Liputan6.com, Jakarta - Hubungan antarmanusia bisa menjadi rumit sehingga seringkali tanpa disadari manusia menjadi korban stereotip tentang bagaimana seharusnya suatu hubungan berjalan. Meskipun ekspektasi ini sudah menjadi hal yang normal dalam masyarakat, terkadang ekspektasi tersebut dapat berkontribusi pada perilaku yang tidak membantu atau berbahaya.
Seperti stereotip lainnya, pengaruh masyarakat dan budaya seringkali memainkan peran penting dalam pembentukan dan pemeliharaan perilaku yang mungkin akan menimbulkan masalah. Misalnya, peran gender yang memperkuat dinamika kekuasaan dalam hubungan sehingga menunjukkan bahwa perempuan lebih patuh sedangkan laki-laki lebih dominan dan suka mengontrol.
Baca Juga
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan melakukan tiga perempat pekerjaan yang tidak berbayar di dunia. Label domestik yang tidak dibayar dan seringkali tidak diakui ini dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan kualitas hidup.
Advertisement
Meskipun norma budaya sangat memengaruhi stereotip hubungan, pengalaman masa kecil kamu juga memainkan peran penting dalam membentuk keyakinan dan sikap kamu tentang bagaimana seharusnya hubungan berjalan. Perilaku dan sikap yang kamu amati selama bertahun-tahun akan membantu membentuk ekspektasi dan asumsi kamu sebagai orang dewasa. Perilaku seperti itu akan dicontohkan, dipelajari, dan dinormalisasi dalam konteks keluargamu sehingga menciptakan siklus yang memengaruhi hubungan selanjutnya.
terkadang, stereotip hubungan dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis sehingga mempersulit individu dan pasangan untuk membentuk koneksi yang sehat dan bahagia. Seringkali pasangan merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan peran tertentu, meskipun peran tersebut tidak membuat mereka nyaman. Lantas, apa saja stereotip umum dalam hubungan yang sudah dinormalisasi oleh masyarakat? Berikut ulasannya, seperti yang dilansir dari halaman Verywell Mind pada Senin (13/11/23).
1. Hubungan Heteroseksual adalah Norma
Gagasan bahwa hubungan heteroseksual adalah norma atau cita-cita merupakan hal yang tidak akurat dan berbahaya. Meskipun sudah mengakar kuat, stereotip ini dapat menyebabkan individu merasa bahwa hubungan mereka kurang valid. Hal ini juga akan menyebabkan masalah kesehatan mental, masalah hubungan, dan adanya pengucilan sosial. Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan beberapa individu merasa bahwa mereka harus sesuai dengan norma.
Salah satu contoh hubungan yang heteroseksual adalah hubungan putus-nyambung. Hubungan tersebut seringkali dijadikan mitologi dalam budaya populer. Gagasan bahwa orang-orng terus kembali ke orang yang sama berkali-kali, meskipun ada hambatan yang mereka hadapi, bisa tampak menarik sekaligus penuh gairah. Faktanya, hubungan seperti itu seringkali digambarkan sebagai hubungan emosional yang mendalam dan intens.
Menurut Anabel Basulto, LMFT, seorang terapis pernikahan dan keluarga, hubungan seperti itu terkadang terjadi karena orang yakin bahwa mereka pada akhirnya dapat mengubah pasangannya. Namun, hubungan seperti itu bisa menjadi toxic bila kebutuhan kamu tidak terpenuhi. Pola hubungan tersebut berubah dari putus hingga berbaikan dan itu tidak pernah mengarah pada perasaan puas dalam hubungan. kegembiraan karena percata bahwa saat ini akan lebih baik menyebabkan peningkatan endorfin yang menipu otak kamu untuk percaya bahwa pola toxic ini baik.
Advertisement
2. Mengontrol Perilaku Pasangan Berarti Cinta
Gagasan bahwa kendali adalah tanda cinta merupakan stereotip berbahaya yang dapat mendorong dinamika hubungan yang tidak sehat dan berbahaya. Stereotip ini membingungkan karena hanya untuk suatu kepentingan. Perlu kamu ketahui bahwa membiarkan orang lain mengendalikan perilaku dan cara berpikir kamu dapat berdampak besar pada rasa percaya diri dan harga dirimu. Mengontrol perilaku juga dapat membuat seseorang berisiko mengalami kecemasan dan depresi.
