

Terdapat perbedaan pendapat perihal hukum ibadah i’tikaf. Meski demikian, secara umum ulama berpendapat bahwa ibadah i’tikaf dianjurkan untuk dilaksananakan. Ulama dari mazhab syafi’i berpendapat:

قوله والاعتكاف سنة مؤكدة وهي (مستحبة) أي مطلوبة في كل وقت في رمضان وغيره بالإجماع

Artinya,

“I’tikaf merupakan ibadah sunnah muakkadah, suatu ibadah yang dianjurkan setiap waktu baik pada bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan berdasarkan ijma’ ulama,” (As-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna fi Halli Alfazhi Abi Syuja)

Sedangkan mazhab maliki berpendapat bahwa i’tikaf merupakan bentuk taqarub dan merupakan salah satu kebaikan tambahan yang dianjurkan dan disukai oleh syariat bagi laki-laki dan perempuan, terlebih pada 10 hari terakhir Ramadhan. I’tikaf menjadi wajib bila dinazarkan.

Bagi mazhab hanafi, i’tikaf terdiri atas tiga hukum, yaitu wajib, sunnah muakkadah, dan anjuran atau mustahabb. I’tikaf menjadi wajib ketika dinazarkan dari ucapan seseorang. Bagi mazhab hanafi, puasa menjadi syarat sah i’tikaf yang dinazarkan. Sementara i’tikaf sunnah tidak disyaratkan pelaksanaannya dalam kondisi puasa. I’tikaf nazar minimal berdurasi sehari semalam. Dengan demikian, jika seseorang bernazar I’tikaf semalaman saja, maka itu tidak sah.

3 dari 4 halaman

Hal-hal yang Disunnahkan saat I’tikaf

Imam as-Syafi’I menjelaskan tentang kesunnahan saat melaksanakan i’tikaf yaitu,

  1. Menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berdzikir, membaca Alquran dan diskusi keilmuan. Sebab melaksanakan hal-hal ini akan menuntun terhadap maksud dari pelaksanaan i’tikaf.
  2. Berpuasa. Sesungguhnya i’tikaf dalam keadaan berpuasa itu lebih utama dan, kuat dalam memecah syahwat hawa nafsu, dapat memfokuskan pikiran dan menyucikan hati.
  3. Melaksanakan i’tikaf di masjid jami’, yakni masjid yang didirikan shalat Jumat.
  4. Tidak berbicara kecuali perkataan yang baik. Ia tidak diperkenankan untuk mengumpat, menggunjing, adu domba, dan perkataan yang tidak ada gunanya.
4 dari 4 halaman

Bagaimana Hukum I’tikaf di Rumah?

Melaksanakan ibadah i’tikaf di ruangan dalam rumah yang dikhususkan untuk sholat hukumnya boleh dan sah dilakukan bagi perempuan menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i. Sedangkan bagi laki-laki juga sah dan diperbolehkan menurut pandangan sebagian ulama mazhab Syafi’i.

Pandangan bolehnya i’tikaf di ruangan shalat yang terdapat di rumah baik bagi laki-laki dan perempuan rupanya juga diusung oleh sebagian ulama mazhab Maliki. Berikut keterangan mengenai hal ini:  

وقال أبو حنيفة: يصح اعتكاف المرأة في مسجد بيتها وهو الموضع المهيأ من بيتها لصلاتها، قال: ولا يجوز للرجل في مسجد بيته، وكمذهب أبي حنيفة قول قديم للشافعي ضعيف عند أصحابه، وجوزه بعض أصحاب مالك وبعض أصحاب الشافعي للمرأة والرجل في مسجد بيتهما

Artinya,

“Imam Abu Hanifah berkata: ‘Sah bagi wanita untuk beri’tikaf di masjid rumahnya, maksudnya adalah ruangan di rumahnya yang diperuntukkan untuk shalat, dan tidak boleh bagi laki-laki untuk i’tikaf di masjid rumahnya. Senada dengan Abu Hanifah yakni Qaul Qadim Imam as-Syafi’i, meskipun dianggap pendapat yang lemah menurut para ashab. Sebagian ulama mazhab maliki dan ulama mazhab syafi’i memperbolehkan beri’tikaf di masjid rumah bagi laki-laki dan perempuan” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, juz 3, Hal. 3)

Melaksanakan i’tikaf di ruangan khusus untuk sholat yang terdapat di rumah merupakan persoalan khilafiyah (ada ragam pendapat). Namun dianjurkan untuk melaksanakan i’tikaf di masjid sebagaimana pandangan mayoritas ulama Mazhab Empat (Madzahib al-Arba’ah), agar ibadah dapat lebih sempurna dan mendapatkan fadilah yang berhubungan dengan tempat ibadah.