Sukses

Menapak Jejak Polisi Cepek, Fenomena yang Berkembang Pesat di Indonesia

Di Jakarta, jargon ‘apa saja jadi duit dan bisa diduitin’ bukan hanya sekadar pepatah, melainkan mantra bagi setiap individu yang tiba di kota ini dengan tekad mengais rezeki. Dalam getaran megapolitan, keyakinan tersebar bahwa uang bukan barang langka, selama mau berusaha, pasti dapat uang. Namun, dalam perjalanan mencari nafkah, kita akan menemui figur tak terpisahkan dari dinamika Jakarta, yang mengatur para pengendara lebih daripada rambu-rambu yang sudah disediakan.

Liputan6.com, Jakarta Di tengah kesibukan Ibu Kota, Jakarta terdapat satu ungkapan yang secara erat melekat dalam kehidupan sehari-hari warganya, yaitu 'Di Jakarta, apa pun dapat menjadi sumber penghasilan dan dapat diuangkan.'

Frase ini bukan hanya sekadar pepatah, melainkan sebuah panduan yang membimbing langkah setiap individu yang tiba di kota ini dengan tekad untuk mencari rezeki. Seolah-olah berbicara kepada setiap orang yang bersedia berusaha, mereka yang sudah lebih dulu merasakan getaran megapolitan ini berbagi keyakinan bahwa di Jakarta, uang bukanlah sesuatu yang sulit ditemui, selama seseorang mau berusaha, pasti bisa mendapatkan uang.

Namun, dalam perjalanan mencari nafkah di tengah hiruk-pikuk harapan, seiring dengan setiap langkah kaki menjejak setiap sudut kota, kita akan menjumpai sosok yang menjadi bagian integral dari dinamika Jakarta, siapakah dia?

Mereka tidak terikat pada kantor polisi resmi, melainkan berkeliling di perempatan, pertigaan, atau jalan-jalan sempit. Tugas mereka serupa dengan polisi lalu lintas pada umumnya, namun terdapat satu perbedaan yang nyata, yaitu para pengendara tidak diatur oleh rambu-rambu, melainkan dengan sebutan 'Polisi Cepek', istilah yang merujuk pada polisi yang meminta bayaran senilai seratus rupiah, menjadi karakter unik dalam panggung kehidupan kota ini.

2 dari 6 halaman

1. Awal Mula adanya Polisi Cepek

Asal-usul polisi cepek dapat dilacak kembali ke era 1980-an dan 1990-an di Indonesia. Istilah 'cepek' merujuk pada pecahan uang senilai Rp100. Fenomena ini menjadi semakin menonjol berkat popularitas Pak Ogah, tokoh fiktif dalam serial televisi Si Unyil yang ditayangkan pada periode tersebut.

Dalam serial tersebut, Pak Ogah menjadi simbol pengatur lalu lintas yang meminta bayaran sejumlah cepek dari para pengendara. Meskipun hanya berupa fiksi, karakter ini memberikan gambaran yang humoris namun cukup mencerminkan realitas lalu lintas di Jakarta. Di kota tersebut, petugas informal, yang kemudian dikenal sebagai polisi cepek, mulai muncul di perempatan dan jalan-jalan sibuk. Mereka menjalankan peran serupa dengan meminta imbalan finansial dari pengendara sebagai bentuk pengaturan lalu lintas alternatif.

3 dari 6 halaman

2. Munculnya Polisi Cepek

Kemunculan polisi cepek seiring dengan perkembangan wilayah perkotaan di Indonesia, khususnya di Jakarta, yang saat ini terkenal sebagai salah satu kota metropolitan dengan tingkat kemacetan tertinggi dan durasi kemacetan terpanjang di Indonesia.

Fenomena ini tidak hanya disebabkan oleh kekurangan infrastruktur lalu lintas, melainkan juga terkait dengan keterbatasan ekonomi masyarakat. Di tengah kondisi di mana mencari nafkah semakin sulit, polisi cepek muncul secara spontan sebagai opsi alternatif untuk mendapatkan penghasilan, memanfaatkan peluang di tengah kemacetan yang terus berlanjut.

Masyarakat cenderung mencari solusi sendiri, dan polisi cepek muncul sebagai entitas yang menerima bayaran dari pengendara untuk mengatur lalu lintas di perempatan dan jalan-jalan yang padat. Seiring berjalannya waktu, 'profesi' unik ini menjadi bagian integral dari pemandangan urban Jakarta, membuktikan bahwa tantangan kompleks di perkotaan dapat menginspirasi munculnya solusi kreatif yang mungkin tidak dapat dicapai oleh lembaga resmi.

