Sukses

Fenomena Doomscrolling: Mengapa Banyak Orang Melakukannya?

Hal ini berawal dari banyaknya pengguna media sosial yang ingin mengakses berita terbaru, khususnya berita negatif. Kemudian, kecenderungan membaca berita negatif tersebut membuat para pengguna semakin penasaran dengan berita yang dibaca.

Liputan6.com, Jakarta Fenomena doomscrolling masih menjadi pembahasan hangat sampai hari ini. Beberapa orang mungkin sudah pernah mengenal istilah doomscrolling di awal masa pandemi, tapi beberapa ada juga yang belum tahu. 

Dilansir dari BBC Learning English, doomscrolling merupakan kecenderungan dimana seseorang terus menerus menelusuri berita yang menimbulkan perasaan sedih, seperti berita yang menyedihkan atau mengundang rasa kekecewaan. Kebiasaan itu pun pada akhirnya menjadi fakta sosial dalam kehidupan masyarakat, hingga membentuk perubahan-perubahan sosial alias fenomena. Kini, tanpa disadari semakin banyak orang yang menghabiskan banyak waktu ‘scrolling’ di internet, hanya untuk menelusuri berita negatif.

Istilah doomscrolling berasal dari bahasa Inggris, doom artinya malapetaka atau musibah, dan scrolling artinya bergulir (aktivitas scrolling terus-menerus). Sementara itu, penelitian dari Universitas Florida mengungkapkan bahwa istilah doomscrolling tercetus pertama kali di aplikasi Twitter pada 2018, dan semakin populer pada 2020 ketika kasus pandemi COVID-19 memuncak. 

Hal ini berawal dari banyaknya pengguna media sosial yang ingin mengakses berita terbaru, khususnya berita negatif. Kemudian, kecenderungan membaca berita negatif tersebut membuat para pengguna semakin penasaran dengan berita yang dibaca.

2 dari 5 halaman

Siapa yang Sering Mengalami?

Sebenarnya siapa pun dapat melakukan doomscrolling karena menghabiskan terlalu banyak waktu, hingga akhirnya terjebak dalam berita negatif yang dilihat melalui sosial media. Lebih lanjut studi Universitas Florida mengungkap bahwa pria dan remaja lebih cenderung melakukan ‘doomscrolling’ dibandingkan wanita.

Sementara itu, dilansir dari alodokter, kebiasaan doomscrolling lebih berisiko dialami oleh seseorang yang mengalami gangguan mental tertentu, diantaranya seperti gangguan kecemasan, gangguan panik, PTSD, OCD, dan fobia sosial.

3 dari 5 halaman

Pemicu Kecenderungan Dooomscrolling

Studi yang dilakukan Universitas Florida tersebut juga menemukan bahwa doomscrolling dapat dikaitkan dengan rasa takut ketinggalan informasi dan selalu ingin terhubung secara online dengan handphone.

Namun, hal ini juga dapat dilihat dari fenomena sosial yang mendukung kecenderungan doomscrolling ini. Serta, mendukung berbagai individu untuk selalu update dengan berita terbaru.

Peneliti Johnson dari Universitas Florida mengatakan bahwa kebiasaan doomscrolling bisa jadi dipicu karena banyaknya momen ‘doom’ beberapa tahun belakangan. Mulai dari pandemi, kasus politik dan peperangan, hingga kebakaran di berbagai belahan dunia.

4 dari 5 halaman

Hubungan Antara Doomscrolling dengan Kesehatan Mental

Menilik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Universitas Florida, masih belum jelas apakah doomscrolling menjadi penyebab kecemasan atau justru sebaliknya; kecemasan, dapat meningkatkan kepanikan dan kekhawatiran. 

Pemikiran negatif dan kecemasan itulah yang pada akhirnya mengakibatkan rasa tertekan, stres, terisolasi, kesepian, hingga paranoid pada orang yang sering melakukan doomscrolling. Selain itu, doomscrooling juga dapat menyebabkan seseorang menjadi mudah tersinggung, kurang produktif, konsentrasi yang memburuk. Tentunya hal tersebut dapat mengganggu aktivitas sehari-hari hingga berujung pada kelelahan mental yang mengganggu kesejahteraan kualitas hidup. 

5 dari 5 halaman

Tips Hentikan Kebiasaan Doomscrooling

Faktanya, ketika berselancar di dunia maya seperti media sosial memang mendapatkan banyak informasi. Namun, tidak semua informasi yang dihadirkan tersebut dapat ditelisik kebenarannya. 

Nah pertanyaannya sekarang, bagaimana cara menghentikan kebiasaan doomscrooling agar tidak merusak kesehatan mental? Hal utama yang dapat dilakukan dengan skip atau melewati berita yang dinilai mengandung konten negatif. 

Kemudian, kamu juga dapat membuat pengaturan di akun media sosial terkait berapa lama pengonsumsian waktu ketika scrooling. Selanjutnya, ubah fokus perhatian ke aktivitas yang lebih bermanfaat, dibandingkan terus-menerus scrooling media sosial, seperti berolahraga, mendengarkan musik, atau membaca buku. 

 

 

(*)