Perilaku mengendalikan ini dapat berkisar dari selalu ingin mengetahui lokasi pasangan, mencoba mendikte apa yang mereka kenakan atau mengisolasi pasangan. Hal ini melemahkan privasi orang lain dan dapat meningkat menjadi perilaku kasar, termasuk pelecehan verbal, emosional, atau fisik.
Kenyataannya adalah hubungan yang sehat dibangun atas dasar kepercayan, saling ketergantungan, dan saling memiliki. Cinta sejati tidak akan berusaha mengandalikan orang lain. Cinta sejati merupakan sumber kenyamanan, kekuatan, dukungan, dan dorongan. Hal ini bertujuan membantu setiap orang menjadi diri mereka dengan versi yang terbaik, bukan untuk membatasi apa dapat mereka dilakukan.
3. Perempuan Seharusnya Menjadi Pengasuh bagi Keluarganya
Stereotip gender tradisional ini juga menunjukkan bahwa perempuan adalah pengasuh utama dalam suatu hubungan. Hal ini tidak hanya berlaku pada anak-anak, tetapi juga pada pasangannya. Oleh karena itu, perempuan seringkali ditugasi melakukan semua pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan.
Ketika perempuan memikul beban mengurus semua anggota keluarga, mereka cenderung merasa jenuh dan kelelahan secara fisik maupun emosional. Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pengasuh itu tidak terlihat sehingga perempuan seringkali merasa tidak dihargai oleh anggota keluarganya, terutama pasangannya.
Stereotip yang tidak adil ini membebani perempuan dan meremehkan kemampuan laki-laki untuk berpartisipasi secara setara sebagai pengasuh dalam keluarga. Dampak emosional yang ditimbulkan dari stereotip ini dapat membuat perempuan merasa terisolasi dan menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi mereka.
4. Laki-laki Lebih Menginginkan Seks Dibanding Perempuan
Gagasan bahwa laki-laki memiliki gairah seks yang lebih tinggi dibandingkan perempuan dapat menimbulkan masalah dan menyakitkan dalam beberapa hal. Pertama, hal ini mendorong keyakinan yang sangat gender mengenai seksualitas, yaitu menunjukkan bahwa laki-laki lebih termotivasi oleh seks sementara perempuan bersikap pasif dan harus diyakinkan untuk terlibat dalam aktivitas seksual,
Dr. Tara Suwinyattichaiporn mencatat bahwa stereotip ini juga dapat menimbulkan perasaan rendah diri. Jika kamu seorang pria yang tidak ingin berhubungan seks setiap hari, kamu dianggap tidak valid atau tidak "laki". Jika kamu seorang wanita yang aktif secara seksual dalam suatu hubungan tersebut dan pasanganmu tidak, kamu mungkin merasa terhina atau tidak diinginkan.
Gagasan ini juga menekan laki-laki untuk berperilaku dengan cara yang menjunjung visi maskulinitas yang sempit, sementara perempuan ditekan untuk menyesuaikan diri dengan gagasan bahwa mereka pada dasarnya kurang tertarik dibandingkan laki-laki.
Hal ini akan berdampak negatif pada pasangan karena dapat menimbulkan kebencian, harapan yang salah, dan kesalahpahaman tentang niat sebenarnya sehingga bisa saja menyebabkan pertengkaran dan bahkan perpisahan.
5. Segala Sesuatu dalam Hubungan Harus Seimbang atau 50/50
Meskipun dinamika dan kontribusi yang tidak seimbang adalah hal yang tidak sehat, tetapi stereotip bahwa segala sesuatu harus dibagi dua juga dapat merugikan kesehatan suatu hubungan. Layaknya sebuah masakan, hubungan itu seperti resep dan tidak semua resep itu sama. Pemikiran tentang hubungan yang 50/50 dapat menyebabkan pasangan memiliki ekpektasi yang tidak realistis terhadap apa yang pasangannya berikan dalam suatu hubungan.
Setiap orang dalam suatu hubungan membawa kekuatan dan kemampuan uniknya masing-masing. Pasangan perlu bekerja dengan pasang surut alami kehidupan dan apa yang berhasil bagi mereka dan hubungan mereka. Misalnya, pasangan kamu mungkin menghadapi tantangan, seperti penyakit mental, masalah kesehatan, pengangguran, atau stres. Pada saat-saat seperti itu, penting untuk kamu bersedia beradaptasi dengan apa yang mampu mereka berikan saat itu.
Advertisement