4 dari 6 halaman

3. Kisaran Penghasilan yang Didapat Polisi Cepek

Dalam kurun waktu belakangan ini, fenomena Polisi Cepek semakin menjadi sorotan utama di kalangan mereka yang bertugas 'mengatur' lalu lintas di jalan-jalan Ibu Kota dan sekitarnya.

Keberadaan Polisi Cepek bisa ditemui dalam berbagai bentuk, baik itu dalam operasi individual maupun kelompok. Menariknya, partisipan dalam kegiatan ini tidak hanya terdiri dari laki-laki, namun juga melibatkan perempuan, seperti yang dapat terlihat di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta Pusat.

Mereka tersebar di berbagai titik strategis, khususnya di daerah rawan kemacetan seperti mulut gang, jalan masuk permukiman, putaran jalan, pertigaan, dan perempatan.

'Pekerjaan' ini terbukti cukup menguntungkan, di mana setiap Pak Ogah atau Polisi Cepek dapat menghasilkan puluhan hingga ratusan ribu rupiah dalam beberapa jam beroperasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di beberapa lokasi, mereka menerapkan sistem shift yang berlangsung dari pagi hingga malam hari.

5 dari 6 halaman

4. Cara Kerja Para Polisi Cepek

Meski tidak bersifat memaksa, banyak di antara mereka yang terlihat cemberut jika pengguna jalan enggan memberikan uang sebagai imbalan. Pertanyaan mengenai sejauh mana mereka benar-benar membantu mengatur lalu lintas bisa dijawab tergantung pada lokasi dan kondisi tertentu.

Di beberapa tempat, kehadiran mereka malah dapat memperburuk kemacetan, menciptakan situasi lalu lintas yang semakin rumit. Keadaan ini membuat mereka merasa semakin diperlukan, dan sebagai upaya untuk mendapatkan prioritas saat lalu lintas sedang macet, pengguna jalan disarankan untuk membuka jendela dan memberikan iming-iming uang. Dengan langkah ini, mereka yang bertugas secara sukarela akan 'pasang badan' untuk menghalangi kendaraan lain dan memberikan jalan.

Keistimewaan bagi mereka yang membayar terasa seperti potret yang menggambarkan dinamika sosial di negeri ini. Tidak jarang, para pengatur lalu lintas ini bahkan membuka jalur di lokasi-lokasi yang sebenarnya dilarang untuk memutar.

Kabar terbaru mencatat bahwa Polda Metro Jaya sedang melakukan pendataan terhadap jumlah dan lokasi sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas). Langkah ini diambil dengan keyakinan bahwa mereka memiliki peran yang signifikan dalam meredakan kemacetan di Jakarta, menyoroti kompleksitas tantangan transportasi perkotaan yang memerlukan solusi inovatif.

6 dari 6 halaman

5. Perubahan Menjadi Supeltas

Komisaris Besar Halim Pagarra, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, menegaskan bahwa para sukarelawan pengatur lalu lintas, yang dikenal sebagai supeltas, tidak dapat disamakan dengan Pak Ogah. Walaupun demikian, ia menyadari pertanyaan mengapa tidak menggunakan Pak Ogah sebagai bagian dari kekuatan supeltas.

Dengan perkiraan ribuan orang akan menjalani pelatihan khusus yang diselenggarakan oleh kepolisian untuk mengatur lalu lintas, para supeltas akan mengenakan rompi dan bekerja dengan sistem bergilir. Terkait dengan honor dan pendanaan, hal tersebut akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, donatur tetap, dan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.

Entitas berwenang membuat keputusan untuk melibatkan supeltas sebagai bagian dari solusi mengatasi kemacetan di Jakarta, mencerminkan tekad mereka untuk memperbaiki dan meningkatkan regulasi lalu lintas di kota tersebut. Pelatihan khusus dan pengaturan honor yang transparan diharapkan dapat menciptakan kondisi yang lebih terstruktur dan profesional dalam manajemen lalu lintas perkotaan. Hal ini memberikan harapan untuk mengoptimalkan peran supeltas sebagai mitra yang efektif dalam menjaga kelancaran lalu lintas.